Pernyataan Gunnar Myrdal tersebut nyaris sama dengan keluhan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan bahwa negara kita terlalu banyak aturan sehingga menyebabkan kita terjerat aturan sendiri. Jumlahnya banyak sekali, 42.000, ya‎ng mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri hingga peraturan gubernur, wali kota dan bupati di daerah, yang membuat lambatnya laju pemerintah dalam membangun Indonesia. Begitulah kurang lebih keluhan Presiden Jokowi saat menghadiri Rembuk Nasional 2017 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Senin (23/10).

Tidak ada data akurat berapa jumlah peraturan perundang-undangan sesungguhnya. Angka 42.000 yang disebut Presiden itu dugaan saya bisa lebih besar mengingat kebiasaan buruk birokrasi pemerintahan kita yang tidak tertib dokumentasi. Yang pasti, maraknya produksi peraturan perundang-undangan dimulai di era pemerintahan Orde Baru, sejalan dengan kebijakan (politik-hukum) pemerintahan Soeharto kala itu bahwa hukum adalah instrumen pembangunan. Hukum adalah alat kontrol sosial (a tool of social control) dan rekayasa pembangunan (a tool of social engineering).

Aturan apa saja yang diperlukan untuk melancarkan pembangunan bisa dibuat dalam waktu singkat. Semua gangguan yang menghambat laju pembangunan harus diatasi dengan peraturan perundang-undangan (UU, perppu, PP, perpres, keppres, peraturan menteri, dan sebagainya). Dengan demikian, tindakan pemerintah terbaca legal (berdasarkan hukum) meski proses dan dampak pembangunan itu menimbulkan ketidakadilan.

Departemen Kehakiman (kini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) hanya bertindak sebagai dapurnya pemerintah menyiapkan pelbagai peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan. DPR tinggal menyetujui UU atau perppu yang diajukan. Tidak pernah ada program dan langkah harmonisasi dan singkronisasi. Kalaupun ada, hal itu terbatas sebagai kajian (program) dan tidak untuk menyelaraskan peraturan agar efektif, efisien, ada kepastian, dan seterusnya.

Implementasi yang sama

Kebijakan Orde Baru demikian itu terus berlanjut di era pemerintahan sesudahnya meski politik hukum sudah bergeser dengan menempatkan hukum sebagai supremasi, seperti termuat dalam Pasal 1 (3) UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Implementasi Indonesia sebagai negara hukum faktanya tidak berbeda jauh dengan pemerintahan Soeharto bahwa hukum adalah instrumen pembangunan meski dengan asumsi dan tujuan berbeda. Di era ini, peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatur ketidakteraturan yang ada akibat peraturan perundang-undangan kurang mengatur, kurang tegas, tidak sejalan dengan kebutuhan, dan seterusnya.

Pemerintah pusat dan daerah beranggapan, asal sudah dikeluarkan aturan masalahnya selesai. Padahal, cara pandang demikian jelas keliru karena secara teoritis keteraturan tidak selalu bisa diatasi oleh hukum. Bahkan, justru ia bisa mendatangkan ketidakteraturan baru; baik yang disebabkan oleh substansi (materi) dari peraturan perundang-undangan itu sendiri, sifat birokratis dan prosedural pelaksanaan hukum oleh institusi pelaksana peraturan, tidak harmonis dan sinkronnya antarperaturan perundang-undangan, serta benturan (legal gap) antara apa yang teratur menurut hukum dan apa yang teratur menurut ukuran sosial, ekonomi, dan politik.

Pembuatan substansi peraturan perundang-undangan kadang tidak dirancang sekalian dengan prosedur dan birokrasi pelaksanaan dari peraturan tersebut. Padahal, aspek terakhir ini  menjadi penyumbang persoalan paling serius penegakan aturan karena sering kali birokrasi dan prosedurnya dirancang sedemikian rupa dengan motif-motif koruptif.

Penegakan peraturan dengan motif korupsi (suap) yang berlangsung terus-menerus dalam waktu lama pada akhirnya diterima sebagai kenyataan hukum oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Hukum yang semula dimaksudkan untuk membangun ketertiban keteraturan (order) berubah menjadi ketidaktertiban/ketidakteraturan (disorder) untuk dan atas nama hukum.

Setiap upaya untuk menciptakan ketertiban/keteraturan (order) melalui deregulasi tidak mudah. Ada saja upaya-upaya kaum disorder ini untuk menggagalkannya. Satu di antaranya menyelipkan pasal atau ayat dalam peraturan baru yang memungkinkan ruang dibuatnya aturan prosedur dan birokrasi pelaksanaan aturan tersebut.

Problem serius

Problem peraturan perundang-undangan dari aspek-aspek tersebut tidak pernah menjadi bahan pertimbangan pembuat peraturan. Bahkan, penjelasan teoritis akademis para ahli diabaikan. Kalau toh diminta, sulit menembus paham dan keyakinan dogmatis dan positivistis yang menguasai alam pikir pembuat undang-undang. Apalagi, peraturan pesanan (order) kelompok-kelompok kepentingan biasanya dirancang dan disahkan dengan operasi senyap.

Regulasi menjadi salah satu problem serius di Indonesia yang harus dibereskan. Oleh karena itu, empat konsep yang kini sedang dikembangkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) perlu didukung. Empat konsep dimaksud berupa: (1) simplikasi regulasi guna menginventarisasi regulasi yang ada, mengidentifikasi masalah dan pemangku kepentingannya, melakukan evaluasi regulasi yang bermasalah, dan mencabut yang tidak perlu; (2) rekonseptualisasi tata cara pembentukan regulasi; (3) restrukturisasi kelembagaan pembentuk regulasi; dan (4) penguatan pemberdayaan sumber daya manusia di bidang perancangan regulasi patut didukung.

Akan tetapi, harus diingatkan kepada Bappenas bahwa regulasi dan deregulasi tidak dilakukan di ruang hampa (ruang vakum). Ia ada dalam realitas sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks, di mana transaksi-transaksi kepentingan tidak pernah absen dalam urusan tersebut. Oleh sebab itu, komitmen pembuat regulasi (terutama pemerintah) untuk melakukan audit dan merancang aturan baru melalui para ahli dan praktisi hukum yang independen dan kompeten serta ahli-ahli lain yang relevan dan diperlukan menjadi pertanda apakah pemerintah serius atau tidak.