Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 29 September 2016

TAJUK RENCANA: Lonjakan Partisipasi Amnesti (Kompas)

Lonjakan partisipasi program pengampunan pajak yang tidak diikuti kenaikan pelaporan aset di luar negeri mengindikasikan masih ada keraguan wajib pajak.

Jumlah peserta program pengampunan pajak naik nyata dalam 10 hari terakhir, seiring dengan lonjakan aset yang dilaporkan.

Lonjakan peserta dan aset yang dilaporkan telah diperkirakan akan terjadi menjelang akhir periode I pengampunan pajak, yaitu 30 September 2016, mengingat program ini memberlakukan tarif berjenjang. Tebusan pada periode I adalah 2 persen, pada periode II yang berakhir 31 Desember 2016 besar tarif 3 persen, dan pada periode III yang merupakan akhir program besar tarif 5 persen, semuanya untuk aset dalam negeri.

Yang melebihi perkiraan sejumlah pihak adalah besarnya uang tebusan, dugaan semula Rp 65 triliun-Rp 70 triliun. Besar uang tebusan itu separuh dari sasaran pemerintah sebesar Rp 165 triliun hingga akhir program.

Kenaikan secara nyata besar uang tebusan itu menggambarkan tingkat kepercayaan kepada pemerintah. Bulan lalu, harian Kompas memberitakan kekhawatiran masyarakat kebanyakan tentang program ini. Kekhawatiran tersebut muncul dari pernyataan pemerintah sendiri bahwa pengampunan pajak ditujukan untuk warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki aset di luar negeri, tetapi ternyata program ini berlaku bagi setiap warga negara.

Keadaan berubah ketika pemerintah mendengarkan keluhan masyarakat. Wajib pajak dibolehkan menetapkan sendiri nilai aset yang dilaporkan dan tidak akan diusut. Peserta program boleh mempertahankan perusahaan cangkang di luar negeri dari semula harus membubarkan perusahaan itu jika mengikuti pengampunan pajak.

Pada sisi lain, lonjakan partisipasi mengikuti program dibayang-bayangi rendahnya repatriasi aset ke dalam negeri. Dari Rp 3.250 triliun aset warga negara Indonesia di luar negeri, menurut McKinsey, baru 24 persen yang dideklarasi dan dipulangkan ke Indonesia. Jumlah yang dipulangkan jauh lebih kecil lagi dari persentase tersebut.

Ada sejumlah alasan mengapa repatriasi berjalan lambat. Yang jelas, tidak mudah memulangkan aset kembali ke dalam negeri, terutama aset tidak bergerak. Hal lain, kepastian aset yang dipulangkan akan aman dan memberi imbal hasil sepadan dengan yang didapat dari investasi di luar negeri, selain risiko nilai tukar.

Tidak ada yang membantah uang repatriasi dibutuhkan untuk membiayai pembangunan dan memakmurkan masyarakat secara merata. Tantangan bagi pemerintah adalah menjawab keraguan pengusaha. Membangun modal sosial, yaitu rasa percaya, memerlukan persuasi dan bukti nyata berupa kepastian dan rasa aman jangka panjang bagi mereka yang menginvestasikan aset di dalam negeri.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Lonjakan Partisipasi Amnesti".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger