Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 10 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Haji dan Transformasi Sosial (FAJAR KURNIANTO)

Kelompok terbang pertama jemaah haji Indonesia sudah tiba di Madinah, Arab Saudi, 28 Juli lalu. Mereka di sana beberapa waktu sebelum berangkat ke Mekkah untuk berhaji yang puncaknya adalah berwukuf di Padang Arafah pada 9 Zulhijah sekitar akhir Agustus.

Haji adalah rukun Islam kelima. Namun, hanya diwajibkan bagi Muslim yang mampu secara finansial dan fisik serta hanya sekali dilakukan.

Ali Mustafa Yaqub dalam Haji Pengabdi Setan (2006) mengkritik orang yang berhaji dan berumrah berkali-kali. Ketika banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak anak balita busung lapar, banyak rumah Allah roboh, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan nasi aking, serta banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalu kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, kita patut bertanya kepada diri sendiri, apakah haji kita itu benar-benar karena melaksanakan perintah Allah?

Pesan sosial

Haji itu sendiri, meskipun termasuk ibadah ritual, sakral, dan berkaitan dengan aspek spiritual (rohani), sesungguhnya punya nilai sosial yang terkandung di dalamnya. Maksudnya, ada pesan sosial pada setiap ritualnya (manasik) yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari setelah ritual haji itu selesai dan kembali ke kampung halaman atau negara masing-masing.

Makna yang dapat mentransformasi tidak hanya diri orang yang berhaji, tetapi juga masyarakat dan bahkan negara. Dengan kata lain, jika haji mampu dimaknai dengan baik, lalu diaplikasikan secara nyata, ia dapat merevolusi mental manusia hingga dalam tataran praksis: melahirkan transformasi sosial.

Dalam haji, misalnya, ada ritual memakai pakaian ihram berwarna putih, menggantikan pakaian yang biasa dikenakan sehari-hari, sebagai penanda dimulainya proses haji.

Ali Shariati dalam bukunya, Hajj (1978), mengatakan bahwa pakaian melambangkan pola, preferensi, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. Pakaian menciptakan "batas" palsu yang menyebabkan "perpecahan" di antara umat manusia. Hampir semua "perpecahan" ini melahirkan "diskriminasi".

Selanjutnya, dari "perpecahan" itu timbul konsep "aku", bukan "kita". "Aku" dipergunakan di dalam konteks seperti rasku, kelasku, kelompokku, kedudukanku, keluargaku, dan bukan "aku" sebagai manusia.

Di mikat, segala pakaian yang telah menciptakan "perpecahan" itu ditanggalkan diganti dengan pakaian yang sama, seragam. Di mikat itu, apa pun ras dan suku mereka diperintahkan untuk melepaskan semua pakaian yang dikenakan sehari-hari. Seperti dikatakan Shariati, lepaskanlah pakaian serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), pakaian tikus (yang melambangkan kelicikan), pakaian anjing (yang melambangkan tipu daya), atau pakaian domba (yang melambangkan penghambaan). Tinggalkanlah semua pakaian itu di mikat dan berperanlah sebagai "manusia" yang sesungguhnya.

Dengan pakaian yang seragam, manusia melebur menjadi satu, tanpa perbedaan, bersama-sama menuju Allah secara sadar. Ibnu Arabi dalam Al-Futuhat Al-Makkiyah menyebutkan dua kondisi menuju kepada Tuhan: secara terpaksa dan secara sadar. Kesadaran yang menggerakkan tidak hanya pikiran dan jiwa untuk merenungkan kebesaran Tuhan, tetapi juga kenyataan tentang manusia dan kemanusiaan.

Manusia citra Tuhan

Manusia pada hakikatnya adalah satu. Manusia, dengan berbagai perbedaan (agama, keyakinan, pandangan, dan lain-lain), sejatinya adalah citra Tuhan. Di mata Allah, semua manusia adalah sama. Dengan kesadaran eksistensial semacam ini, manusia sesungguhnya tidak layak membenci, menyakiti, atau merendahkan sesamanya.

Manusia sejatinya adalah bersaudara yang semestinya saling mencintai, mengasihi, menyayangi, menghormati, dan menghargai sesamanya. Dalam bahasa Shariati, peristiwa haji juga merupakan sebuah gerakan. Manusia bertekad untuk kembali kepada Allah.

Segala keakuan dan kecenderungan yang mementingkan diri sendiri terkubur di mikat. Dia menyaksikan tubuhnya sendiri mati dan menziarahi kuburannya sendiri. Kepadanya diingatkan apakah tujuan hidupnya yang sesungguhnya. Di mikat itu ia mengalami kematian dan kebangkitan kembali. Di dalam perpaduan aneka ragam manusia ini, nama, ras, atau status sosial tidak ada artinya. Kita hanya merasakan persatuan yang murni.

Haji benar-benar menanamkan ke dalam pikiran dan benak terdalam manusia akan sisi kemanusiaannya yang seakan-akan telah lenyap. Kita bisa melihat kenyataan betapa karena perbedaan pandangan politik, bahkan keyakinan agama, telah membuat manusia berpecah belah, saling membenci, memusuhi, dan mencurigai.

Tidak hanya di dunia nyata, dunia maya juga penuh dengan caci maki, fitnah, dan kata-kata tak pantas bagi manusia beradab. Haji ingin mengembalikan manusia pada kesadaran eksistensialnya. Haji ingin mengubah secara fundamental dan cepat pola pikir dan perilaku manusia yang telah jauh dari nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Karena itu, betapa sayangnya jika haji sekadar memenuhi kewajiban tanpa memaknai pesan agung di dalamnya. Apalagi, haji yang sekadar untuk kebanggaan dan pencitraan politik. Seakan-akan dosa sosial, dianggap terhapus dengan melakukan haji (atau umrah). Haji dengan motif duniawi ini tidaklah disebut sebagai haji mabrur (haji yang diterima). Sebab, haji ini tidak berdampak positif apa-apa.

Haji sesungguhnya adalah instrumen untuk merevolusi mental yang akhirnya melahirkan transformasi sosial. Nilai-nilai haji erat kaitannya dengan kehidupan sosial yang menjadi tujuan akhir dari disyariatkannya haji. Haji bukan sekadar ritual yang berkaitan dengan aspek spiritual atau tapak tilas jejak historis Ibrahim, Hajar, dan Ismail pada masa silam.

Haji membawa pesan kemanusiaan, seperti persaudaraan, persatuan, persamaan, kesetaraan, toleransi, dan seterusnya. Ini modal utama bagi terciptanya transformasi sosial yang nyata dan membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Semoga.

FAJAR KURNIANTO, PENELITI PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN UNIVERSITAS PARAMADINA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Haji dan Transformasi Sosial".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger