Kasus penolakan itu mendapat sorotan luas sebagai masalah serius dan fenomena langka dalam hubungan diplomatik, khususnya dalam konteks budaya Asia. Kalangan media massa Filipina menyebut penolakan itu sebagai bentuk penghinaan. Tidak sedikit warga Filipina merasa dipermalukan atas perlakuan yang tidak mengenakkan terhadap pemimpin negaranya.
Semula Presiden Benigno ingin menghadiri acara Expo China-ASEAN di kota Nanning, China selatan, 3 September. Acara itu merupakan pameran dagang tahunan yang digelar untuk menunjukkan hubungan erat China dengan 10 negara anggota ASEAN.
Atas dasar itu, bukan hanya Filipina yang terkejut atas kasus penolakan rencana kunjungan Presiden Benigno, melainkan semua negara ASEAN. China hanya menjelaskan, Presiden Benigno tidak diundang ke China. Penjelasan itu sama sekali tidak memuaskan siapa pun.
Para pengamat berpendapat China menolak kunjungan Benigno terkait dengan persengketaan wilayah di Laut China Selatan. Jika dugaan itu benar, kasus penolakan kunjungan hanya menambah dramatis dan sensitif persengketaan di Laut China Selatan, terutama soal tumpang tindih klaim atas Kepulauan Spratly dan Paracel.
Padahal kunjungan Presiden Benigno ke China dapat saja digunakan sebagai kesempatan membuka peluang penyelesaian damai atas persengketaan. Namun, rupanya China benar-benar tersinggung karena awal tahun ini Filipina membawa masalah persengketaan ke panel arbitrase PBB di bawah Konvensi Hukum Laut PBB.
Langkah Filipina itu membuat China tersinggung. Sudah lama China melontarkan gagasan penyelesaian secara bilateral, tetapi belum ada langkah konkret. Gagasan itu semakin menimbulkan pertanyaan karena China meningkatkan kehadiran pasukan militer di Laut China Selatan, yang dirasakan sebagai intimidasi pihak-pihak lain yang terlibat dalam persengketaan.
Persengketaan atas Spratly dan Paracel pada dasarnya sangat sensitif akibat klaim tumpang tindih oleh enam pihak: China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Sensitivitas atas persengketaan bertambah karena China terkesan semakin agresif memamerkan kekuatannya, sementara pihak lain yang terlibat persengketaan tidak mau melangkah surut sedikit pun.
Sudah terbayang, persengketaan di Laut China Selatan dapat mengarah ke konflik terbuka jika tidak segera diselesaikan secara damai. Kerumitan diyakini bertambah oleh kemungkinan campur tangan kekuatan luar, terutama adidaya Amerika Serikat yang tak ingin tergeser oleh dominasi kekuatan militer China di kawasan Asia Pasifik.
(Tajuk Rencana Kompas, 31 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar