KOMPAS/KHAERUL ANWAR

Penginapan di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, nyaris rata dengan tanah akibat gempa hari Minggu (29/7/2018). Runtuhnya rumah ini menimpa Siti Nurrmawida, asal Malaysia yang kemudian meninggal saat itu.

 

Bangsa Indonesia kembali berduka dengan gempa yang mengguncang Lombok, Minggu (29/7/2018). Ada 1.000 rumah rusak, 15 orang tewas, dan ribuan lainnya mengungsi.

Lombok memang sering dilanda gempa. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir, gempa berlangsung setiap tahun. Meski kekuatan gempa relatif tidak besar, dampaknya memprihatinkan. Dalam hal ini, beberapa faktor menjadi penyebabnya: lokasi, kedalaman gempa, kondisi tanah, dan kualitas bangunan.

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono menjelaskan, Pulau Lombok dikepung oleh dua sumber gempa. Di selatan pulau ada zona subduksi dan di sebelah utara pulau ada sesar naik (Kompas, 4/4/2016).

Pulau Bali, Lombok, dan Sumbawa adalah bagian busur dari Kepulauan Sunda Kecil yang terbentuk akibat subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. Struktur geologi sesar naik belakang busur membuat gempa dangkal sering terjadi. Meski magnitudonya rendah, guncangan terasa kuat.

Di sisi lain, kualitas bangunan amat menentukan jumlah korban. Pengalaman empiris menunjukkan, bukan gempa yang membunuh manusia, melainkan konstruksi dan kualitas bangunan. Sudah ada beberapa contoh tentang bangunan berkonstruksi tahan gempa yang terbukti aman bagi manusia.

Kita tahu gempa di Lombok yang terjadi hari Minggu lalu berkekuatan M 6,4 pada kedalaman 24 kilometer. Karakteristik gempa ini sama dengan gempa di Prefektur Kumamoto, Jepang, 14 April 2016. Serupa juga dengan gempa di Yogyakarta, 27 Mei 2006.

Tingkat kerusakan dan jumlah korban gempa di Jepang jauh lebih kecil dari kedua gempa di Indonesia. Menurut kantor berita AFP, bangunan yang rusak hanya 19 unit, 9 korban tewas, 15 luka berat, dan 254 luka ringan. Mengapa bisa demikian? Mitigasi bencana telah menghasilkan standar bangunan tahan gempa yang disosialisasikan, ditaati, dan diawasi dalam pelaksanaannya.

 

Bandingkan dengan gempa Yogyakarta, yang menyebabkan ribuan bangunan dan bangsal di Keraton Yogyakarta ambruk, lebih dari 6.000 orang tewas, dan 40.000 orang luka-luka. Atau gempa di Lombok dengan data yang disebutkan di atas.

Mengapa bisa demikian? Pengetahuan masyarakat akan konstruksi bangunan sesuai standar saja ternyata masih amat rendah, apalagi bangunan yang tahan gempa. Masih banyak jutaan rumah rakyat dibangun tanpa tulangan besi yang kokoh, bata, dan adonan semen yang benar. Padahal, Indonesia memiliki banyak rumah adat dengan konstruksi dan bahan baku yang terbukti tahan gempa, sekaligus bisa menjadi acuan.

Sarwidi, Guru Besar Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, sebenarnya telah melatih para tukang dan mandor bangunan di kawasan Yogyakarta teknik bangunan tahan gempa (Kompas, 14/6/2018).

Disebut barrataga—singkatan dari bangunan rumah rakyat tahan gempa—terbukti membuat beberapa rumah tetap tegak ketika gempa 2006 di Yogyakarta.