Hampir semua media massa, 30 Agustus 2018, menempatkan foto Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto berpelukan berselimutkan merah putih.
Pesilat Hanifan Yudani Kusumah, peraih medali emas Asian Games 2018, menyatukan dua tokoh bangsa itu. "Saya hanya ingin, melalui pencak silat, bangsa ini bersatu," ucap Hanifan. Sejumlah elite politik menyaksikan momen bersejarah yang dipersatukan oleh olahraga.
Di panggung itu antara lain hadir Wakil Presiden Jusuf Kalla, presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, Chef de Mission Komisaris Jenderal Syafruddin, dan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Semua bertepuk tangan. Gembira.
Foto dalam berbagai versinya itu kemudian menyebar di media sosial dalam bentuk card serta berbagai judul, seperti "Pelukan Menyejukkan", "#2019kita Tetap Bersaudara-Jangan Mau Diadu Domba", "Asian Games Persatukan Kita", dan sejumlah pesan lain. Pesan positif amat terasa dalam peristiwa pelukan Joko Widodo dan Prabowo Subianto berselimutkan merah putih.
Inilah keteladanan olahraga. Asian Games telah menyatukan bangsa ini. Semua energi bangsa, tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras, dan golongan, berjibaku untuk Indonesia. Berjibaku untuk merah putih. Benar kata Prabowo Subianto, Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia, "Kalau sudah untuk negara dan bangsa, kita semua bersatu. Tidak ada perbedaan."
Foto di sejumlah media massa dan media sosial dengan nada positif harus dibaca sebagai ekspresi kerinduan anak bangsa untuk hidup rukun sebagai sesama anak bangsa. Olahraga telah menyatukan kita semua, menyatukan para tokoh bangsa. Semangat itu harus bisa ditangkap para aktivis politik di lapangan agar tidak membelah kerukunan, tidak memprovokasi keadaan yang bisa menciptakan polarisasi bangsa ini. Tidak perlu ada pembunuhan karakter para tokoh bangsa.
Kerinduan akan kerukunan, kerinduan akan persahabatan, kerinduan akan persaudaraan mewujud dengan pelukan Joko Widodo dan Prabowo Subianto berselimutkan merah putih. Jika ditempatkan dalam kontestasi politik, Presiden Joko Widodo kembali akan berkontestasi mendapatkan suara rakyat dengan Prabowo Subianto dalam pemilu presiden 17 April 2019. Pelukan bersejarah tersebut seakan menjawab dahaga atas kepengapan politik yang digambarkan di media sosial sekaligus meredakan ketegangan politik yang terjadi.
Kontestasi politik 17 April 2019 adalah peristiwa biasa dalam demokrasi. Tidak perlu ada pertarungan hidup atau mati untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan yang justru bisa mengorbankan persaudaraan dan persatuan.
Bangsa ini membutuhkan keteduhan, kesejukan, agar bisa keluar dari tekanan ekonomi yang tidak mudah. Kontestasi politik jangan sampai dimanfaatkan oleh kelompok antidemokrasi yang justru tidak ingin demokrasi Indonesia menjadi kian matang.
Kompas, 31 Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar