Perekonomian nasional minggu-minggu ini sedang berduka. Keprihatinan ini ditandai kemerosotan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan.
Sebagai upaya penanggulangan terhadap kemerosotan ekonomi, pemerintah segera menerbitkan Paket Kebijakan Penyelamatan Ekonomi (PKPE). Dalam suasana keputusasaan pemerintah menjinakkan krisis daging sapi yang tak berujung pangkal, binatang "gila" ini pun dapat tempat khusus pada 13 butir kebijakan yang disampaikan Menko Perekonomian, 23 Agustus 2013. Pengaruh keputusasaan ini tampak dalam skenario pembenahan liarnya pasar daging ini.
Keliaran tersebut tersirat jelas dalam PKPE butir ke-9 yang menyebutkan: "mengubah tata niaga daging sapi dan hortikultura dari berbasis kuantitas (kuota) menjadi berbasis harga". Generalisasi penanganan dua kelompok pangan dalam klausul PKPE ini tentu mengundang pertanyaan besar akan efektivitasnya dalam stabilisasi pasar, atau malah sebaliknya, sebagai kemenangan komprador dan kapitalis dengan syahwat rente impor. Secara khusus efektivitas teoritis bisa ditelaah untuk urusan daging sapi.
Persoalan daging sapi sudah sekian lama tak pernah teratasi. Bahkan, ketika pembengkakan impor juga dilakukan melalui penugasan khusus terhadap Bulog untuk menjinakkannya, tetapi efektivitas operasinya selalu jadi gunjingan.
Memang benar bahwa pendekatan kuota impor, dalam bentuk daging beku dan sapi bakalan, terbukti tidak mampu mengendalikan pasar. Akan tetapi, benarkah kegagalan itu karena basis pendekatannya? Atau karena kelambanan operasional, kemampuan dan/atau kemauan pemerintah—persisnya: Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II)—melawan importir?
Mengalamatkan persoalan dengan simplifikasi kegagalan pendekatan kuota dan kemudian menggantikannya dengan pendekatan harga seharusnya didasarkan atas rasionalitas yang pas. Bukan keputusan yang tanpa alasan, apalagi masih misteri urusannya. Sepenuhnya bisa dibantah bahwa anomali pasar yang terjadi adalah kegagalan pendekatan kuota dalam pengendalian harga pasar.
Ada kecurigaan, pergeseran tersebut mengarah pada prinsip: pokoknya harga harus turun! Kalau benar itu yang terjadi, tentu itulah indikasi kemerosotan ketatanegaraan. Prinsip ini dalam waktu dekat efektif mengendalikan harga pasar. Akan tetapi, perangkatnya adalah importasi yang tidak dibatasi sampai harga turun ke level tertentu.
Konsekuensinya, importasi akan membengkak dan makin bengkak karena bisa dipermainkan dengan sulapan harga dalam operasi kartel. Akibatnya, sebelum dicapai target harga, KIB II akan membiarkan kemudahan impor guna mempercepat penurunan harga. Ketika target harga sudah tercapai, importasi dibatasi melalui pengenaan cukai impor untuk menjaga supaya harga daging tidak makin murah.
Kemenangan komprador
Asesmen di atas dilontarkan karena problem dasarnya sesungguhnya adalah KIB II yang tidak mampu dan/atau tidak mau sungguh-sungguh mengendalikan harga. Sama sekali bukan gagalnya pendekatan kuotanya. Perubahan pendekatan jelas tidak akan membawa hasil memadai ketika KIB II tak berubah. Karena, alat utama pendekatan berbasis harga yang dalam hal ini adalah juga impor dan cukai. Aneh, kegagalan melawan mafia malah dijawab dengan kemudahan importasi.
Oleh karena itu, pantas disebut bahwa penuangan butir ke-9 PKPE mengisyaratkan kemenangan komprador, yang selama ini menggoreng daging sapi melalui agitasi konsumen sampai fatwa agamis.
Adalah sangat masuk akal untuk meramalkan, dalam hal stabilisasi harga daging sapi dewasa ini, pergeseran pendekatan yang dipaketkan dalam PKPE adalah keputusan yang teramat tergesa- gesa dan grusa-grusu. Sebab ia justru sangat berpotensi menjadi bumerang yang superkontraproduktif bagi pengembangan sistem pengembangan ternak, khususnya sapi dan kerbau dalam negeri, yang sudah ancang-ancang menuju keswasembadaan.
Keprihatinan publik semakin menjadi-jadi ketika menyaksikan KIB II yang ternyata semakin bingung menyelesaikan (sekadar) urusan sekerat daging sapi
(Mochammad Maksum Machfoedz, Ketua PB Nahdlatul Ulama)
(Kompas cetak, 30 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar