Oleh Ahmad Heri Firdaus
Indonesia baru saja menorehkan catatan terburuk dalam sejarah perdagangan internasional. Neraca perdagangan pada 2012 mengalami defisit untuk yang pertama kalinya sejak 1961. Namun, nilai defisit tahun lalu relatif lebih besar dibanding tahun 1961.
Setelah 1961, neraca perdagangan Indonesia selalu surplus. Bahkan, pada 2006 surplus perdagangan mencetak rekor tertinggi 39,73 miliar dollar AS. Kondisi sebaliknya terjadi di 2012, dengan neraca perdagangan defisit 1,63 miliar dollar AS.
Sumber defisit terutama disebabkan oleh neraca perdagangan migas yang defisit hingga 5,6 miliar dollar AS. Merosotnya neraca perdagangan migas disebabkan karena impor bahan bakar minyak (BBM) sulit dibendung akibat semakin tingginya kebutuhan BBM dalam negeri. Di lain pihak, meskipun neraca perdagangan nonmigas masih mengalami surplus 3,9 miliar dollar AS, surplus tersebut merupakan yang terendah sejak era Reformasi. Bahkan, jauh lebih rendah dibandingkan krisis ekonomi global 2008 yang sebesar 9,2 miliar dollar AS.
Ketidakpastian eksternal dan lambatnya pemulihan ekonomi global juga tidak bisa dijadikan satu-satunya alasan mengapa neraca perdagangan Indonesia terpuruk hingga mencapai defisit. Buruknya kinerja perdagangan, khususnya dari sisi ekspor, sebenarnya bukti dari lemahnya daya saing produk Indonesia di pasar internasional. Selain itu, ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku/penolong impor juga turut menjadi penyebab terpuruknya kinerja perdagangan Indonesia.
Dampak FTA
Gejala tergerusnya neraca perdagangan Indonesia sebenarnya sudah mulai terlihat sejak Indonesia giat melakukan perjanjian kerja sama perdagangan bebas, baik secara bilateral, multilateral, maupun regional. Dampak negatif mulai dirasakan sesaat setelah Indonesia terlibat dalam ASEAN Free Trade Area (AFTA), tepatnya mulai 2005 necara perdagangan Indonesia dengan ASEAN mulai defisit. Padahal, sebelum terlibat dalam AFTA, neraca perdagangan Indonesia dengan ASEAN selalu surplus. Pada 2005 terjadi defisit 0,45 juta dollar AS dan hingga 2012 defisit telah mencapai 455,4 juta dollar AS (nonmigas). Keadaan yang lebih parah terjadi dalam skema ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Sejak 2008, neraca perdagangan Indonesia dengan China selalu defisit, yakni 3,6 miliar dollar AS pada 2008 dan 7,2 miliar dollar AS (hingga Oktober 2012).
Hingga 2012 tercatat sedikitnya Indonesia telah terlibat dalam enam skema kawasan perdagangan bebas (free trade area/FTA), yakni AFTA, AC-FTA, ASEAN-Korea FTA (AK-FTA), ASEAN-India FTA (AI-FTA), ASEAN-Australia- New Zealand FTA (AANZ-FTA), dan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA). Dampak terparah yang dirasakan Indonesia terlihat jelas dalam skema ACFTA dan AFTA. Dalam skema lainnya pun, seperti AANZ-FTA dan IJ-EPA, alarm bahaya juga sudah mulai menyala mengingat sejak 2007 neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan Australia dan Selandia Baru telah mengalami defisit. Neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan Jepang juga telah mengalami defisit sejak 2010.
Indonesia terlihat sangat percaya diri dalam melakukan perjanjian kerja sama perdagangan bebas. Alhasil, banyak pujian yang diterima Indonesia dari dunia internasional. Namun, sayangnya, keputusan Indonesia ikut serta dalam perjanjian kerja sama tersebut dilakukan tanpa pertimbangan dan persiapan yang matang. Indonesia absen strategi dalam menghadapi kompetisi perdagangan bebas.
Empat strategi
Terdapat empat strategi yang tidak dipersiapkan Indonesia dalam menghadapi persaingan perdagangan bebas.
Pertama, Indonesia tidak mempersiapkan industri berbasis bahan baku lokal, yakni industri berbasis pertanian dan pertambangan. Dengan kata lain, hilirisasi industri belum berjalan. Selama ini sumber daya alam lokal yang seharusnya bisa diolah menjadi produk industri justru diekspor dalam bentuk mentah demi menghidupi industri di negara lain. Adapun industri yang selama ini diprioritaskan untuk berkembang di Indonesia adalah industri berbahan baku impor. Ini langkah salah dan tak rasional. Kekayaan SDA lokal seharusnya bisa jadi modal dan peluang untuk mengembangkan industri yang berdaya saing.
Kedua, Indonesia lambat dalam mengadopsi teknologi untuk sektor industri. Teknologi dapat hadir jika ada kegiatan investasi di sektor industri. Namun, investasi baru akan datang jika terdapat iklim usaha kondusif.
Ketiga, Indonesia tidak memprioritaskan energi untuk kebutuhan sektor industri, melainkan untuk kepentingan ekspor. Padahal, 49,4 persen energi di Indonesia dikonsumsi industri (ESDM, 2012). Ini menunjukkan bahwa sektor industri sangat bergantung pada energi. Namun, saat ini sektor industri justru kesulitan mendapatkan energi yang sesuai dengan kebutuhannya. Padahal, Indonesia punya cadangan kekayaan energi, seperti gas alam dan batubara, yang cukup melimpah. Indonesia lebih menjadikan batubara dan gas alam sebagai komoditas ekspor, bukan modal membangun Industri.
Keempat, Indonesia tidak mempersiapkan diri dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang ahli dan berkompeten di bidang industri yang berbasis sumber daya lokal. Padahal, Indonesia merupakan negara berpenduduk keempat terbanyak di dunia. SDM ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan kemajuan industri nasional.
Dalam jangka panjang, keempat strategi tersebut (hilirisasi industri, pengadaan teknologi, penyediaan energi, dan SDM) harus ditempuh jika Indonesia ingin menciptakan produk industri yang berdaya saing sehingga dapat melanjutkan tradisi surplus neraca perdagangan. Dalam jangka pendek, untuk memperbaiki kinerja neraca perdagangan yang sedang terpuruk, pemerintah harus berupaya menekan impor, khususnya BBM, dengan melakukan pembatasan konsumsi BBM dalam negeri. Dari sisi ekspor, pilihan hilirisasi tampaknya hal yang paling rasional dan realistis untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Ahmad Heri Firdaus Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
(Kompas cetak, 27 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar