Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 04 Oktober 2016

Mencari Kurikulum Sriwijaya (IWAN PRANOTO)

Telah diketahui bahwa banyak pelajar dari negeri jauh datang berlayar untuk belajar ke Sriwijaya pada masa kejayaannya. Namun, ilmu pengetahuan seperti apa yang dipelajari di Sriwijaya? Bagaimana pula kurikulum dan sistem pendidikannya?

Jawaban pertanyaan ini akan menjadi satu landasan pokok bagi bangunan sejarah ilmu pengetahuan di Indonesia.  Catatan sejarah ilmu pengetahuan Indonesia, dan sesungguhnya juga Asia Tenggara secara keseluruhan, pada masa sebelum kedatangan bangsa Eropa masih sedikit. Masyarakat Asia Tenggara pada masa pra-kolonial terkesan belum mengembangkan ilmu pengetahuan. Keadaan ini bukan citra Asia Tenggara semata. Bahkan, pemahaman sejarah ilmu pengetahuan yang dibelajarkan di episentrum pengetahuan Nalanda (di Rajgir, India), yang arti bebasnya "Sang Pemberi Derma Tiada Henti", juga masih terbatas.

Sriwijaya-Nalanda

 Catatan paling lengkap tentang pendidikan sekaligus kehidupan akademik di Nalanda dan Sriwijaya ditulis oleh skolar Tiongkok, Yijing (kadang ditulis I Ching), sekitar 1.300 tahun lampau. Kebetulan, pendeta Buddha ini pernah belajar di dua simpul utama pada jaringan pengetahuan pada era keemasan Asia tersebut. Upaya mencari makna Jalur Pengetahuan sebagai bagian dari penyebaran pengetahuan, ketimbang Jalur Sutra sebagai jaringan perdagangan barang, dituliskan di artikelContemplating the Knowledge Route(Pranoto, 2016).

Menurut Yijing, kurikulum dan kedalaman ilmu pengetahuan di Sriwijaya tak beda dengan Nalanda. Karena itu, ia berpendapat: daripada ke Nalanda, pelajar dapat belajar ke Sriwijaya. Bahkan, dicatatnya bahwa studi di Nalanda tak akan lengkap jika belum studi di Sriwijaya.

Dengan dasar ini, serta sumber lain, satu kemungkinan membangun catatan sejarah ilmu pengetahuan Indonesia ialah dengan meneliti sistem pendidikan di Nalanda. Dengan menelusuri Nalanda, kita memahami Sriwijaya, lalu kita dapat memahami peradaban ilmu pengetahuan di kepulauan khatulistiwa ini.

Pada masanya, bukan saja mendalami teologi, Nalanda juga membelajarkan ilmu pengetahuan seperti matematika, logika, bahasa, seni, perbintangan, dan pengobatan. Filsafat yang dibelajarkan di sana juga bukan filsafat Timur belaka, tetapi Filsafat Yunani.  Keunikan utama Nalanda pada keterbukaannya terhadap gagasan asing. Nalanda merupakan oase perjumpaan sejumlah peradaban dari berbagai penjuru dunia, terbuka terhadap gagasan liyan, sekaligus tak henti menebarkan pengetahuan.

Struktur akademik Nalanda mirip universitas modern di negara persemakmuran, yakni dengan sistemcollege (kolese) atau diistilahkan sebagaimonastery di kalangan sejarawan Nalanda. Sistem akademik Nalanda ditulis Angraj Chaudhary di buku The Heritage of Nalanda (Mani, 2008, pp. 202-205).

Di Nalanda ada 11 kolese dan setiap kolese memiliki pemondokan sendiri bagi mahasiswa dan sejumlah dosen yang mendampingi mahasiswa sehari-hari. Ini menyiratkan bahwa pendidikan di Nalanda (mungkin juga di Sriwijaya) mengutamakan pelajar untuk mengembangkan dirinya secara utuh. Di Eropa, model pendidikan seperti ini disebut liberal arts. Para pelajar memperluas wawasan dengan mempelajari ilmu alam, meningkatkan budaya akademik melalui berlatih beretorika dan menulis, menyehatkan tubuh melalui yoga, dan menghaluskan jiwa melalui meditasi serta pendalaman kitab-kitab kebijaksanaan.

Kemudian, dalam pengoperasiannya, maha-pesantren Nalanda dengan 10.000 mahasiswa dan 2.000 pengajar ini berdasarkan pendanaan masyarakat. Sejumlah desa sekitar mendarmakan diri dengan mengirimkan kelebihan hasil buminya ke Nalanda agar pelajar serta pengajar dapat fokus mengembangkan ilmu pengetahuan dan tak perlu bekerja. Ini alasannya ada dapur besar dengan ruang penyimpanan bahan mentah di situs Nalanda.

 Perlu diungkap satu fakta penting, yakni tentang kolese termegah, yaitu Monastery No 01 di situs Nalanda. Kolese di sebelah kiri pintu masuk ini merupakan sumbangan Raja Balaputradewa dari Dinasti Syailendra di Suwarnadwipa (Sumatera) atau Sriwijaya. Hal ini dicatat dalam lempengan Prasasti Nalanda.

Pencapaian ilmu

Jika pendidikan di Sumatera saat itu begitu maju, sebagaimana laporan Yijing, lalu mengapa belum ditemukan bukti tertulis tentang pencapaian ilmu pengetahuan yang dibelajarkan di sana? Menurut seorang pakar naskah lontar Jawa dan Bali kuno dari Nalanda University (NU) sekaligus peneliti di Nalanda-Sriwijaya Center, Andrea Acri, ada beberapa kemungkinan.

Salah satunya, boleh jadi bukti pencapaian ini tak berwujud naskah. Kemungkinan buktinya terkandung di balik warisan (berwujud dan tak berwujud) seperti candi atau bahkan gagasan, misalnya seni dan keyakinan. Maka, untuk menemukannya, mau tak mau harus menafsirkannya dari warisan yang ada dan yang akan ditemukan.

Sebagai contoh, kecanggihan bangunan Candi Borobudur dengan ukuran serta kompleksitas yang begitu tinggi sekaligus terhubung dengan posisi benda angkasa tak mungkin dikerjakan oleh insan yang tak mengenal matematika dan ilmu alam, demikian argumen Acri. Inilah tantangan bagi pakar sejarah sains guna menemukan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam berbagai warisan berwujud dan juga yang tak berwujud. 

Kemudian, kenyataan lokasi Pulau Jawa, Bali, dan sebagian Sumatera yang berada di sebelah selatan garis khatulistiwa ini unik dan tak ada duanya di Asia. Keunikan ini menuntut kompleksitas ilmu perbintangan yang dikembangkan nenek moyang kita saat itu dan ini tak sesederhana menyalin pengetahuan dari tempat lain. Oleh karena itu, ilmu perbintangan bersama ilmu pendukungnya sewajarnya sudah berkembang jauh di kepulauan khatulistiwa ini pada masa itu.

Kebangkitan Asia

Upaya mencari kurikulum Sriwijaya sekaligus mendalami pencapaian ilmu pengetahuan pada masa kejayaannya melalui catatan Yijing kini sudah saatnya. Bukan karena zaman "Renaisans Asia" telah menetas, melainkan upaya kolaborasi menemukan peradaban ilmu pengetahuan Asia ini sekaligus akan mengingatkan kembali keharmonisan masyarakat kawasan Asia yang nirsekat.

 Cara pandang pelajar Sriwijaya dan Nalanda kuno yang mengutamakan budaya berilmu pengetahuan serta mengesampingkan kecurigaan akan meningkatkan keharmonisan diplomasi di kawasan Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan hari ini. Jika sekarang titik berat pada isu pertahanan dan ekonomi, perlu dilengkapkan menjadi diplomasi yang mengedepankan budaya berilmu pengetahuan pula.

Sejak 2014, di dekat situs asli Nalanda kuno sudah menitis ulang NU sebagai universitas internasional yang awalnya digagas para menteri luar negeri Asia di pertemuan East Asia Summit 2007. Di Singapura telah pula dibangun pusat studi Nalanda- Sriwijaya Center (NSC). Sambil tetap mendorong pelajar serta akademisi Indonesia berkolaborasi dengan NU dan NSC, wajar jika di Muaro Jambi atau Palembang didirikan institusi internasional Sriwijaya Center atau bahkan universitas berskala internasional. Ini guna memijahkan studi kesejarahan ilmu pengetahuan dalam peradaban kuno nenek moyang kita serta kaitan budaya dengan sub-daratan India dan Asia Timur.

IWAN PRANOTO  GURU BESAR ITB SERTA ATASE PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DI KBRI NEW DELHI, INDIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Mencari Kurikulum Sriwijaya".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

1 komentar:

  1. Asupan sarapan wawasan yang kereen. tapi ada yang menggelitik; Objeknya Sriwijaya, berada di dan milik Indonesia, berarti sistemnya konon diaplikasikan di Sriwijaya pula yg PUSAT nya di Indonesia. tapi, PUSAT studi bertaraf International nya di Singapura?
    #tanyakenapa
    #terusakukudupiye

    BalasHapus

Powered By Blogger