Menteri Komunikasi dan Informasi telah mengeluarkan aturan baru untuk registrasi ulang nomor telepon prabayar melalui Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun 2017.
Peraturan menteri (PM) itu merevisi sebagian pasal PM Nomor 12 Tahun 2016. Jauh sebelum kedua peraturan itu terbit, sudah ada aturan registrasi nomor telepon prabayar melalui Permen Kominfo 23/M.Kominfo/10/2005 dan surat edaran Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia tahun 2014. Artinya, regulasi registrasi nomor telepon prabayar sudah sering diatur, tetapi anehnya tidak beres-beres.
Saya setuju pemerintah mewajibkan registrasi nomor telepon prabayar demi keamanan negara dan masyarakat. Namun, ironisnya, meskipun sudah melalui perjalanan panjang selama 12 tahun, isi PM tidak jauh beda dengan regulasi tahun 2005, bahkan tidak berpihak ke konsumen.
PM No 14/2017 menggunakan istilah pelanggan. Menurut kaidah bahasa Indonesia, pelanggan itu jika produsen dan konsumen punya ikatan/kontrak resmi disertai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Realitasnya, operator dan pengguna nomor telepon prabayar tanpa ikatan/kontrak resmi. Konsumen juga tidak punya hak layaknya pelanggan, minta print-out pemakaian saja kadang sulit.
Pasal 6 dan 7 PM No 12/2016 mewajibkan registrasi dengan menyertakan nama ibu kandung atau nomor kartu keluarga yang tidak direvisi pada PM No 14/2017. Ironisnya, regulator menyatakan registrasi tidak bisa menggunakan nama ibu kandung sehingga sangat membingungkan.
Sejak 2005 sudah banyak konsumen ikut registrasi, tetapi saat ini dipaksa registrasi ulang. Hal ini benar-benar tidak menghargai usaha dan kepatuhan konsumen.
Verifikasi dan validasi seharusnya dilakukan operator/regulator, bukan justru mengalihkan tanggung jawab kepada konsumen. Hal ini berpotensi merugikan konsumen karena tidak ada bukti dan hak ikut mengontrol hasil registrasi. Padahal, identitas konsumen tersebar dari tingkat RT hingga Kementerian Dalam Negeri.
Registrasi juga memberikan hak kepada mitra operator (toko/gerai) yang ditunjuk, maksudnya baik untuk mempermudah, tetapi hal itu membuka ruang tindak pidana yang membahayakan konsumen dan mitra operator. Seharusnya, calon konsumen diwajibkan mengaktivasi sendiri melalui SMS.
Demikian pemikiran saya, mohon kiranya regulator dapat segera merevisi regulasi tersebut guna kebaikan semua pihak. Terima kasih.
Sutikno Teguh, Taman Holis Indah, Bandung
Lampu Mati
Kami, warga Gentan Baru RT 007 RW 006, Gentan, Baki, Sukoharjo, merasa sangat dirugikan oleh pelayanan PLN. Setelah subsidi dicabut, seharusnya PLN meningkatkan pelayanan, tetapi yang terjadi malah sebaliknya.
Oktober 2017, tepatnya tanggal 8-18, di lingkungan kami sering sekali mati listrik. Walau tidak lama, hal ini sangat mengganggu karena dalam sehari bisa mati-hidup beberapa kali. Peralatan elektronik bisa rusak. Jika rusak, apa PLN mau mengganti?
Saat listrik tidak lagi murah, seharusnya PLN meningkatkan kualitas pelayanannya. Sebelum menulis ini, kami sulit melapor ke 123. Baru Senin (16/10) pukul 14.30, telepon masuk dengan kode G OTM 2Vt, yang menerima Saudara Danang.
Dwie Andriningsih, Jl Kawung, Sondakan, Laweyan, Surakarta
Air Mati
Bersama ini kami informasikan air PAM para pelanggan berikut: Nomor 000636229 atas nama Bajora Lubis (almarhum), 000710787 (Namin), 000780151 (Sopian), 000721444 (Husin bin Yaba), 000761813 (Maswuroh), 000636475 (Jamin), 000723060 (Maryani), dan 000700601 (Jamroh), di Kembangan Raya, Kampung Bugis, Jakarta Barat, bolak-balik mati, bahkan ada yang sudah berlangsung dua tahun. Akibatnya, kami harus membeli air pikulan atau pompa air untuk memenuhi kebutuhan kami.
Kepada bapak dan ibu pimpinan Palyja yang terhormat, kami sudah lelah menghubungi call center karena selalu dijawab tidak ada masalah. Jika tidak ada masalah, bukankah seharusnya air mengalir lancar?
Saya dan para tetangga butuh jawaban. Apalagi kami selalu membayar tagihan tepat waktu. Tolong berikan hak-hak kami sebagai pelanggan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar