Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 10 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Jalan Panjang Pertarungan (GUN GUN HERYANTO)

Pertarungan elektoral 2019 sudah dimulai. Mesin partai politik sudah dipanaskan, perang opini sudah menyebar, pemetaan kekuatan dan penjajakan kongsi mulai mewarnai berita sehari-hari. Masih lama, tetapi membuat banyak pihak tidak sabar menantinya.
DIDIE SW

Pergerakan para elite membangun komunikasi politik lintas kekuatan menjadi penanda nyata bahwa jalan pertarungan sudah membentang panjang. Sejak Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu disahkan, dan tahapan pelaksanaan mulai dijalankan Komisi Pemilihan Umum (KPU), beragam manuver mengemuka dan menjadi pesan politik, banyak jalan menuju kekuasaan!

"Infinite games"

Dari perspektif ideal, tahun kedua hingga keempat merupakan momentum terbaik untuk akselerasi kinerja, baik bagi pemerintah maupun DPR, terutama untuk menunaikan amanah kekuasaan yang sudah disematkan selama rentang waktu lima tahunan. Barulah tahun kelima, publik boleh disesaki lagi dengan ragam cara memenangi kuasa rakyat. Realitasnya, hingga tahun ketiga, DPR Periode 2014-2019 baru mengesahkan sekitar 15 RUU (Kompas, 1/8/2017).

Tak ada perbaikan signifikan, bahkan produktivitas legislasinya menurun. DPR periode 2009-2014 di rentang waktu yang sama sudah bisa mengesahkan 40 RUU. Dari Januari hingga akhir Juli 2017, DPR dan pemerintah baru mengesahkan empat dari 50 rancangan UU yang masuk program legislasi nasional (prolegnas). Tambahannya, hanya tiga RUU bersifat kumulatif terbuka yang sudah disahkan.

Bahkan, dari sedikit UU yang disahkan tersebut, sudah ada yang mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pun demikian di eksekutif, pekerjaan rumah Kabinet Kerja Jokowi-JK masih banyak. Perlambatan pertumbuhan ekonomi, krisis garam, persoalan beras, utang negara, ancaman radikalisme dan terorisme, bahaya narkoba di depan mata, dan lain-lain. Meski demikian, para politisi DPR dan juga politisi di pemerintahan dihadapkan pada realitas, mereka sudah berada di pusaran utama pertarungan 2019.

Meminjam istilah yang dipopulerkan James P Carse, dalam Finite and Infinite Games (1987), pemilu biasanya diposisikan sebagai finite game atau permainan yang jelas akhirnya. Sebagaifinite player,para politikus biasanya fokus berebut "piala" kekuasaan lima tahunan meski kerap abai dengan sang pemberi kuasanya. Pertarungan pemilu kini sudah bergeser menjadi infinite games atau permainan tak berbatas. Sekalipun pemilunya usai, pertarungan panjang penuh kepentingan mewarnai aras politik dalam ketidakpastian.

Sebagai contoh, polarisasi dukungan dalam kontestasi Pilpres 2014 masih terasa hingga sekarang. Tak hanya di level elite politisi,tetapi juga di masyarakat, melalui beragam kanal komunikasi warga, sehingga pertarungan pun berkelanjutan, sambung-menyambung hampir tanpa jeda.

Dialektika relasional

Dalam kajian komunikasi, fenomena politik kita menghadirkan dialektika relasional. Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam tulisannya, "Relating Dialogues and Dialectics" (1996), memaknai dialektika relasional sebagai situasi yang dicirikan oleh ketegangan berkelanjutan antara impuls yang kontradiktif.

Politik penuh hiruk-pikuk, baik di media massa maupun media sosial. Hubungan politik pun kerap memanas, bahkan mencapai titik didih di Pilkada DKI 2016. Peta koalisi partai-partai, baik yang di dalam maupun di luar kekuasaan, sangat cair dan kerap berubah seiring dinamika politik yang berkembang, contohnya dalam pembahasan UU Pemilu.

Di atas kertas, Jokowi mendapat dukungan hingga 69,2 persen kursi di DPR atau 68,84 persen suara sah nasional dari tujuh partai pendukung pemerintah. Akan tetapi, nyatanya di pembahasan UU Pemilu, Partai Amanat Nasional (PAN) yang merupakan partai penyokong pemerintah menyeberang dan walk out dari paripurna bersama-sama Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Demokrat. Ini mengingatkan kita dengan sikap PKS yang berbeda dari partai penyokong pemerintah lainnya di periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam isu kenaikan harga bahan bakar minyak dan opsi Pansus Century.

Pertemuan SBY-Prabowo Subianto di Cikeas (Kamis, 27/7/2017)pun harus kita posisikan dalam dialektika relasional tadi. Terlalu prematur mengatakan mereka akan berkongsi di 2019. Publik pun mungkin tidak menyangka, partai baru Perindo yang digawangi Hary Tanoesoedibjo, yang sangat rajin mengkritik pemerintah, tiba-tiba membuka peluang mendukung Jokowi di 2019.

Dalam politik, pendekatan relasi kuasa bukan monologis (monologic approach), bukan pula dualistik (dualistic approach). Dalam pendekatan monologis, kedua bagian dari sebuah kontradiksi bersifat eksklusif. Saat Anda bergerak menuju salah satu kutub ekstrem, Anda akan menjauh dari yang lain. Pendekatan dualistik (dualistic approach), melihat dua bagian dari kontradiksi sebagai bagian yang terpisah, dan tak berhubungan satu sama lain.

Dalam praktik politik kita, pendekatan dialektik (dialectic approach) inilah yang kerap terjadi, yakni sudut pandang saling menandingi satu sama lainnya dalam setiap kontradiksi yang terjadi. Walaupun ada kontradiksi yang melibatkan dua kongsi politik berbeda, situasi yang dihasilkan bisa melampaui eksklusivitas kutub-kutub politik tersebut. Dalam melihat fenomena dialektika relasional, filsuf Rusia, Mikhail Bakhtin, menyebutkan, kehidupan sosial merupakan dialog terbuka di antara banyak suara. Dalam dialog terbuka itulah tersedia "gelanggang pertarungan" untuk saling menandingi, berkompromi, atau saling mengingkari.

Menunggu kejutan

Jalan panjang pertarungan masih mungkin menghadirkan kejutan demi kejutan. Pertama, peta kekuatan jelang Pilpres 2019 masih sangat mungkin berubah, terutama kuncinya ada di putusan MK terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold/PT). Jika putusan MK menguatkan PT 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional, kemungkinan besarkoalisi terpola hanya menjadi dua. Konstelasi yang paling mungkin terjadi adalah pertarungan ulang Jokowi vsPrabowo seperti di 2014.

Dengan dukungan Golkar, Hanura, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Nasdem, yang sudah mendeklarasikan dukungannya, Jokowi mengantongi modal 32,5 persen kursi di DPR atau 35,61 persen suara sah nasional. Modal dukungan ini melampaui ketentuanpresidential threshold. Jika konfigurasinya seperti ini, tak sulit menebak ke mana mengarahnya bandul politik PDI-P yang memiliki 19,5 persen kursi di DPR atau 18,95 persen suara sah nasional serta Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 8,4 persen kursi di DPR atau 9,04 persen suara sah nasional.

PAN dengan 8,8 persen kursi DPR atau 7,59 persen suara sah nasional masih mungkin ke mana-mana. Sementara kubu Gerindra, PKS, dan Demokrat berpotensi erat merapat. Kondisi ini bisa berubah kalau MK memutuskan ambang batas nol persen. Partai-partai penyokong pemerintah ataupun yang di luar kekuasaan akan berhitung ulang skenario masing-masing.

Kedua, pertarungan akan sengit terjadi di pilkada serentak 2018. Ada 171 daerah yang mengikuti Pilkada 2018, terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Di pilkada serentak kali ini, ada tiga provinsi yang sangat krusial dan bisa berpengaruh signifikan pada konstelasi 2019, yakni Pilkada Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ketiga provinsi ini layak kita sebut "battlegrounds" menentukan. Berkaca ke Pemilu 2014, sebanyak 48 persen calon pemilih berada di ketiga provinsi itu.

Ketiga, pertarungan di wilayah opini publik menyangkut kredibilitas, kapasitas, dan akseptabilitas calon-calon "petarung", sehingga bisa dikonversikan jadi modal dasar elektoral. Saat ini, media massa dan media sosial intens menjadi arena pertarungan tak berkesudahan dalam pembentukan opini warga. Operasi opini publik jangan menyesatkan nalar!

GUN GUN HERYANTO, DIREKTUR EKSEKUTIF THE POLITICAL LITERACY INSTITUTE DAN DOSEN KOMUNIKASI POLITIK UIN JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Jalan Panjang Pertarungan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger