Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 28 September 2016

Mengayomi Guru (MOHAMMAD ABDUHZEN)

Kekerasan dalam lingkungan pendidikan yang ditandai kekerasan terhadap murid oleh guru, kekerasan terhadap guru oleh murid dan atau orangtua murid, serta "kriminalisasi" terhadap guru tampak marak belakangan ini. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia per April 2015, dari 6.006 kasus kekerasan anak di Indonesia, 1.764 kasus terkait pendidikan.

Data sebelumnya, tahun 2012, menunjukkan bahwadari 1.026 responden di sembilan provinsi, 87,6 persen anak mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah dan 29,9 persen di antaranya dilakukan oleh guru. Selebihnya, 42,1 persen dilakukan teman sekelas dan 28,0 persen dilakukan oleh teman lain kelas (Kompas, 11/8/2012).

Para praktisi dan ahli pendidikan berpendapat bahwa fenomena kekerasan oleh guru sesungguhnya sejak lama berlangsung dalam pendidikan kita dan tampaknya sukar dihindarkan.Selain karena guru adalah manusia yang sewaktu-waktu dapat tersulut dan lepas kontrol emosinya sehingga menghasilkan tindakan uneducative, bahkan bersifat pidana, guru juga terdorong rasa tanggung jawab besar menjalankan fungsi utama pendidikan: membentuk perilaku murid agar menjadi lebihproduktif dan berakhlak karimah.

Kaum behaviorisme, meskipun berbeda perspektif dalam pemaknaan dan penerapannya, sejak lama meyakini "hukuman" dalam teoriganjaran dan hukuman (reward and punishment) sebagaiupaya kondisioning pembentukan perilaku.Reward dimaksudkan penguatan perilaku yang disetujui agar probabilitas berulang makin besar, sebaliknyapunishment upaya pelemahan perilaku yang tak disetujui agar probabilitas berulang berkurang atau hilang.

HAM dan perlindungan anak

Dalam masyarakat tradisional Indonesia, di mana adab terhadap guru masih kental, hukuman yang diberikan guru dipercaya dan diterima oleh kebanyakan orangtuasebagai upaya wajar dalam belajar. Namun, pada era reformasi dan informasi digital sekarang ini, masyarakat berubah cepat sehingga cara pandang terhadap banyak hal—di antaranya tentang hak asasi manusia (HAM) dan perlindungan anak—mengalami anomali. Sayangnya,berbagai perubahan mendasar dan luas itu direspons oleh dunia pendidikan kita tidak secara tepat dan sungguh-sungguh.

Pertama, penetapan guru sebagai sebuah profesi yang—secara langsung ataupun tidak langsung—memengaruhi pola relasi antara guru, murid, dan orangtua dari hubungan yang bersifatmoral menjadi serba legal dan transaksional. Bagaimanapun, per definisi, "profesionalisme" senantiasa menekankan kaitan antara tingkat kemahiran/kecakapan dan tingkat pembayaran. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), kecakapan itu ditandai oleh sertifikat pendidik sebagai simbol kompetensi yang diperoleh melalui proses sertifikasi, sementaraimbalannya adalah tunjangan profesi (sering disebut tunjangan sertifikasi) sebesar satu kali gaji pokok.

Upaya profesionalisme yang seyogianya bertujuan meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan mutu guru hanya dijalankan pemerintah dengan penilaian portofolio sehingga tidak mampu mengakomodasi berbagai perubahan dalam masyarakat dan perkembangan ilmu pendidikan. Tak ada upaya intervensi melalui pengelolaan aspek-aspek esoterik dan paradigmatik yang memungkinkan guru berkembang secara kualitatif sehingga mampu berperilaku sesuaisemangat zaman serta terhindar dari dampak buruknya. Alhasil, performa sebagian besar guru kita di tengah gelora wacana HAM dan perlindungan anak dewasa ini menjadi agak materialistis dan masih konvensional.

Kedua, pada saat tuntutan terhadap perubahan pola pikir, pendekatan, dan metode pembelajaran makin mendesak karena adanya perubahan definisi pendidikan dan perkembangan sosial yang begitu luas,pemerintah malah secara tiba-tiba mengubah kurikulum yang sejatinya tidak begitu bermasalah dan tidak menjadi prioritas. Kurikulum 2013 yang kontroversial membuat pendidikan kita semakin disibukkan oleh berbagai program yang sesungguhnya tak perlu karena tak menyentuh akar persoalan peningkatan mutu pendidikan dan mutu guru.

Ketiga,masuknya HAM dalam UUD 1945 amendemen, adanyaUU tentang HAM dan UU tentang Perlindungan Anak (UUPA), secara perlahanmembawa sebagian masyarakat kita ke dalam remang-remang kesadaran tentang bagaimana seharusnya anak-anak diperlakukan oleh guru. Meskipun UUPA menetapkan bahwa "menghormati guru" adalahsatu kewajiban anak, tetapi dalam sosialisasinya lebih membangkitkan kesadaran tentang hak dan perlindungan terhadap kekerasan dan diskriminasi.

Spektrum "kekerasan" yang sangat luas, yang menetapkan setiap perbuatan terhadap anak yang menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan,dalam definisi UUPA dapat dengan mudah menjerat perilaku tak menyenangkan dari guru sebagai tindak "kekerasan" fisik ataupun psikis. Oleh sebab itu, guru yang setiap hari berhadapan dengan anak tidak boleh abai dan pesimistis atas perkembangan ini.Bahkan, guru harus menyikapinya dengan optimisme sebagai dinamika profesi yang menuntut penyempurnaan diri secara sinambung (continues improvement).

Kemajuan dalam HAM dan perlindungan anak sejauh ini belum diapresiasi dan diakomodasi secara memadai oleh pendidikan kita.Lingkungan pendidikan, terutama guru, meresponsnya tanpa arahan yang benar dan jelas sehingga sebagian bersikap defensif atau tak peduli.Pemerintah/Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama organisasi profesi guru kiranya perlu bukan hanya bersikap tegas mendukung, melainkan juga mesti mengondisikan lingkungan pendidikan ke ranah ramah anak dan steril dari kekerasan. Guru perlu diayomi dan diadvokasi melalui berbagai langkah dan program yang rasional dan efektif. Jadikan situasi ini sebagai momen untuk mengubah paradigma dan memperluas cakrawala guru.

Kode etik dan dewan kehormatan guru

Dengan ditetapkannya sebagai profesi, menurut Profesor Tilaar (2012), status guru akan mengalami proses demitologisasi. Mitos guru sebagai manusia sempurna, tidak tercela, atau pekerja sosial yang tidak mengharap imbalan akan mengalami rasionalisasi. Perubahan status yang dibarengi perkembangan HAM di Tanah Air menuntut perlunya seperangkat norma dan lembaga yang dapat menjadi landasan, ukuran, arah perilaku moral, dan perlindungan bagi guru dalam bekerja.

Pertama, kode etik (profesi) guru.Berbeda dengan undang-undang, hukum, dan aturan lainnya, kode etik guru merupakan upaya tertulis untuk mengatur perilaku moral guru sekaligus menjadi semacam penjaminan kualitas moral bagi masyarakat. Kode etik guru mengasumsikan bahwa guru, sebagai anggota kelompok profesi itu, sebagai suatu masyarakat moral (moral community) yang memiliki otoritas keahlian dan bertanggung jawab menjalankan keahliannya dalam satu cita-cita dan nilaimoral bersama.

Setelah lebih dari 10 tahun UUGD menetapkan guru sebagai profesi dan memberikan kewenangan organisasi profesi untuk menetapkan kode etik dan membentuk dewan kehormatan, kini saatnya pemerintah memfasilitasi serta mendorong guru, melalui organisasi profesi yang ada, untuk menyepakati satu kode etik dan membentuk satu dewan kehormatan guru Indonesia yang diterima dan berlaku di seluruh Indonesia.

Dua perangkat ini sangat penting, selain sebagai acuan dan lembaga rekomendasi, juga sebagai media untuk mengubah performa guru dengan menanamkan kesadaran guru sebagai sebuah entitas baru, yaitu "guru profesional".Melalui upaya pelembagaan kode etik, hubungan yang bersifat moral antara guru, murid, dan orangtua kiranya dapat dipengkuhkan kembali.

Kedua,berbeda dengan bidang kedokteran yang relatif lebih mudah menentukan apakah "pembiaran" oleh dokter sebagai kesalahan atau tuntutan prosedur medis terhadap seorang ibu yang akan melahirkan, bantuan ilmu kedokteran secara eksplisit dapat memastikan tindakan dokter.Bagaimana membedakan—misalnya, tindakan guru menggunting rambut murid yang telah berkali-kali diperingatkan, atau mencubit, atau bentakan (verbal) terhadapmurid yang merokok di lingkungan sekolah, dan murid tersinggung—sebagai tindak kekerasan atau sebuah tindakan etik- edukatif. Hal atau aspek-aspek apa yang menjadi penjelas dan dasar bagi dewan kehormatan memutuskan suatu rekomendasi antara subyektivitas guru dan murid?

Oleh sebab itu, Kemdikbud bersama organisasi profesi guru, para praktisi dan pakar pendidikan serta bidang terkait lainnya—seperti hukum, kepolisian, kejaksaan, kehakiman—perlu mendiskusikan perangkat apakah yang harus diterbitkan untuk melindungi guru dalam bekerja. Dalam UUGD Pasal 39, ditekankan kewajiban pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan memberikan perlindungan terhadap guru dalam menjalankan tugas edukatifnya. Perlindungan itu meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Maka, selain kode etik, apakah diperlukan undang-undang perlindungan guru atau cukup peraturan pemerintah? Atau malah cukup nota kesepahaman dengan sejumlah pihak terkait seperti yang dilakukan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Kepolisian Negara RI (Polri) tahun 2012 yang hingga hari ini belum efektif. Bagaimana?

MOHAMMAD ABDUHZEN, ADVISOR INSTITUTE FOR EDUCATION REFORM UNIVERSITAS PARAMADINA, JAKARTA;

KETUA LITBANG PB PGRI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Mengayomi Guru".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger