Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 05 Oktober 2016

Mewujudkan Reformasi Hukum (AL ARAF)

Dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan 22 pakar hukum yang diselenggarakan di Istana Negara pada 22 September 2016, Presiden mengungkapkan keinginannya untuk melakukan reformasi dan pembaruan hukum di Indonesia.

Tiga aspek penting dalam pembaruan hukum yang diinginkan Presiden adalah meliputi penataan regulasi, reformasi kelembagaan, dan penyelesaian kasus-kasus. Untuk tujuan itu, Presiden akan membuat peta jalan (road map) pembaruan hukum di Indonesia.

Beberapa pakar hukum dan hak asasi manusia (HAM) dari lintas elemen yang datang dari sejumlah kalangan menyampaikan banyak pandangan dan masukan tentang agenda reformasi hukum kepada Presiden. Pegiat HAM, Todung Mulya Lubis, dalam pertemuan tersebut menyampaikan agar pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla) tidak melanjutkan agenda eksekusi mati dan berharap agar pemerintah melakukan moratorium hukuman mati. Selain itu, beberapa pakar hukum lainnya juga memberikan pandangan dan masukan yang berbeda-beda.

Penulis yang berkesempatan hadir dalam pertemuan tersebut menyampaikan tiga hal penting yang perlu dilakukan Presiden dalam reformasi hukum, yakni menuntaskan penyelesaian kasus Munir, penuntasan kasus pelanggaran HAM- khususnya yang terdekat membentuk pengadilan HAM untuk kasus orang hilang karena sudah ada rekomendasi DPR-dan melakukan agenda reformasi peradilan militer.

Desakan agar pemerintah menyelesaikan agenda reformasi peradilan militer melalui revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentu memiliki alasan yang sangat berdasar di dalam rangka mendorong reformasi hukum di Indonesia. Sebagaimana diketahui, agenda pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengalami kebuntuan (deadlock) pembahasannya di DPR pada periode 2004- 2009 dan gagal dilakukan selama sepuluh tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Urgensi perubahan

Dalam sistem negara hukum (rule of law), semua entitas dalam negara wajib menjunjung tinggi hukum dan tata nilai yang mengikatnya. Mengingat Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, bukan negara berdasarkan kekuasaan, maka pemerintah memiliki peranan penting untuk memastikan tegaknya negara hukum. Penegasan tentang negara hukum diatur dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Salah satu prinsip utama dalam negara hukum adalah pengakuan atas prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Prinsip itu secara tegas diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Lalu, dipertegas lagi dalam Pasal 28 Huruf d Ayat 1 Konstitusi yang menyebutkan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Prinsip ini menyiratkan makna bahwa semua warga negara harus diperlakukan sama di muka hukum.

Dalam negara hukum, tentu tidak boleh dan tidak bisa ada diskriminasi dalam penerapan hukum yang bersifat publik, baik hukum formal maupun hukum materialnya. Semua warga negara, baik yang berprofesi sebagai mahasiswa, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), anggota TNI, anggota Polri, menteri, maupun presiden, memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Dalam konstruksi negara hukum itu, mekanisme peradilan mutlak bersifat independen, tak memihak, dan tak dipengaruhi suatu kekuasaan atau kekuatan apa pun serta harus menjamindue process of law (proses hukum yang adil).

Pengakuan atas negara hukum dan prinsip persamaan hukum dalam konstitusi sudah sepatutnya menjadi landasan dasar buat pemerintah untuk menyelesaikan agenda reformasi peradilan militer melalui revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Agenda reformasi peradilan militer merupakan jantung bagi perubahan tata sistem peradilan dan kelembagaan hukum kita.

Sebagaimana diketahui, mekanisme dan proses dalam peradilan militer yang berjalan selama ini tidak sejalan dengan prinsip negara hukum dan asas persamaan di hadapan hukum. Problematika peradilan militer itu tidak bisa dilepaskan dari politik hukum pembentukan undang-undang peradilan militer yang dibentuk dalam kosmologi rezim otoritarian Orde Baru yang anti negara hukum.

Di dalam sistem peradilan militer, anggota militer yang terlibat dalam tindak pidana umum dan tindak pidana militer diadili dalam peradilan militer. Yurisdiksi peradilan militer yang juga berwenang mengadili anggota militer yang terlibat dalam tindak pidana umum telah membedakan posisi dan status anggota militer dari warga negara lainnya di hadapan hukum.

Dalam sistem negara hukum, sudah semestinya anggota militer juga ditempatkan sama posisinya dengan warga negara lain jika terlibat dalam tindak pidana umum. Jika ada anggota militer yang melakukan kekerasan, perlakuannya di hadapan hukum juga sama dengan masyarakat lain yang melakukan kekerasan. Perlakuan yang sama itu baik terkait dengan hukum formalnya maupun hukum materialnya.

Dengan demikian, segala bentuk tindak pidana umum yang dilakukan anggota militer diproses melalui mekanisme yang sama dengan warga negara lainnya melalui peradilan umum dengan mengikuti mekanisme criminal justice system. Menurut Indeks Negara Hukum Indonesia 2015 yang dikeluarkan Indonesian Legal Roundtable, militer masih menjadi salah satu aktor yang menggunakan kekuatan secara berlebihan yang berujung pada terjadinya kekerasan terhadap masyarakat.

Terlalu luasnya yurisdiksi peradilan militer yang sampai menjangkau masalah tindak pidana umum dalam praktiknya telah menjadi ruang dan peluang terciptanya impunitas. Kalaupun ada hukuman terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum kadang kala hukumannya ringan dan tidak maksimal. Ruang impunitas itu juga dimungkinkan terjadi karena mekanisme dan sistem peradilan militer yang tidak memenuhi kaidah-kaidah prinsip peradilan yang adil dan baik (fair trial).

Alhasil, sering kali keluarga korban mendapatkan ketidakadilan dari putusan peradilan militer tersebut, seperti keluarga korban kasus penghilangan orang secara paksa 1997/1998 dan kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay yang penyelesaian kasusnya melalui peradilan militer. Lebih dari itu, mereka yang diduga terlibat dalam kasus tersebut dan sudah disidangkan melalui peradilan militer justru mendapatkan promosi di dalam tubuh TNI.

Sistem peradilan militer yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 juga terlalu luas ruang lingkupnya sampai mengatur masalah tata usaha militer. Padahal, materi hukum tata usaha militer seharusnya dipisah dari peradilan militer dan menyatu dengan peradilan tata usaha negara. Sebagai bagian dari organisasi negara, seharusnya militer dan peradilan militer tunduk dalam mekanisme penyelesaian sengketa administrasi yang sama dengan lembaga negara lainnya yakni melalui pengadilan tata usaha negara.

Selain itu, perubahan sistem peradilan militer juga bertujuan untuk memastikan bahwa anggota militer dapat terpenuhi hak-haknya dengan benar ketika menjalani proses hukum. Baik itu hak didampingi pengacara yang layak, hak tidak mendapat perlakuan kekerasan dan penyiksaan selama proses hukum berlangsung, dan hak-hak lain sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Mandat rakyat

Perubahan sistem peradilan militer sesungguhnya menjadi agenda krusial dalam reformasi TNI yang telah dimandatkan rakyat melalui ketetapan MPR Nomor VII/2000. Pasal 3 Ayat 4 TAP MPR Nomor VII/2000 menyebutkan bahwa, "Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum."

Lebih lanjut, penegasan agar militer tunduk dalam peradilan umum juga kembali diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 65 Ayat 2 Undang-Undang TNI menyebutkan, "Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang."

Sebagai bagian dari mandat rakyat, penuntasan agenda reformasi peradilan militer sangat dinantikan masyarakat banyak demi tegaknnya negara hukum. Dengan demikian, arah pembaruan hukum yang akan dilakukan Presiden Jokowi sudah semestinya memasukkan agenda reformasi peradilan militer melalui revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 di dalam peta jalan reformasi hukum yang akan dibuat pemerintah. Penuntasan agenda reformasi peradilan militer juga akan melengkapi proses reformasi TNI yang sudah berjalan selama ini yang sudah menghasilkan capaian-capaian positif. Selamat ulang tahun ke-71 TNI.

AL ARAF

Direktur Eksekutif Imparsial, Dosen Universitas Paramadina dan Al Azhar Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Mewujudkan Reformasi Hukum".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger