Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 04 Oktober 2016

Menyoal Legitimasi Reklamasi (SUPARTO WIJOYO)

Keguncangan seputar reklamasi Teluk Jakarta kembali menyeruak ke ranah publik. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Kemaritiman, seperti diwartakan harian ini, akan melanjutkan reklamasi Teluk Jakarta, tetapi menunggu kajian proyek Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional/NCICD (14/9/2016).

Perubahan sikap pemerintah ini mengusik ketenangan umum yang selama ini "lirih" dalam menyikapi proyek reklamasi. Koalisi rakyat yang didukung pemerhati tengah menempuh jalur hukum melalui lembaga peradilan. Sebuah ikhtiar di negara hukum (rechtsstaat)sebagai tatanan yang masih dipercaya memberikan solusi atas problematika reklamasi.

Perubahan sikap pemerintah pusat untuk melanjutkan proyek besar reklamasi Teluk Jakartadengansandaran hasil kajian dokumen NCICD wajib mengedepankanprinsip kecermatan dan keberhati-hatian.Konstelasi muatan NCICD sungguhsemakin melengkapikeputusan yang menggema dari ruang Rapat Terbatas Kabinet Kerja, April lalu.

NCICD adalah proyek Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional yang diintroduksi langsung oleh Presiden Joko Widodo. Sebuah ungkapan yang saat itu bagi sayasedikit membawa ketenangan setelah pro kontra mewarnai reklamasi Teluk Jakarta. Apalagi pemerintah juga telah mengambil langkah taktis untuk menghentikan sementara proyek reklamasi.

NCICD,tak lain adalah Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional yang melibatkan beragam pihak dan kepentingan. Utamanya adalah membangun tanggul raksasa (giant sea wall) yang mampu membentengi Jakarta dari gelombang laut dan dilakukan secara terpadu.

Keterpaduan merupakan pilihan terminologi yang memiliki basis akademik dan praksis manajemen lingkungan. Bukankah sejumlah dokumen internasional selalu menyerukan untuk melakukan integrated environmental management system.NCICD diharapkan menjadi solusi yang memagari Jakarta dari amukan laut tahun 2030.

Megaproyek ini bukan barang baru produk Presiden Joko Widodo. NCICD telah lama digagas dan dikaji sejakera Presiden Yudhoyono. Dari keseluruhan dokumen NCICD dapat diketahui bahwa pembangunan giant sea wall merupakan bagian utama yang merangkai keseimbangan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Masalah sosial-ekonomi, demografi, hidrologi, pertumbuhan ekonomi, dan perubahan iklim ditelaah. Menteri Infrastruktur dan Lingkungan Hidup Kerajaan Belanda punmemberi hantaran dalam rencana induk NCICD ini yang jelas menyatakan bahwa ini adalah proyek unik yang monumental bagi Indonesia.

Lebih dari itu, dukungan Presiden Jokowi untuk segera mengimplementasikan NCICD adalah kunci merealisasinya. Implementasi NCICD bukan saja telah mendapatkan dukungan konseptual dengan beragam dokumen kajian yang telah rampung, melainkan juga telah didasarkan pada hasil Kunjungan Kerja Presiden ke Eropa, termasuk ke Belanda yang menjadi acuanmodel NCICD di areal Port of Rotterdam. Dengan latar yang benderang ini, legitimasi saintifik dan akademik ditambah birokratik yang termuat dalam dokumen NCICD telah dikantongi pemerintah.

Darirencana induk NCICD, diketahui bahwa proyek ini memang dilakukan dalam Perencanaan A, B dan C. Dari tahapanpenanggulangan pantai dan sungai,pembangunan tanggul di laut, reklamasi dan konektivitas jaringan infrastruktur sertapengembanganzona ekonomi pelabuhan, sampai pada perbaikan kehidupan rakyat. Di antara berbagai jenis perencanaan itu, terdapat pengembangan yang bisa saja "menelisik–menyusup" di antara ABC. Dalam praktik, itu hal "lumrah" bukan?

Tinggal teknis yuridis

Bacalah dokumen NCICD,di antara program yang termuat di dalamnya adalah reklamasi sebagai bagian saja dari pembangunan kawasan Ibu Kota ala NCICD. Apabila NCICD berjalan dengan dukungan kebijakan Presiden yang pastinya akan dituangkan dalam regulasi yang memadai, legitimasi hukum atas proyek reklamasi hanyalah tinggal teknis yuridis yang akan dengan mudah ditetapkan.

Penundaan sementara pelaksanaan reklamasi yang kini "hendak diamnesti" sudah terbaca naga-naganya: proyek mau dilanjutkan lagi dengan kajian NCICD. Langkah ini sangat jitu untuk memupuk keramaian agar seru dibincangkan sebelum akhirnya mengalami pengendapan legitimasidalam dokumen NCICD. Maka, perkembangan ke depan yang mesti dikawal adalah apakah reklamasi yang menghebohkan berupa konstruksi 17 pulau tersebut akan menjadi "tamu yang diundang" ataukah"tamu yang menyusup" ke proyek NCICD? Dalam bahasa jawa timuran, apakah proyek reklamasi Teluk Jakarta itu proyek "nunut" kapal besar bernama NCICD?

Publik pastinya sangat mafhum bahwa yang namanya reklamasi memang legitimasinya tidak tunggal. Aspek hukum menjadi salah satu saja dari beragam wujud legitimasi. Hukum akan menjadi produk yang akan dilahirkan secara prosedural di kala legitimasi konseptual melalui kajian ekologi, ekonomi, hidrologi, demografi, fisik-kimia, sosial-budaya, ataupun infrastruktur telah terpenuhi.

Teknologi reklamasi dan pembangunan yang dapat diterima secara akademik akan memiliki validitas ilmiah. Hukum pada galibnya dihadirkan untuk membungkus keabsahan guna melahirkan legitimasi yuridis. Para pakar dipersilakanberdebat tentang bobot hukum untuk reklamasi 17 pulau yang akan menyembul sebagai penanda baru Jakarta.

Pilihan memang ada di publik Jakarta dan memanggil semua warga NKRI. Jakarta jangan dibiarkan melenggang sendiri karena Jakarta milik seluruh anak negeri. Langkah Presiden atas nama pembangunan sudah dapat ditebak ke mana hendak dijalankan. Deregulasi dan paket kebijakan yangsudah selusin memberi sinyal bahwa gerbang kemudahan berinvestasikian kencang bergerak. Sejumput perangkat hukum, seperti UU Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Perikanan-Kelautan, UU Pesisir dan Pulau-pulau, ataupun segudang regulasi, dapat diubah untuk mencapai Nawacita. Demi rakyat yang telah mengalirkan limpahan kedaulatan kepada lembaga Presiden, pastilah Presiden mendengar pemberi suara yang tergolong rakyat pinggirandan nelayan Jakarta. Warga memang harus didengar dan hukum dapat menampungsuara rakyat.

Legitimasi hukum dan keilmuan dapatdiraih dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta ini, tetapi legitimasi kebangsaan untuk melakukan pembangunan yang adil jelas sulit dipenuhi. Distribusi pembangunan yang berkeadilan dengan tuangan ekonomi yang tersebar ke seluruh jengkal Tanah Air secara bijak adalah supremasi legitimasi yang harus dipanggul Presiden. Tidak elok dalam sebuah negara kesatuanmenumpuk pembangunan di Jakarta.

Rakyat memang menyaksikanbahwa reklamasi bukan sesuatu yang dilarang dan "haram". Reklamasi itu "halal" dan dapat diselenggarakan dengan pertimbangan matang. Pertimbangan ekonomi tidak boleh mendominasi. Sejarah sudah menunjukkan bahwa menata kota dengan pertimbangan ekonomi semata ternyata meruntuhkan adab kotanya.Reklamasi Teluk Jakarta jelas membawa dampak besar secara ekologis ataupun planologis. Fungsi dasar sebagai daerah tangkapan air dan lahan konservasiakan hilang.Warga Jakarta sudah dapat menerka: dengan reklamasi, Jakarta menjadi milik siapa?

Semua sudah mafhum reklamasi dikhawatirkan menjadikan Jakarta mementaskan "ritual banjir". Hal ini wajar mengingat di Teluk Jakarta itu bermuara sungai-sungai. Kalau pantainya diuruk, logikanya terdapat pendangkalan dan kerusakan habitat "taman surga biota air" Teluk Jakarta.Dalam kerangka pikir inilah, saya menangkap NCICD hadir menawarkan legitimasibaru yang menuntaskan kekhawatiran, tetapi makna kebangsaannya masih perlu diuji.Reklamasi di mana pun jangan mengabaikanhak-hak konstitusional warga "atas lingkungan hidup yang baik dan sehat" (Pasal 28H UUD 1945).Itulah yang perlu dipikirkan dan dikerjakan pemerintah pusat.

Pembangunan berkeadilan

Pemerintah pasti sudah hafal betul bahwa secara yuridis, persoalan bangsa ini bukan pada tumpukan norma hukumnya, melainkan padalihainya menyiasati aturan tanpa ukuran. Reklamasi Teluk Jakarta harus disirami dengan pekabaran lingkungan dunia saat ini: pengurasan energi yang terus-menerusdan diperebutkan, keamanan yang mengancam, konflik dan peperangan yang masih mewarnaisebagaimana dilansir Daniel Yergin,bencana alam dan jihadist war,pertumbuhanpendudukdan culture waryang dilontarkan George Friedman,ditambah pula dengan krisis pangan dan identitas, terutama kemiskinan yang melanda di setiap segmen geografis dunia. Situasi ini secara mondial jangan diusik lagi dengan keriangan pemusatan pembangunan di Jakarta.

Terhadap hal ini, sayateringat tulisan lama James Goldsmith,The Trap, waktu jadi capres tahun 1994yang disampaikan di hadapan 2.000 orang di Grand Amphitheatre Universitas Sorbonne, Paris, bahwa: setiap masyarakat di dunia modern sedang menghadapi problem rumit dan tidak ada solusi yang sederhana dan universal. Namun, banyak di antara problem ini memiliki akar yang sama. Ilmu, teknologi, dan ekonomi telah diperlakukan masyarakat modern ini sebagai tujuan itu sendiri, bukan sebagai sarana penting untuk meningkatkan kesejahteraan.

Peningkatan pengangguran, kekerasan, kemiskinan, kemerosotan lingkungan, dan kesadaran umum bahwa telah terjadi kesalahan yang mendasar dalam pengelolaan perekonomian negara seperti yang dilansir James Goldsmithtelah pula sampai pada tataran merenungkan kembali keberadaan negara kesejahteraan yang dalam ungkapan Bjorn Hettne: "negara kesejahteraan dipertanyakan".

Peran negara dan pemerintah untuk menyejahterakan rakyat harus ditata kembali. Peran negarapada akhirnyasampai pada perbincangan yang bersentuhan dengan economic performance global, regional, ataupun nasionalyang diramu sebagai muatansustainable development.

Pembangunan berkelanjutan menyorongkan pelaksanaan pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasisekarang tanpa menggerus kepentingan generasi mendatang dengan memadukan pilar ekonomi, sosial, dan ekologi secara integral. Dengan konsepsi fundamental demikian, ternyata tetap saja dipersepsi bahwa yang berkelanjutan adalah pembangunannya dengan dampak ikutan kehancuran lingkungan ataupun kerapuhan sosial yang berupa kemiskinan. Ini menandakan di ranah pembangunan berkelanjutan terdapat realitasdunia yang senantiasa muncul dalam bentuk disparitas, ketimpangan sosial sekaligus penggadaian kekayaan alam yang dalam bahasa tertentu acapkali dinyatakan terjadinya transaksiekologi yang telah melampaui batas-batas yang bisa ditoleransi.

Kondisi ini pasti mengusik tatanan sosial, ekonomi, dan ekologi. Pembangunan ibu kota Jakarta harus dibenahi di wilayah wacana ataupun wujud. Roberdt C Guel mengatakan, guncangan ekonomi dunia mutakhir terus bersentuhan dengan isu- isu problematik: produksi, pembiayaan, monopoli, kompetisi, ekonomi yang berorientasi profit, produk domestik bruto, inflasi, pengangguran, resesi, agregat permintaan dan suplai, perdagangan internasional, pertumbuhan ekonomi, sumber daya alam, harga energi, dan seterusnya.

Dalam deretan masalah itulahtata kelola ibu kotaIndonesia wajib hadir dengan membuka ruang sosial yang berkeadilan dalam negara hukum yang, menurut UUD 1945, bertugas melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah.

Kekayaan alam yang dikuasai negara dipersembahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Komitmen konstitusional mesti diambil dalam pelaksanaan pembangunandengan poros keseimbangan utama: ekonomi, sosial, dan lingkungan yangberkeadilan.

Membangun Jakarta secara adil dengan mengakomodasi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang inklusif sekaligus berwawasan lingkungan adalah solusi.Inilahfair and justice development. Meminjam kata-kata Anthony Giddens,ini adalah bagian dari "kesadaran diri dan perjumpaan sosial" seorang pemimpin untuk menjalankan manajemen negara dalam pembangunan yang berkeadilan bagi kesejahteraan rakyat.

Negara harus terjaga agardirasa selalu ada.Kita tidak ingin lagi menyaksikan pelupaan kolosal atas derita lingkungan dan kemanusiaan akibat pertambangan ataupun pembakaran hutan. Untuk selanjutnya sunyi sepi dan gaduh kembali.

Demi keberadaan negaraku, kuselipkan lantun puitis Jose MA Capdevilla yang dikutip Mochtar Lubis: melintas ketakutan lewat sudut/jalan-jalan dan tanah lapang/ meratap kengerian/angin lalu/ada yang tidur/yang lain bangun/hati berdebar cemas/turunlah hujan/semuanya teror dan sunyi sepi.

SUPARTO WIJOYO, AKADEMISI HUKUM LINGKUNGAN DAN KOORDINATOR MAGISTER SAINS HUKUM DAN PEMBANGUNAN SEKOLAH PASCASARJANA, UNIVERSITAS AIRLANGGA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Menyoal Legitimasi Reklamasi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger