Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 28 September 2016

Pangan dan Momentum Perubahan (ENDAH MURNININGTYAS)

Hari Pangan Sedunia diperingati FAO (Organisasi Pangan Dunia) dan negara anggotanya di seluruh dunia sejak 1979.

Temanya selalu berbeda-beda sesuai isu yang perlu diperhatikan serta menjadi fokus pembangunan pangan dan pertanian, tetapi tetap dengan tujuan akhir untuk penurunan kemiskinan dan kelaparan. Pada masa pelaksanaan MDGs (Tujuan Pembangunan Milenium), yang baru selesai tahun 2015 Halving Poverty and Hunger jadi tujuan utama. Di era SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) ini end poverty and zero hunger menjadi tujuan akhir; dan zero hunger harus dilakukan melalui pembangunan pertanian berkelanjutan.

Tema yang dipilih untuk Hari Pangan Sedunia 2016 adalah: "Climate is Changing. Food and Agriculture Must Too". Selaras dengan tema tersebut, terdapat beberapa perubahan mendasar yang perlu dilakukan Indonesia.

Lima perubahan

Pertama, lahan padi kian susut dan sudah saatnya menghentikan konversi/alih fungsi lahan sawah beririgasi. Meskipun konsumsi beras per kapita makin berkurang, beras masih menjadi makanan pokok bangsa Indonesia.

Dengan jumlah penduduk 258,7 juta jiwa dan tingkat konsumsi 114 kg per kapita per tahun (BPS, 2012), setiap tahun Indonesia harus menyediakan produksi beras minimal 29 juta-32 juta ton atau setara 45 juta-49 juta ton padi. Produksi padi ini paling bagus apabila dilakukan di lahan sawah berpengairan, yang saat ini luasnya tinggal sekitar 5 juta hektar dari sekitar 8 juta hektar lahan sawah yang ada; dan produksi pangan dilakukan 17,7 juta rumah tangga tanaman pangan (Sensus Pertanian 2013). Dengan kata lain, "pabrik padi" kita ada pada lahan seluas 5 juta hektar yang diusahakan 17,7 juta rumah tangga.

Sehubungan dengan itu, tantangan besar adalah "menstandarkan perilaku produksi dan produktivitas" pada 17,7 juta rumah tangga produsen dan pada lahan seluas 5 juta hektar yang berbeda kesuburannya. Tantangan lain: kompetisi penggunaan lahan sawah tanaman lain ataupun alih fungsi lahan untuk permukiman, industri dan perdagangan (pergudangan), serta jalan. Sementara kebutuhan pangan meningkat, tetapi lahan masih akan terus berkurang. Untuk menyelamatkan ketahanan pangan, sudah saatnya secara tegas menghentikan alih fungsi lahan sawah beririgasi dan mendedikasikan lahan sawah beririgasi ini hanya untuk padi.

Kedua, hentikan perluasan dan konversi hutan atau lahan pertanian lain untuk kebun sawit. Setiap tahun Indonesia mengalami kebakaran lahan, terutama pada lahan hutan dan sawit di enam provinsi utama. Kalau kita lihat data minyak sawit, produksi minyak sawit kita sudah 31,2 juta ton (2015), sekitar 20 juta ton diekspor.

Angka ini terdengar membanggakan, tetapi ekspor minyak sawit ini menimbulkan biaya ekonomi, lingkungan, dan sosial. Biaya ekonomi pertama adalah hilangnya peluang menyerap tenaga muda kita di industri sawit dan turunannya, serta hilangnya nilai tambah yang mungkin ditimbulkan. Biaya lingkungan timbul akibat hilangnya keanekaragaman hayati sebagai sumber bahan kehidupan (pangan, obat, materi) masa depan. Biaya lingkungan lainnya adalah kebakaran lahan sawit dan hutan sudah menjadi sumber polusi gas rumah kaca (GRK) terbesar.

Kebakaran hutan dan lahan ini sudah saatnya kita hentikan agar komitmen penurunan emisi GRK 26 persen pada tahun 2020 dapat dicapai. Kebakaran hutan dan lahan juga harus dihentikan karena telah berdampak pada rusaknya kesehatan generasi muda, termasuk bayi-bayi Indonesia. Kerusakan kesehatan generasi muda ini akan membahayakan potensi bonus demografi yang akan dialami Indonesia pada kurun 2025-2030. Apabila kita lengah, bukan bonus yang terjadi, melainkan beban demografi.

Ketiga, get organized seriously. Selera masyarakat Indonesia sebagai konsumen utama produk Indonesia sudah berubah seiring peningkatan pendapatan dan gaya hidup mereka. Untuk dapat melayani selera masyarakat ini, pola produksi pangan Indonesia harus berubah. Pola produksi pangan tak dapat dilakukan secara generik karena komoditas pangan sudah jadi produk heterogen dan sangat berbeda; tidak hanya berdasarkan jenis (varietas), juga tingkat kualitasnya.

Untuk itu, proses produksi komoditas pertanian yang memperhatikan selera yang akan selalu berubah harus sudah dilakukan. Hal ini bisa dilakukan apabila rantai produksi pertanian dari sejak tingkat sawah (on- farm) sampai ke produk siap masak atau siap konsumsi tersambungkan dengan "lancar dan adil". Untuk itu, kita harus berubah dari pengelolaan produksi yang terpisah-pisah setiap tahapnya ke satu sistem yang terhubungkan, yang saat ini dikenal sebagai "pengelolaan rantai pasok".

Keempat, zero waste, tanpa sisa. Kita bangsa Indonesia hidup di alam tropis sehingga dapat menanam beragam varietas yang dapat dimakan dan dimanfaatkan sepanjang tahun. Namun, dengan keberuntungan tersebut, pola konsumsi kita cenderung boros dan menghasilkan banyak sisa yang terbuang sia-sia.

Rantai produksi pertanian juga masih menghasilkan susut yang tinggi, baik karena perlakuan pasca panen, pengolahan yang tidak efisien, maupun rendahnya pemanfaatan sisa yang seharusnya bisa menjadi hasil tambahan. Pola makan kita di meja juga masih menghasilkan sisa makanan yang cukup besar. Banyak makanan di atas piring di warung, di restoran, dan di hotel-hotel yang tersisa dan terbuang percuma. Untuk mengoptimalkan produksi pangan dan pertanian, sudah saatnya untuk berperilaku zero waste: kenali produk pertanian kita; manfaatkan semua rantai manfaat produk, dan marilah kita hanya mengambil makanan yang mampu kita makan saat itu agar sumber daya lahan, tanaman, dan makanan kita tidak sia-sia.

Kelima, kenali produsen dan petani kita. Semangat agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs 2015-2030) adalahno one left behind. Sensus Penduduk 2010 sudah dilakukan pada orang per orang sehingga siapa pelaku produksi pangan dan pertanian akan dapat diketahui identitasnya dan disusun profil usahanya (luas pemilikan, pengusahaan lahan, perkembangan produksi, dan standar kualitas yang dihasilkan). Dengan demikian, akan mempermudah empat langkah "perubahan" di atas untuk menuju pertanian berkelanjutan.

Empat langkah penting

Pertama, identitas dan profil usaha petani penting untuk menentukan lahan sawah berpengairan yang harus dilindungi dan melakukan "kualitas" produksi petaninya dengan baik.

Kedua, identifikasi dan profil usaha petani juga dapat digunakan untuk membina petani sawit agar tidak membakar lahan atau menjadi bagian dari perusahaan pembakar hutan dan lahan sehingga upaya menghentikan perluasan lahan sawit dapat dialihkan ke produksi sawit berkelanjutan.

Ketiga, identifikasi dan profil usaha petani akan sangat penting untuk menstandarkan usaha mereka sehingga dapat menjadi bagian dari rantai pasok sesuai perubahan ketiga.

Keempat, identitas dan profil usaha juga akan mempermudah upaya penurunanzero waste sesuai kondisi masing-masing.

Selain mendukung empat perubahan di atas, identitas dan profil usaha petani akan meningkatkan ketepatan sasaran dan efektivitas subsidi pertanian. Lebih penting lagi, dengan adanya identitas petani, akan mudah menjangkau dan membina petani satu per satu sesuai karakteristiknya sehingga kita dapat menjalankan semangat SDGs yang kita terapkan dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Mari kita lakukan perubahan pembangunan pangan dan pertanian segera.

ENDAH MURNININGTYAS, PEMERHATI SDGS, KETUA PERHEPI DKI JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Pangan dan Momentum Perubahan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger