Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 31 Agustus 2013

Inflasi dan Kekurangan Gizi (Tajuk Rencana Kompas)

Pemerintah dan Bank Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk meredam merosotnya nilai tukar rupiah dan inflasi.
BI mengumumkan Kamis lalu kenaikan suku bunga acuan dari 6,5 persen menjadi 7 persen untuk menahan laju inflasi dan defisit transaksi berjalan. Keputusan Dewan Gubernur BI dalam rapat di luar jadwal rutin itu sebetulnya diharapkan pasar saat rapat Dewan Gubernur 15 Agustus.

Meski pasar menanggapi positif, dampak langkah tersebut bersifat jangka pendek. Persoalan utama, yaitu inflasi dan defisit neraca pembayaran, terutama transaksi berjalan akibat defisit perdagangan, tetap harus diselesaikan.

Salah satu dari empat kebijakan pemerintah adalah mengendalikan harga pangan meskipun ditempuh melalui impor yang kembali membebani neraca perdagangan.

Ketika ditarik hingga ke tingkat rumah tangga, pelemahan nilai tukar rupiah dan inflasi berakibat sangat dalam. Sejumlah pihak mengingatkan untuk mewaspadai bertambahnya jumlah anak dan ibu hamil kurang gizi.

Untuk meredam dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM terhadap keluarga miskin, pemerintah menyertakan paket bantuan langsung sementara. Namun, inflasi terbang jauh di atas perkiraan, hingga 9,2-9,8 persen tahun ini.

Penyebabnya ada faktor eksternal, yaitu rencana bank sentral Amerika Serikat mengurangi stimulus moneter yang berdampak terhadap negara-negara berkembang dengan ekonomi tumbuh tinggi. Penyebab dari dalam negeri adalah ketidaksiapan pemerintah mengendalikan harga pangan melalui produksi dalam negeri dan biaya transportasi setelah harga BBM naik.

Data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) menyebutkan, 36 persen anak usia di bawah lima tahun—berarti satu dari tiga anak—menderita kurang gizi kronis pada tahun 2012. Indonesia memiliki jumlah anak dengan pertumbuhan terhambat kelima terbanyak di dunia atau 7,8 juta anak. Kekurangan gizi tersebut berakibat permanen pada fisik dan kecerdasan.

Salah satu penyebab kurang gizi adalah ketiadaan akses. Saat harga makanan cenderung mahal, jumlah anak balita dan ibu hamil kekurangan gizi bertambah. Tidak hanya dari keluarga miskin, tetapi juga yang hampir miskin.

Asupan gizi buruk memengaruhi ekonomi. Produk domestik bruto berkurang 2-3 persen. Apabila kita bangga menyebut Indonesia memiliki bonus demografi yang akan membawa Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh pada tahun 2030, itu mensyaratkan sumber daya manusia unggul.

Pernyataan Presiden "tidak mudah menstabilkan harga pangan" itu dikarenakan harga dilepas pada mekanisme pasar bebas. Selama dibiarkan dikendalikan pasar dan tergantung impor, gejolak harga terus terjadi. Sebagian masyarakat tetap kesulitan mengakses pangan bergizi.

Dampak merosotnya kualitas asupan gizi tidak segera terlihat. Karena itu, pemerintah harus memastikan anak balita dan ibu hamil memiliki akses pada gizi yang baik dan cukup demi kemakmuran Indonesia masa depan.

(Tajuk Rencana Kompas, 31 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger