Oleh Rahadi T Wiratama
Terdapat anggapan yang diterima secara meluas bahwa aneka problematik di bidang politik, ekonomi, dan sosial yang dihadapi Indonesia saat ini bersumber dari krisis nilai-nilai komunal.
Aneka persoalan itu dianggap sebagai gejala ketika orang telah jauh dari kesalehan pribadi—sebagai inti terpenting dari moral komunal.
Anggapan semacam itu memunculkan logika sederhana bahwa solusi atas persoalan kebangsaan adalah kembali kepada bentuk-bentuk kesalehan pribadi. Kesalehan pribadi dalam perspektif ini dipandang sebagai sumber moralitas untuk mengatur kehidupan di ranah publik.
Sepintas lalu, anggapan semacam itu tampak cukup masuk akal. Namun, jika ditelaah lebih dalam, akan segera tampak asumsi itu mengandung problemnya sendiri. Karena sifatnya yang khas, moral komunal hanya dapat diberlakukan secara khusus (terkait dengan kandungan nilainya) dan terbatas (terkait dengan komunitas yang meyakininya).
Jenis moral semacam ini, oleh karena itu, sulit diterapkan di ranah publik yang ditandai sifat kehidupan yang jauh lebih luas, kompleks, dan multidimensi dibandingkan dengan kehidupan di level komunitas. Berbeda dengan moral komunal, moral atau etika publik justru dibangun untuk mengatasi partikularitas komunal serta mencegah moralitas suatu komunitas—sekalipun berkedudukan mayoritas—tak mendominasi komunitas lain.
Dunia publik merupakan suatu "medan kehidupan" yang mempertautkan hubungan antara kekuasaan politik (negara) dan warga negara. Di ranah ini, perilaku warga negara terikat dengan moralitas sekuler dan, oleh karena itu, "identitasnya" tidak lagi terikat pada moralitas asal suku ataupun agama yang dianutnya. Di sisi lain, warga negara juga memperoleh akses dan hak yang sama dan diperlakukan setara di ranah publik.
Perlindungan negara
Seorang individu dapat berpartisipasi dalam acara budaya tertentu tempat ia berasal ataupun merayakan hari besar agama yang dianutnya. Dalam konteks ini berlaku moralitas khusus yang hanya bisa diterapkan pada komunitas tertentu. Pada situasi ini, negara memberi perlindungan terhadap hak dan kebebasan setiap komunitas untuk mengekspresikan diri tentu dalam batas-batas yang hanya berlaku di setiap komunitas itu sendiri.
Sebagai sebuah negara, Indonesia memiliki platform etika atau moral di ranah publik. Alasan dan tujuan didirikannya NKRI, sebagaimana tertuang pada Pembukaan UUD 1945, merupakan acuan konstitusional yang jadi landasan bagi pengaturan kehidupan di ranah publik. Pesan yang terkandung di dalamnya mengisyaratkan negara ini didirikan atas nama dan untuk kepentingan umum, res publica.
Secara konstitusional, negara—melalui aparat dan perangkat kebijakan publiknya—dituntut kebal dan netral dari intervensi moralitas komunal. Dasar etiknya, moralitas publik yang mewajibkan negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Gagasan inilah yang menjadi raison d'être eksistensi Republik Indonesia. Soal ini pula yang menjelaskan mengapa para Bapak Pendiri negara kita secara sadar dan visioner memilih kata republik di depan kata Indonesia.
Dengan demikian, problematik yang kini dihadapi Indonesia jelas bukan terletak pada ditinggalkannya moralitas komunal di ranah publik, melainkan diabaikannya moralitas publik. Hal ini antara lain terlihat dari perilaku para penyelenggara negara yang sering kali justru mengusung pandangan-pandangan komunal. Lebih aneh lagi, jabatan publik yang melekat pada setiap penyelenggara negara dianggap tak memiliki konsekuensi etis apa pun kala mereka membiarkan kebijakan publik dibajak oleh ideologi komunalisme.
Ranah publik sedemikian rupa telah dibelokkan dan dijauhkan dari nilai profetiknya sebagai penjaga persamaan hak warga negara dan penjamin keadilan distributif. Gejala semacam ini oleh filsuf Jürgen Habermas dipreposisikan sebagai refeodalisasi ranah publik.
Revitalisasi amanat UUD
Dengan demikian, merupakan suatu kekeliruan jika persoalan kebangsaan yang saat ini dihadapi Indonesia dipandang sebagai memudar atau ditinggalkannya moralitas komunal. Apa yang dihadapi Republik ini justru terletak pada kegagalan membangun moralitas publik yang diamanatkan konstitusi. Kegagalan mewujudkan pesan konstitusi dapat mengundang ancaman permanen dari berbagai gerakan sosial yang mengusung moralitas komunal.
Lebih dari enam dasawarsa yang lalu, the founding fathers kita telah meletakkan kode etik bernegara sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan di ranah publik. Yang perlu dilakukan adalah merevitalisasi dan mereaktualisasi amanat konstitusi agar ranah publik tak semakin terancam gerakan-gerakan politik berbasis identitas.
Jika para penyelenggara kekuasaan negara tidak melakukan upaya semacam itu, terdapat alasan kuat mempertanyakan, masihkah negara ini memiliki legitimasi konstitusional untuk menyandang predikat Republik?
Rahadi Wiratama Peneliti LP3ES dan Redaktur Majalah Prisma
(Kompas cetak, 27 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar