Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 29 September 2016

TAJUK RENCANA: Setelah Debat yang Dinanti (Kompas)

Bagi sekitar 100 juta penonton, termasuk di Indonesia, debat antara calon Presiden AS Hil- lary Clinton dan Donald Trump adalah debat yang jomplang.

Hillary terlihat tenang, siap, dan piawai memaparkan programnya. Sementara Trump bahasa tubuhnya terlihat "tak sabar", bicaranya tidak fokus, dan kosong.

Mungkin untuk pertama kalinya kita melihat debat resmi dua calon presiden negara adidaya yang tak menginspirasi, terlebih di saat dunia sedang mengalami krisis besar. Sebutlah, ancaman terorisme yang makin menakutkan, banjir pengungsi yang terparah setelah Perang Dunia II, peperangan yang tiada akhir, dan munculnya virus-virus baru yang lebih mematikan.

Hanya sekadar perbandingan, kita bisa sejenak menengok pada debat antara John F Kennedy dan Richard Nixon pada tahun 1960, yang dijuluki sebagai "debat terpenting" dalam sejarah pemilihan Presiden AS. Kala itu dunia sedang mengalami krisis besar karena terbelah oleh Perang Dingin, ancaman nuklir, dan perang ideologi. Itu juga merupakan debat pertama yang disiarkan langsung oleh televisi dan dianggap menguntungkan Kennedy yang berpenampilan lebih menarik. Namun, kedua tokoh ini menyajikan tontonan menarik tentang keluasan pengetahuan, ketajaman berpikir, kefasihan berbicara, tanpa kehilangan kesantunan.

Debat Hillary-Trump tetap menjadi perhatian karena berbagai jajak pendapat menunjukkan posisi keduanya kini sama kuat, padahal Pemilu AS tinggal beberapa pekan lagi. Artinya, debat ini menjadi penting bagi rakyat AS yang belum menentukan pilihan.

Sementara bagi pemirsa di luar AS, debat menjadi semacam barometer tentang apa yang akan terjadi pada hubungan dua negara seandainya yang menjadi presiden adalah Hillary atau Trump. Benarkah tak akan ada yang berubah? Untuk Indonesia, misalnya, apakah akan serius menyikapi secara kritis gertakan Trump yang pernah menyatakan tak akan mengizinkan orang Islam masuk ke AS?

Model debat semacam itu juga sudah kita adopsi dalam pemilihan presiden dan kepala daerah. Sejumlah televisi di Indonesia secara bergilir mengadakan siaran debat langsung antarkandidat.

Hanya saja, debat yang terjadi biasanya adem-adem saja, tetapi situasi yang panas justru terjadi di antara pendukung fanatik tiap calon. Tiap kubu berupaya melakukan "pembunuhan karakter", khususnya di media sosial, seperti yang kita lihat saat ini setelah pencalonan Gubernur DKI.

Ini memang bagian dari demokrasi. Namun, akan lebih produktif jika semangat itu disalurkan dalam wujud kritik untuk perbaikan kebijakan yang sedang dijalankan saat ini. Karena nantinya, siapa pun yang terpilih akan menjadi pemimpin seluruh warganya, bukan konstituennya saja.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Setelah Debat yang Dinanti".

Bagi sekitar 100 juta penonton, termasuk di Indonesia, debat antara calon Presiden AS Hil- lary Clinton dan Donald Trump adalah debat yang jomplang.

Hillary terlihat tenang, siap, dan piawai memaparkan programnya. Sementara Trump bahasa tubuhnya terlihat "tak sabar", bicaranya tidak fokus, dan kosong.

Mungkin untuk pertama kalinya kita melihat debat resmi dua calon presiden negara adidaya yang tak menginspirasi, terlebih di saat dunia sedang mengalami krisis besar. Sebutlah, ancaman terorisme yang makin menakutkan, banjir pengungsi yang terparah setelah Perang Dunia II, peperangan yang tiada akhir, dan munculnya virus-virus baru yang lebih mematikan.

Hanya sekadar perbandingan, kita bisa sejenak menengok pada debat antara John F Kennedy dan Richard Nixon pada tahun 1960, yang dijuluki sebagai "debat terpenting" dalam sejarah pemilihan Presiden AS. Kala itu dunia sedang mengalami krisis besar karena terbelah oleh Perang Dingin, ancaman nuklir, dan perang ideologi. Itu juga merupakan debat pertama yang disiarkan langsung oleh televisi dan dianggap menguntungkan Kennedy yang berpenampilan lebih menarik. Namun, kedua tokoh ini menyajikan tontonan menarik tentang keluasan pengetahuan, ketajaman berpikir, kefasihan berbicara, tanpa kehilangan kesantunan.

Debat Hillary-Trump tetap menjadi perhatian karena berbagai jajak pendapat menunjukkan posisi keduanya kini sama kuat, padahal Pemilu AS tinggal beberapa pekan lagi. Artinya, debat ini menjadi penting bagi rakyat AS yang belum menentukan pilihan.

Sementara bagi pemirsa di luar AS, debat menjadi semacam barometer tentang apa yang akan terjadi pada hubungan dua negara seandainya yang menjadi presiden adalah Hillary atau Trump. Benarkah tak akan ada yang berubah? Untuk Indonesia, misalnya, apakah akan serius menyikapi secara kritis gertakan Trump yang pernah menyatakan tak akan mengizinkan orang Islam masuk ke AS?

Model debat semacam itu juga sudah kita adopsi dalam pemilihan presiden dan kepala daerah. Sejumlah televisi di Indonesia secara bergilir mengadakan siaran debat langsung antarkandidat.

Hanya saja, debat yang terjadi biasanya adem-adem saja, tetapi situasi yang panas justru terjadi di antara pendukung fanatik tiap calon. Tiap kubu berupaya melakukan "pembunuhan karakter", khususnya di media sosial, seperti yang kita lihat saat ini setelah pencalonan Gubernur DKI.

Ini memang bagian dari demokrasi. Namun, akan lebih produktif jika semangat itu disalurkan dalam wujud kritik untuk perbaikan kebijakan yang sedang dijalankan saat ini. Karena nantinya, siapa pun yang terpilih akan menjadi pemimpin seluruh warganya, bukan konstituennya saja.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Setelah Debat yang Dinanti".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger