Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 05 Oktober 2016

Tantangan Gerakan Non-Blok (MOHAMAD ROSYIDIN)

"A great civilization is not conquered from without until it has destroyed itself within."

Will Durant, 1885-1981

Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok ke-17 di Venezuela telah selesai dihelat. Ada kesepakatan, tetapi ada juga ketidaksepakatan. Di luar agenda rutin dan perjuangan tak kenal lelah untuk memerdekakan Palestina, KTT GNB menyisakan tanda tanya besar perihal prospek forum multilateral terbesar setelah PBB itu.

Pertanyaan yang kemudian menjadi penting adalah apa tantangan terbesar kelompok negara-negara eks kolonial itu dalam menghadapi dinamika internasional yang kian kompleks dewasa ini?

Banyak kalangan mempertanyakan relevansi Gerakan Non- Blok (GNB) di tengah kondisi dunia yang tak menentu. Hal ini wajar karena GNB lahir dalam suasana Perang Dingin di mana sistem internasional masih berbentuk dwikutub (bipolar). Isu politik-militer juga mendominasi pola interaksi antarnegara. Belum lagi saat itu negara menjadi satu-satunya aktor terpenting dalam percaturan politik internasional.

Kini kondisinya sudah sangat jauh berbeda. Sistem internasional lebih condong ke multipolar. Politik dunia kini lebih bersifat multiaktor dan multisektor. Semua pihak dituntut adaptif agar tidak tertinggal. Di sinilah eksistensi GNB diuji dengan kapasitasnya dalam merespons pelbagai tantangan global.

GNB berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan supaya forum ini tetap kapabel memainkan perannya sebagai mitra global yang seimbang. GNB tak hanya berfokus pada isu tradisional, seperti kedaulatan dan nonintervensi, tetapi juga isu-isu nontradisional. Sebagai contoh, pertemuan tingkat menteri anggota GNB pada 2010 di Manila membahas tentang dialog antar-umat beragama. Ini artinya, GNB cukup adaptif dan responsif terhadap isu radikalisme yang membuahkan terorisme.

Sindrom Perang Dingin

Ada fakta menarik sekaligus memprihatinkan dalam KTT GNB di Venezuela. Dari 120 negara anggota, tak banyak yang menghadiri pertemuan itu. Meski tidak ada pengumuman resmi, sejumlah media massa memberitakan hanya sekitar 10 kepala negara yang hadir dalam KTT itu, jauh dibandingkan KTT GNB ke- 16 di Iran yang dihadiri 35 perwakilan negara. Banyak pihak menduga faktor kebijakan politik rezim Nicolas Maduro yang leftist membuat banyak negara anggota enggan memenuhi undangan Venezuela. Fakta ini tentu menimbulkan pertanyaan, adakah yang salah dengan GNB?

Tulisan ini berpendapat, tantangan terberat GNB terletak pada kemampuan anggotanya menjaga solidaritas di tengah tarik- menarik kepentingan antara kekuatan yang pro, atau sekurang- kurangnya akomodatif terhadap Barat dan kekuatan yang kontra, atau sekurang-kurangnya kritis terhadap Barat. Dengan postur keanggotaan yang demikian besar, ditambah latar belakang politik yang bervariasi, tentu sangat sulit mencari kesamaan persepsi. Orientasi kebijakan luar negeri negara anggota terhadap Barat, khususnya terhadap Amerika Serikat, bisa menjadi batu sandungan yang berpotensi melemahkan solidaritas GNB di masa depan.

Dengan perkiraan kasar, kita bisa memilah orientasi politik negara anggota GNB menjadi tiga kubu: pro Barat, anti Barat, dan netral. Kubu pro Barat diwakili negara-negara yang memiliki hubungan dekat dengan Barat, misalnya Arab Saudi, Jordania, Filipina, dan Singapura. Sementara kubu anti Barat beberapa di antaranya yang menonjol adalah Venezuela, Iran, Korea Utara, Zimbabwe, dan Suriah. Negara besar lain, seperti India dan Indonesia, memilih menjalankan politik strategic autonomyatau prinsip bebas-aktif.

Disparitas orientasi politik luar negeri ini berimplikasi pada sikap mereka dalam status keanggotaan GNB. Negara-negara anti Barat cenderung mendukung penuh KTT di Venezuela. Pernyataan Maduro, sebagaimana dilansir oleh Xinhua,menegaskan bahwa KTT GNB harus "melampaui semangat peperangan yang digelorakan AS serta agenda rekolonisasinya" jelas menunjukkan spirit perlawanan terang-terangan terhadap Barat. India sebagai salah satu pendiri GNB dan promotor kuat reformasi PBB memutuskan tidak hadir. Keputusan India ini dapat dibaca sebagai bentuk dilema politik luar negerinya yang relatif lebih dekat kepada Barat.

Fakta ini sungguh ironis mengingat GNB dibentuk untuk melepaskan diri dari perseteruan ideologis antara Barat dan Timur. Namun, dalam perjalanannya, GNB justru menjadi korban dari rivalitas Barat dan penentangnya. GNB terbukti gagal membendung kuatnya tarik- menarik kepentingan di antara negara-negara besar. Alhasil, GNB pada kenyataannya masih terjebak dalam "sindrom Perang Dingin".

Peran Indonesia

Sebagai salah satu negara founding father GNB, Indonesia perlu mengambil peran aktif dan konstruktif dalam rangka menjaga solidaritas antar-anggota. Hal ini penting demi eksistensi GNB sebagai sebuah "blok historis", meminjam istilah Antonio Gramsci, dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara Selatan. Bagi Indonesia, GNB penting sebagai instrumentasi politik "bebas-aktif" serta sejalan dengan amanat konstitusi.

Indonesia punya modal dasar melakukan peran aktif itu. Konsistensi Indonesia menjalankan politik netralitas merupakan nilai plus. Selain itu, Indonesia memainkan peran global sebagai "pembangun jembatan" (bridge- builder), sebagaimana disampaikan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berpidato di Wilton Park, London, 2012. Hingga saat ini, peran aktif Indonesia di panggung internasional masih cukup menonjol sekalipun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla lebih menitikberatkan pada masalah-masalah domestik.

Dengan peran itu, Indonesia perlu mengajak negara anggota GNB untuk sejenak melupakan perbedaan politik di antara mereka guna mencari solusi bersama atas masalah-masalah global. Ini adalah tugas berat meskipun tidak mustahil mengingat postur GNB yang sangat gemuk. Namun, upaya ini tetap harus ditempuh jika semua negara menginginkan GNB tetap eksis. Komitmen dialog antar-umat beragama tahun 2010 jadi preseden bahwa disparitas politik bisa dijembatani.

Kunci untuk menjembatani disparitas politik itu adalah keyakinan bahwa eksistensi GNB bukan dilandasi oleh kepentingan nasional yang ingin diperjuangkan setiap anggota, melainkan identitas kolektif yang melampaui sekat-sekat geografis, kultural, ekonomi, dan politik. Dalam konteks ini, Chris Alden dan kawan-kawan (2010:3) mengatakan bahwa identitas yang melandasi kerja sama Selatan-Selatan berperan sebagaimobilising symbol untuk menyelaraskan kebijakan.

Untuk itu, semua negara harusnya sadar bahwa bukan politik yang menentukan identitas, melainkan identitas yang menentukan politik. Sebelum berkontribusi pada perdamaian dunia, GNB terlebih dahulu harus merestorasi dirinya sendiri karena, seperti kutipan di awal tulisan ini, GNB tidak akan bubar karena tantangan dari luar, tetapi justru hancur dari dalam.

 MOHAMAD ROSYIDIN

DOSEN DI DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

UNIVERSITAS DIPONEGORO

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Tantangan Gerakan Non-Blok".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger