Recana dinasti kekuasaan berdasar kekerabatan naik ke permukaan. Tak hanya realitas dalam pilkada, tetapi juga dalam pengaderan parpol.
Berkembangnya dinasti politik kekuasaan lebih besar mudarat dibandingkan dengan manfaatnya. Selain merusak demokratisasi, apalagi yang sifatnya baru prosedural, belum substantif seperti sekarang, dinasti politik kekuasaan mempercepat proses pelapukan pemerintahan. Pengamat politik mencemaskan kondisi tersebut. Selain kekuasaan politik dikuasai keluarga tertentu, praktik kolusi dan nepotisme gampang menjalar. Yang mendapatkan hak pilih dari keluarga itu-itu juga, yang berkuasa itu-itu juga.
Partai politik sebagai kendaraan politik umumnya minus pengaderan. Kompetensi dan kelayakan calon tidak menjadi kriteria, kecuali faktor hubungan darah dan pertemanan. Dominasi praktik politik uang pun menambah makin tertutupnya akses warga negara memperoleh hak politik untuk dipilih. Dengan gampang terjadi kader loncat pagar apa pun argumentasinya.
Membangun dinasti politik atas dasar hubungan darah dan teman seolah-olah mentradisi. Sudah terbukti praktik itu tidak selalu buruk, seperti yang terjadi pada dinasti besar di sejumlah negara. Namun, ketika membangun dinasti dijadikan batu sendi dan batu penjuru, hilang sudah kesempatan sosok pemimpin alternatif di luar ranah hubungan darah, teman, dan yang beruang.
Oligarki, pemerintahan yang dipimpin beberapa orang itu-itu saja, adalah bentuk pemerintahan dengan ambisi sebagai kriteria kepemimpinan (Plato). Kondisi demikian memang jati diri kekuasaan yang cenderung "kurang terus" (Lord Acton), tetapi di Indonesia dalam kondisi serba cair, minus pengaderan dan obralan nafsu serakah, membangun dinasti politik memperoleh lahan subur.
Pemberlakuan undang-undang pembatasan masa jabatan dua kali dan pencalonan lewat jalur perseorangan bisa mencegah tumbuh suburnya nafsu membangun dinasti kekuasaan di daerah. Akan tetapi, karena realitas obyektif parpol berkutat dengan persoalan menumpuk kekuasaan, yang terjadi adalah pencalonan tidak jauh bergerak dari ranah keluarga, teman, dan uang.
Tepatlah analisis F Budi Hardiman (Kompas, 23/2), demokrasi di Indonesia ada di depan moncong oligarki. Melepaskan diri dari moncong oligarki masih sebagai wishful thinking. Demokratisasi masih sebagai "demokrasi kriminal" kata Jeffrey Winters; demokrasi sebatas prosedural belum substansial alias demokrasi seolah-olah.
Kita pasrah? Tidak! Membangun sikap kritis dan kesadaran bersama (konsientisasi), salah satu cara membetot praksis dinasti politik kekuasaan, di antaranya lewat upaya pemberdayaan institusi masyarakat. Dan, ketika kita menyaksikan satu per satu parpol tersandera praktik korup, sebagai organ atau perilaku orangnya, kesempatan terbuka untuk membongkar sebutan parpol sebagai pilar demokrasi yang berlanjut pada pilihan menjatuhkan hak warga negara kita masing-masing.
(Tajuk rencana, 27 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar