Tanpa mengabaikan pentingnya pengelolaan jangka pendek oleh Bank Indonesia, perkembangan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini menarik untuk melihat kembali konsep-konsep bagaimana nilai tukar antardua negara ditentukan.

Untuk jangka pendek, teori permintaan-penawaran valuta asing yang memasukkan unsur ekspektasi dalam perkembangan nilai tukar. Sementara dalam jangka panjang teori yang populer adalah nilai tukar ditentukan keseimbangan dari daya beli antardua negara sehingga teori itu diberi nama teori paritas daya beli (purchasing power parity).

Pada 1990-an keberadaan teori ini mulai disaingi oleh konsep baru yang memostulasikan bahwa nilai tukar ditentukan oleh perbedaan produktivitas antara dua negara yang disebabkan oleh kemampuan sisi penawaran (supply side) yang berbeda (misalnya Tille, Stofells, dan Gorbachev [2001], Driver dan Westway [2003], Peltonen dan Sager [2009]). Dengan demikian, masalah defisit neraca berjalan yang selama ini terjadi adalah masalah perbedaan produktivitas antara Indonesia dan negara-negara mitra dagangnya.

Bonanza komoditas 2004-2012 merupakan obat kuat yang menutupi kelemahan Indonesia di sisi produktivitas. Kelemahan ini terkuak sejak berakhirnya bonanza komoditas, dalam bentuk defisit neraca berjalan yang dibiayai arus modal masuk dari luar negeri. Berdasarkan model pertumbuhan Solow, ada tiga sumber pertumbuhan produktivitas: modal fisik, tenaga kerja, dan perubahan teknologi. Varian model terbaru telah memasukkan faktor-faktor kualitas modal fisik, kualitas SDM dan inovasi (R&D) sebagai faktor yang dapat direkayasa untuk meningkatkan kesejahteraan suatu negara.

Lingkaran setan yang terjadi adalah pertumbuhan produktivitas yang rendah mengakibatkan tingkat pendapatan per kapita tak dapat meningkat cepat sehingga tingkat tabungan juga rendah. Sebagai akibatnya investasi harus dibiayai dengan aliran modal dari luar negeri. Jika aliran modal ini lebih berasal dari sumber-sumber jangka pendek yang masuk dan keluar dengan cepat, konsekuensinya adalah kerentanan nilai tukar terhadap gejolak perekonomian internasional, ekspektasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan faktor sosio-ekonomi yang lain.

Sebagai langkah pertama untuk meningkatkan produktivitas nasional, pemerintah pada periode 2015-2017 telah memusatkan diri pada pembangunan infrastruktur sebagai kuda-kuda untuk pembangunan ke depan. Pelajaran yang dapat dipetik adalah tak seperti era 1990-an, akibat kemajuan teknologi, dampak pengganda pada permintaan agregat tak dapat dirasakan segera. Pada saat lampau masih banyak pekerjaan yang dilakukan secara manual dengan cangkul, sekop, dan linggis. Tetapi, sekarang alat-alat berat dan teknologi lebih banyak digunakan untuk proyek-proyek infrastruktur. Solusi dari masalah ini adalah menciptakan spillover (limpahan) dari proyek-proyek infrastruktur kepada masyarakat sekelilingnya.

Di Bandara Changi, Singapura, kita dapat melihat anggota masyarakat yang tak lagi muda, bahkan lansia, terlibat dalam pekerjaan sanitasi. Untuk kasus Indonesia, tempat istirahat (rest area) dapat diisi oleh produk makanan, restoran, dan hasil kerajinan lokal. Pemeliharaan jalan tol dan infrastruktur lain juga dapat dikoordinasikan dengan pemda setempat, dengan menggunakan tenaga setempat.

Sebagai langkah awal, pembangunan infrastruktur telah memperbaiki citra daya saing Indonesia. Pada 2017, indeks peringkat Indonesia untuk kemudahan berusaha (Index of Ease of Doing Business) naik 15 tangga dari posisi ke-106 jadi ke-91 sehingga Indonesia termasuk 10 negara yang memperbaiki diri dengan cepat (biggest climber). Indeks daya saing naik dari peringkat ke-41 jadi ke-36. Peringkat investasi juga meningkat jadi layak investasi (investment grade). Hasil survei indeks kinerja logistik (LPI) pada 2018 Indonesia berhasil meloncat 17 tangga di peringkat ke-46 dari 160 negara.

Kemakmuran negara

Perkembangan dunia menunjukkan, suatu negara tak dapat lagi mengandalkan komoditas dan produk fisik saja. Konten teknologi suatu produk menjadi semakin besar, dengan kata lain nilai dari suatu produk sebagian besar adalah pengetahuan, ide baru, dan inovasi yang telah dilakukan untuk menciptakan produk itu. Fakta menunjukkan, ilmu pengetahuan dan inovasi menjadi sumber kesejahteraan negara-negara maju dewasa ini. Keadaan ini sangat menguntungkan bagi negara berkembang untuk mengatasi ketertinggalan tanpa harus menjalani fase penemuan (invention). Namun, untuk dapat melakukan short-cut ini, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, terutama kualitas tenaga kerja dan sistem inovasi.

Untuk pencapaian kuantitas, sebenarnya Indonesia tak terlalu tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara. Survei PISA terakhir menunjukkan, lulusan SD di Indonesia memiliki kelemahan pada matematika dan membaca yang mengisyaratkan kelemahan dalam berpikir logis dan berargumentasi dalam bahasa tulis ataupun lisan. Pendalaman materi lebih menekankan pada hafalan, pengulangan bacaan, dan replikasi buku teks, sambil mengabaikan berpikir kritis dan kreatif, keterampilan berkomunikasi dan berbahasa. Kualitas yang seperti ini mungkin cukup baik untuk fase awal dari industri yang mengandalkan pekerja tak terampil, tapi tak cukup untuk upgrading ke industri yang padat iptek.

Perubahan proses industri dari produksi yang berlokasi di satu tempat ke banyak lokasi (chain value) di beberapa negara yang berbeda juga sukar dilakukan karena butuh kemampuan koordinasi yang berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi dan berbahasa. Sampai saat ini, kekosongan talenta ini masih banyak diisi ekspatriat yang menambah tekanan pada neraca berjalan. PR bagi pemerintah adalah memperbaiki pendidikan nasional di segala tingkat yang kompetitif sesuai tuntutan Revolusi Industri 4.0. Dalam jangka panjang pemerintah perlu melakukan perbaikan pada sistem pendidikan di segala tingkat, termasuk vokasi, untuk menghasilkan talenta yang memadai untuk sektor industri yang telah ditingkatkan konten ipteknya. Berbagai cara dapat dilakukan, misalnya dengan pelatihan kembali tenaga pengajar, akreditasi nasional dan akreditasi internasional sebagai cara meningkatkan assurance of learning (AOL), kolaborasi dengan institusi pendidikan di luar negeri dalam pengajaran, dan penelitian quick catching up.

Tingginya biaya lokasi dan langkanya SDM yang punya kemampuan berkoordinasi (tak hanya manajer) pada tingkat shop floor menyebabkan industri pendukung seperti suku cadang (parts), barang setengah jadi, dan bahan penolong merasa terlalu mahal untuk berlokasi di Indonesia. Kebanyakan perusahaan itu berskala menengah dan kecil serta punya kemampuan lebih rendah dari industri skala besar dalam menanggung biaya tambahan. Operasi perusahaan bergantung pada pesanan industri-industri hilirnya yang bersifat musiman sehingga diperlukan modal kerja yang cukup. Kosongnya segmen industri menengah dan sedang ini menyebabkan tingginya persentase impor bahan baku dan penolong, barang-barang setengah jadi, suku cadang dalam total impor Indonesia (75 persen). Kelemahan struktural menjadi kendala bagi Indonesia untuk tumbuh tinggi karena defisit neraca berjalan akan meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

PR bagi pemerintah adalah memfasilitasi pembangunan industri-industri pendukung ini dengan menurunkan biaya logistik, seperti sudah dilakukan saat ini dengan pembangunan infrastruktur. Insentif fiskal dapat diberikan kepada perusahaan-perusahaan PMA yang dapat menarik perusahaan-perusahaan di industri pendukungnya, yang umumnya berskala kecil dan menengah, untuk berlokasi di Indonesia. Pemerintah dapat memfungsikan kantor atase perdagangan di luar negeri untuk memberikan informasi pasar dan juga membimbing pengurus perizinan sampai ke daerah tujuan lokasi industri (the ultimate one stop service).

Iptek, sumber kesejahteraan

Modernisasi (upgrading) sektor industri sangat diperlukan dengan masuknya cohort generasi milenial pada pasar tenaga kerja dan masyarakat konsumen. Generasi milenial punya perilaku berbeda dengan generasi sebelumnya dalam mengonsumsi. Pendapatan pas-pasan tak menghalangi mereka membeli barang bermerek (branded), bepergian untuk merasakan pengalaman baru (leisure), dan lain-lain. Mereka dapat menabung bertahun-tahun hanya untuk dapat merasakan pengalaman menonton konser band Coldplay di Paris. Perilaku ini dapat saja menular ke generasi yang bukan native millennia (lebih tua). Fenomena beberapa pusat pembelanjaan sepi menunjukkan bahwa tempat itu telah kehilangan sebagian besar daya tariknya.

Tugas pemerintah adalah mengawasi pergeseran ini untuk dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan ekonomi. Untuk memanfaatkan, paling tidak potensi daya beli dari sisi penawaran Indonesia harus dapat menghasilkan barang dan jasa yang menjadi idaman kaum milenial sekaligus modernisasi industri berorientasi ekspor. Jika tak mampu, potensi ini akan dimanfaatkan negara-negara tetangga. Untuk menghasilkan barang-barang berkualitas tinggi, diperlukan bahan baku yang berkualitas baik pula. Jika tidak, kenaikan permintaan hanya akan menimbulkan defisit neraca berjalan yang melebar. Pengekangan impor bahan baku yang tak berhati-hati tak akan efektif karena barang input subsitusi yang berkualitas sama dari dalam negeri belum tentu dapat ditemukan. Apalagi, ekspor manufaktur juga mengandalkan barang input berkualitas tinggi impor.

Sektor jasa yang berkembang dengan adanya permintaan kaum milenial ini, termasuk pariwisata, dapat digunakan sebagai basis untuk ekspor jasa pariwisata sekaligus menyerap surplus tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern (manufaktur-jasa) ala model Lewis (1954) seperti dilakukan China, 1980-1990-an.

Sistem inovasi di Indonesia terdiri dari tiga pemain: sektor publik, swasta, dan perguruan tinggi (PT). Sumbangan swasta sangat kecil dalam melakukan R&D yang berpotensi menghasilkan inovasi (0,44 persen dari biaya produksi untuk manufaktur). Kalaupun ada, sebatas inovasi proses, seperti penempatan mesin-mesin dan perlengkapan, perubahan manajerial, proses produksi, dan lain-lain, bukan inovasi produk yang menghasilkan produk-produk baru.

Sistem inovasi lain adalah yang ada di PT yang sudah menghasilkan produk-produk inovatif. Yang jadi masalah, banyak dari inovasi itu tetap pada skala lab dan tak diimplementasikan dalam produksi massal. Model Triple Helix, pemerintah-dunia usaha-dunia akademi tampaknya tak berjalan. Sistem inovasi pemerintah (dimotori LIPI dan BBPT) dan PT tampaknya lebih bersifat seperti silo atau struktur yang digunakan untuk menyimpan bahan curah yang punya sedikit hubungan dengan dunia usaha. Penekanan yang berlebihan pada publikasi artikel ilmiah di jurnal ilmiah terindeks seperti Scopus juga tak banyak membantu menguatkan kaitan antara industri dan dunia akademi. Penekanan pada menghasilkan lulusan siap pakai juga sudah bergeser ke pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dengan lulusan yang siap beradaptasi dengan perkembangan teknologi.

Konsep pertumbuhan endogen yang terkini juga telah memasukkan tata kelola pemerintahan, kelestarian lingkungan dan kesehatan (termasuk gizi) masyarakat sebagai faktor yang turut memengaruhi produktivitas nasional (misalnya Olson, Sama, dan Swamy [2000], Withagen dan Velinga [2002], van Zon dan Muysken [2002]).

Dari segi pelestarian lingkungan kota-kota harus berubah menjadi perkotaan yang smart, efisien, ramah lingkungan, dan nyaman bagi penduduknya yang akan menghasilkan masyarakat yang bahagia, sehat, dan produktif. Populasi yang semakin menua akan didukung sistem jaringan sosial kesehatan yang berkesinambungan dengan menggabungkan aspek kebutuhan pelayanan dasar yang diperluas (basic heath) dan pilihan (choice of care) dalam suatu pooling yang memungkinkan terjadinya asuransi silang.

Pertumbuhan perkotaan Indonesia sangat cepat sehingga 2010 sudah hampir 50 persen dari penduduk tinggal di perkotaan. Jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 69 persen pada 2045. Berlainan dengan negara kontinental, seperti Amerika Serikat, luas lahan di negara kepulauan di Indonesia tak tak terbatas sehingga konsekuensinya pemakaian lahan harus efisien dan berkelanjutan.

Perambahan daerah permukiman dan komersial yang menggerogoti lahan pertanian berjalan cepat setiap tahun. Dampaknya ada pada tata air dan ketahanan pangan. Durasi dan luas daerah banjir dan kekeringan setiap tahun kian ekstrem dengan perubahan iklim global. Tata pemerintahan harus diarahkan ke kerja sama antar-yuridiksi pemda di bawah arahan pusat untuk mengatasi problem "penumpang gelap" dan mengurangi eksternalitas antar-batas yurisdiksi seperti dicontohkan dengan usaha mengembalikan vitalitas sungai di DAS Citarum. Formula dan mekanisme transfer pusat dan daerah dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan tawar pemerintah.

Untuk mengurangi perambahan pada daerah penyangga tata air seperti hutan lindung, kesejahteraan petani harus ditingkatkan. Luas minimum lahan untuk seorang petani dapat hidup layak adalah lebih dari 1 hektar. Untuk mencegah semua surplus tenaga kerja ini pergi ke kota-kota, perekonomian off-farm di pedesaan harus ditingkatkan dengan mengembangkan aktivitas pasca-panen, seperti sorting, pergudangan, desa wisata agro, dan pemasaran melalui online untuk generasi muda petani di pedesaan.