Saat ini berbagai lapisan masyarakat membicarakan tax amnesty atau pengampunan pajak. Jargon pemerintah adalah "ungkap, tebus, dan lega". Betul wajib pajak menjadi lega, lalu merasa aman dan nyaman?
Misalkan saya direktur utama perusahaan dan ikut pengampunan pajak. Lapor harta tambahan perusahaan Rp 10 miliar. Bayar uang tebusan Rp 200 juta dan mendapat surat keterangan pengampunan pajak. Suatu saat antara 2017-2019, pegawai pajak memanggil saya dan berkata bahwa ada tambahan kas yang belum diungkap sebagai harta, Rp 5 miliar tahun 2015 dan Rp 4 miliar tahun 2014.
Sesuai Pasal 13 Ayat (1) Huruf a, Dirjen Pajak berwenang dalam 5 (lima) tahun menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain. Maka meski sudah mengikuti pengampunan pajak dan tidak bisa diperiksa lagi, berdasar keterangan lain masih dapat diterbitkan SKPKB.
Tentu saya akan resisten karena merasa aman sudah ikut pengampunan pajak, sementara pegawai pajak terus menekan karena mencari penerimaan. Apalagi Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2016 mengatakan, jika ada data atau informasi harta yang kurang diungkap, informasi itu dianggap sebagai tambahan penghasilan.
Jika ini yang terjadi, bisa ada hitungan kurang bayar: PPh 25% x Rp 5 miliar = Rp 1,25 miliar ditambah sanksi 200% menjadi total kurang bayar Rp 3,75 miliar untuk tahun pajak 2015 dan tahun pajak 2014 harus bayar Rp 3 miliar.
Adakah yang menjamin hasil pengujian arus kas fiskal ini dianggap bukan sebagai data atau informasi menurut Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2016?
Saat ini, wajib pajak yang bermasalah diimbau membayar pajak sesuai perkiraan penyidik, walaupun tidak dapat dikatakan tunggakan pajak (Pasal 1 angka 6). Saya khawatir, data dan/atau informasi di penyidik pajak ini bisa digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai pintu masuk untuk menghitung pajak terutang meski wajib pajak sudah mendapatkan surat keterangan pengampunan pajak.
Harta menurut laporan keuangan fiskal akan selalu lebih dari harta menurut laporan keuangan komersial karena biaya yang deductable/undeductable, juga pengakuan/pencatatan penghasilan fiskal dan komersial yang berbeda. Siapkah jajaran Ditjen Pajak mengamankan kasus ini di saat kita sering menemukan jawaban pegawai KPP Pratama di Papua berbeda dengan KPP Pratama Lhokseumawe?
CUACA BANGUN
Bukit Golf IV, Modern Land, Kota Tangerang
Piringan Hitam
Orangtua kami meninggalkan koleksi lagu-lagu lama berupa piringan hitam, baik besar maupun kecil. Para penyanyinya antara lain Ramlee, Syaipul Bahri, Usman Musa, R Azmi, Lilis Suryani, dan Fetty Effendy. Mereka masing-masing dalam album seperti Lokananta,Tari Payung, Jangan Termenung, Senja di Kaimana, Bunga Rampai Malaya, Bersuka Ria, Kisah Pasar Baru, dan Menanti Kekasih.
Kami tidak tahu piringan tersebut masih bisa baik apa tidak, karena tidak mempunyai alat untuk mencobanya. Maka bagi pemerhati musik dan seni yang paham hal ini dan tentu saja ingin memanfaatkannya, silakan mengontak kami.
Mudah-mudahan koleksi ini masih bermanfaat.
H EDY RAHMAN
Jalan Podang 149 Palangkaraya
Uang Kembalian
"Satu juta kurang lima ratus tidak jadi satu juta," begitu kata pelawak terkenal. Saya setuju.
Kalau kita belanja di supermarket dan uang kita kurang Rp 100, kasir pasti menolaknya,
Namun, di Samsat Kota Bekasi, uang receh seperti tidak berlaku. Pada 23 Agustus 2016 saya membayar pajak STNK di Samsat Bekasi. Setelah mendapatkan STNK, saya mengecek apakah benar jumlah pajak yang saya bayarkan di kasir sesuai dengan yang tertera di STNK.
Tertulis nominal uang yang dibayarkan Rp 229.300, berbeda dengan yang saya bayar di kasir Rp 230.000. Ada selisih Rp 700.
Saat saya tanya ke kasir yang bernama Ibu FD, ia menjawab, "Tidak ada uang kembaliannya. Cuma beda Rp 700 saja, kok."
Jika ada 1.000 pembayar pajak yang uang recehnya tidak dikembalikan, berapa rupiah kelebihannya? Mengapa Samsat tidak menyediakan uang receh untuk kembalian?
DINI
Rawalumbu, Bekasi
Program Hilang
Saya pelanggan Indovision nomor ID 401000543682. Saya adalah pelanggan lama dan baru kali ini saya kecewa sekali atas layanan Indovision.
Saya membayar lunas untuk program bayar 9 bulan gratis 3 bulan periode 17 Agustus 2016 sampai dengan 16 Agustus 2017. Namun, pada Selasa, 20 September 2016, saya tahu bahwa banyak sekali saluran yang seharusnya menjadi hak saya diputus. Saya telah tiga hari berturut-turut melaporkan hal ini ke layanan pelanggan Indovision, responsnya hanya kalimat mohon maaf dan akan segera ditindaklanjuti.
Kenyataannya, sampai dengan surel ini saya kirim akhir September, tetap tidak ada perbaikan. Saya kecewa dengan pelayanan Indovision dan sangat menyesal telah menyetor sejumlah uang di muka untuk mengikuti program tersebut di atas.
Mudah-mudahan apa yang menimpa saya ini membuat calon pelanggan Indovision menjadi lebih berhati-hati jika ingin berlangganan.
Kepada Indovision, tolong perbaiki cara berbisnis. Jangan merugikan pelanggan setia. Melalui surat ini saya meminta saluran yang menjadi hak saya segera dipulihkan.
DWI BUDIYANTO
Jalan Neptunus, Pisangan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar