Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 04 Oktober 2016

ANALISIS POLITIK J KRISTIADI: Meredam Dusta dalam Pilkada (Kompas)

Pilkada dan dusta ibarat saudara kembar. Tiada pilkada tanpa dusta. Mereka selalu kompak berjalan seiring sejalan bergandengan tangan. Kenyataan tersebut adalah fenomena yang menyertai dinamika upaya bangsa Indonesia dalam mengembangkan demokrasi lokal untuk mendekatkan rakyat dan pemimpinnya serta mewujudkan pemerintahan lokal yang efektif.

Meskipun proses pelembagaan pilkada dapat dikatakan semakin mapan, kebohongan publik yang diproduksi pertarungan politik di tingkat lokal sudah sangat mengkhawatirkan karena menggerogoti makna pilkada sebagai upaya menata sistem kekuasaan pemerintahan yang beradab. Frekuensi pilkada di Indonesia tidak dapat ditandingi negara mana pun. Sejak 2015 hingga 2016 telah diselenggarakan sekitar 1.300 kali pilkada, tetapi janji dan rayuan maut untuk mendapatkan dukungan rakyat amat sedikit yang dilaksanakan. Jauh janji dari bukti.

Berdasarkan pengalaman selama lebih dari satu dekade pilkada langsung, pilkada serentak tahun 2017 yang akan memilih kepala daerah sekitar 100 orang hampir dapat dipastikan tidak dapat lepas dari ancaman kebohongan publik. Para politisi dipastikan akan mengumbar janji, wacana, dan ruang publik akan pekat dengan limbah pendusta politik mengobral nazar.

Mungkinkah pilkada tanpa dusta?

Jawabannya, hampir mustahil, tetapi kebohongan publik selalu dapat dikelola agar dusta tidak menjadi berhala bagi pemburu kuasa. Muskil karena panggung politik adalah arena adu siasat, adu kecerdikan dan muslihat, adu lihai dan piawai, bahkan sering kali harus adu licik. Oleh sebab itu, tidak jarang fakta dinarasikan dan dipelintir menjadi dusta. Penafsiran disesatkan, akal sehat dijungkirbalikkan. Fakta dan fiksi berbaur menjadi satu narasi.

Mengingat secara hakikat dan kodrat ranah politik bukan pertandingan untuk menjadi orang suci, kebohongan publik harus dikelola sehingga tidak menggerus makna secara absolut kemuliaan kekuasaan. Oleh sebab itu, peran kekuatan masyarakat sipil dan pembentuk opini harus selalu membangun wacana publik untuk menjaga nalar dan akal sehat masyarakat.

Kadar dusta politik dewasa ini sudah mengkhawatirkan karena tidak hanya upaya meyakinkan pemilih dan merongrong kredibilitas institusi politik dan negara; kebohongan publik telah menguatkan prasangka primordial yang akan membuat masyarakat terfragmentasi yang terdiri atas segregasi berdasarkan sentimen primordial; antara lain suku, agama, ras, dan keturunan. Eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dipertaruhkan. Fenomena mengumbar dusta politik bahkan terjadi di negara- negara yang dianggap demokrasinya telah mapan, seperti Amerika Serikat dan beberapa negara Uni Eropa. Mereka menyebut gejala ini Post-truth politics (Tajuk The Economist, 10 September 2010).

Dari sekitar 100 pilkada yang diselenggarakan tahun depan, Pilkada DKI paling awal melakukan pemanasan politik. Tampaknya hal itu bukan hanya karena DKI Jakarta adalah ibu kota negara, melainkan dari perspektif pengelompokan partai politik pendukung pasangan calon. Kompetisi politik di DKI Jakarta adalah proxy pertarungan pemilihan presiden tahun 2019. Oleh sebab itu, pertarungan akan berkepanjangan dan, apabila tidak terkendalikan, kemungkinan akan terjadi pembilahan masyarakat berdasarkan sentimen primordial.

Namun, kekhawatiran tersebut mulai berkurang karena calon lawan pasangan petahana (Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat) adalah Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan Agus Harimurti Yudhoyono- Sylviana Murni. Mereka adalah sosok yang tabiatnya jauh dari kegemaran melontarkan isu-isu bernuasa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Namun, bukan berarti pilkada DKI Jakarta akan bebas dari kebohongan politik, melainkan paling tidak nuansa penyalahgunaan sentimen primordial akan terkendali.

Harapan tersebut bukan tanpa alasan. Sosok Anies Baswedan tidak mempunyai tabiat mengobarkan sentimen primordial. Selain itu, dia adalah cucu AR Baswedan, pejuang kemerdekaan yang merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wakil Menteri Muda Penerangan RI, serta diplomat pertama Indonesia yang berhasil mendapatkan pengakuan Indonesia sebagai negara merdeka dari Mesir. Ia adalah warga keturunan Arab yang gigih membantu perjuangan kemerdekaan. Pada tahun 1934, ia mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab yang menyatakan Indonesia sebagai Tanah Air dan berjuang mendukung tercapainya kemerdekaan Indonesia.

Sementara itu, Agus Harimurti Yudhoyono sejak muda digembleng rasa kebangsaannya dalam pendidikan sebagai calon perwira TNI. Ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono, juga tidak mempunyai rekam jejak yang secara sadar dan sengaja memanipulasi sentimen primordial demi kekuasaan.

Di pihak lain, Basuki Tjahaja Purnama juga mempunyai kepekaan tinggi terhadap kritik sebagian masyarakat yang ingin agar dia lebih terukur dalam menyampaikan pesan kepada publik. Meskipun sebenarnya sasaran ungkapan keras Basuki hanya ditujukan lebih kepada beberapa kalangan di lingkungan birokrasi dan politik karena mereka dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian, pilkada DKI Jakarta diharapkan dapat meminimalkan dusta politik dengan mengumandangkan kampanye yang rasional dan niat mulia. Dusta politik harus dikelola agar tidak merajalela karena sindrom itu melekat dengan kodrat manusia, apalagi penguasa yang mabuk kuasa.

J KRISTIADI, PENELITI SENIOR CSIS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Oktober 2016, di halaman 15 dengan judul "Meredam Dusta dalam Pilkada".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger