Minggu lalu banyak negara, mulai dari Brasil hingga India, mengalami gejolak pasar. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling terpukul. Paket kebijakan ekonomi yang diumumkan pemerintah, Jumat lalu, mencerminkan respons pemerintah yang cukup tanggap. Apakah paket kebijakan ini akan mumpuni untuk mengatasi kegelisahan pasar dan menstabilkan perekonomian?
Banyak yang berharap demikian. Dalam beberapa tahun terakhir, pasar negara berkembang, seperti Indonesia, telah merasakan dampak maraknya krisis yang menimpa sejumlah negara lain, seperti di Eropa. Rendahnya tingkat suku bunga di Eropa dan Amerika Serikat, serta Jepang, telah menguntungkan pasar modal, seperti Indonesia, sehingga mengurangi biaya pendanaan di negara berkembang. Setelah krisis 2008/2009 mereda, pasar dan harga komoditas pun bangkit kembali.
Tahun ini, tren perbaikan tampak terhenti. Pertumbuhan ekonomi di China yang semakin lemah, serta permintaan komoditas yang semakin merosot, mengakibatkan penurunan harga komoditas. Harapan bahwa Bank Sentral AS, Federal Reserve, akan segera mulai mengurangi stimulus moneter meningkatkan tekanan pada biaya pinjaman global, dan berdampak negatif pada arus modal ke pasar negara berkembang.
Terdapat beberapa faktor lain yang turut memengaruhi tren ini. Di negara-negara seperti India, Brasil, dan Indonesia, peningkatan defisit neraca berjalan, inflasi dan prospek pertumbuhan, serta kebijakan yang diambil sebagai tanggapan terhadap tantangan ini, semua kini lebih berperan. Akibat adanya ketidakpastian atas prospek moneter kebijakan AS, perkembangan atau data yang negatif cenderung memicu arus modal untuk keluar serta meningkatkan kebergejolakan pasar.
Di Indonesia, gejolak pasar tersebut mencerminkan kekhawatiran investor bahwa kebutuhan pembiayaan akan membengkak dan kemungkinan semakin sulit untuk terpenuhi bila tak diiringi dengan adanya penyesuaian yang memadai. Inflasi juga melejit pada bulan Juli. Walaupun perkembangan ini bersifat sementara akibat pengurangan subsidi BBM, para investor tetap memantau perkembangan ini dengan waswas.
Memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan adalah tantangan pertama yang dihadapi. Pilar pertama dari paket kebijakan berfokus pada tantangan ini, dan isinya secara umum menawarkan insentif fiskal bagi perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor di sektor padat karya, serta relaksasi kuota untuk ekspor mineral. Untuk menurunkan impor minyak, penggunaan biodiesel akan ditingkatkan.
Pilar kedua berfokus pada mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, termasuk penawaran insentif fiskal untuk sektor-sektor padat karya yang ditujukan untuk membatasi angka pemutusan hubungan kerja. Khususnya, revisi yang diusulkan membahas mekanisme penentuan upah minimum.
Menurunkan inflasi adalah pilar ketiga. Pilar ini sangat penting karena penggantian kuota untuk impor produk daging sapi dan hortikultura dengan tarif akan menjadi sangat penting. Pilar keempat bertujuan mendukung investasi, pertumbuhan, dan aliran modal. Pilar ini mencakup langkah-langkah penyederhanaan perizinan, percepatan persetujuan revisi daftar negatif investasi, dan debottlenecking proyek-proyek investasi strategis. Semua langkah tersebut patut disambut baik.
Sementara usulan mencakup berbagai insentif fiskal, rinciannya harus dipelajari dengan saksama. Usulan ini menggunakan proyeksi pemerintah, yang menargetkan defisit rendah sebesar 2,4 persen dari PDB untuk 2013. Pemerintah sendiri memiliki cadangan kas cukup besar. Selain itu, tersedia pendanaan 5 miliar dollar AS untuk pembiayaan kontingen dari mitra pembangunan, termasuk Bank Dunia. Cadangan tersebut dapat membantu menutup kebutuhan pembiayaan pemerintah.
Kuncinya di konsistensi
Kebijakan yang diterapkan pemerintah tampaknya cukup baik, dan berfokus pada penyebab utama timbulnya tekanan yang ada saat ini. Namun, apakah kebijakan tersebut akan berdampak secara signifikan, terutama dalam jangka pendek, pada defisit transaksi berjalan atau aliran modal? Informasi tentang isi substantif kebijakan tersebut dapat membantu menjawab pertanyaan ini. Namun, rincian kebijakan, sejauh mana kebijakan tersebut dinilai konsisten di sejumlah lembaga pemerintahan, dan kualitas implementasi kebijakan-kebijakan tersebut, juga menjadi sangat penting.
Tindakan kebijakan stimulus fiskal dan moneter dapat meningkatkan kepercayaan investor. Misalnya, lanjutan reformasi subsidi energi, termasuk langkah-langkah menuju mekanisme penyesuaian harga yang lebih mudah diprediksi dan lebih transparan, dapat meningkatkan pengelolaan fiskal.
Penting juga untuk memastikan kredibilitas asumsi makro anggaran 2014, serta konsistensi antara kebijakan fiskal dan tujuan mempersempit defisit transaksi berjalan. Dorongan besar pada perbaikan administrasi penerimaan juga dapat mengurangi kebutuhan pembiayaan, dan perbaikan lebih lanjut dalam pelaksanaan anggaran infrastruktur dapat membantu mendukung pertumbuhan. Untuk kebijakan moneter, pengetatan lebih lanjut kebijakan moneter melalui
suku bunga fasilitas kebijakan atau deposit mungkin diperlukan, terutama karena hal ini merupakan sinyalemen pasar yang penting.
Perlu dicatat bahwa reformasi yang telah diusulkan membahas hal-hal sensitif, seperti kuota daging sapi dan upah minimum. Ini merupakan perkembangan signifikan. Pemerintah dapat memanfaatkan peluang ini untuk bergerak maju menuju perbaikan kebijakan yang dapat mendukung tujuan pembangunan jangka menengah di Indonesia, termasuk kebijakan yang dapat lebih melindungi masyarakat miskin dan rentan.
Akhirnya komunikasi pesan kebijakan sangatlah penting. Momentum, seperti peluncuran paket kebijakan serta pemaparan rincian kebijakan moneter dan fiskal di masa depan, amat membutuhkan kejelasan, konsistensi, kredibilitas, dan koordinasi kebijakan. Hal-hal seperti ini terkadang menjadi tantangan tersendiri di Indonesia. Di tengah kekhawatiran pasar saat ini, risiko kegagalan mengatasi tantangan ini dapat meningkatkan keresahan.
(Jim Brumby, Ekonom Utama Bank Dunia Indonesia)
(Kompas cetak, 29 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar