Dukungan Jokowi terhadap revisi PP ini sebenarnya bukan hal baru karena pernah disampaikan dalam kampanye di depan sukarelawan buruh di Bandung, sebelum pelaksanaan pilpres 17 April. Namun, gagasan revisi PP itu dikhawatirkan akan memunculkan pro-kontra mengingat aturan yang berlaku sekarang ini dinilai sudah bisa memberikan kepastian serta relatif mampu menekan terjadinya gejolak perburuhan terkait pengupahan dan kenaikan upah.

MUCHLIS JR/BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN

Dalam pertemuan dengan pimpinan serikat pekerja, Presiden Joko Widodo membicarakan rencana peringatan Hari Buruh 1 Mei mendatang. Pertemuan berlangsung hangat di Istana Kepresidenan Bogor, Bogor, Jumat (26/4/2019) pagi.

Dari sisi pelaku usaha, dengan PP No 78/2015, kenaikan upah sudah bisa diprediksi sehingga lebih memudahkan bagi mereka untuk membuat perencanaan. Bagi buruh, PP ini juga menjamin kenaikan upah setiap tahun. PP dinilai juga mampu memberikan kepastian bagi calon angkatan kerja baru.

Namun, dari setiap kalangan pengusaha dan pekerja, ada yang menghendaki PP direvisi. Pengusaha yang diwakili Apindo menginginkan PP direvisi dan kenaikan upah didasarkan pada inflasi tiap-tiap daerah, bukan lagi pada pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi seperti sebelumnya. Tujuannya agar tak memberatkan pengusaha.

Sementara itu, kalangan buruh, seperti diwakili pimpinan SP yang bertemu Jokowi di Istana Bogor, juga menghendaki PP direvisi karena formula upah dalam PP No 78/2015 dinilai tak mencerminkan keadilan bagi buruh. Kenaikan upah yang mendasarkan pada pertumbuhan dan inflasi semata dinilai tak mampu menutup kebutuhan hidup layak (KHL) yang mencakup 60 item. Mereka juga menghendaki dilakukannya survei mengenai KHL ini sebelum ditetapkannya upah minimum.

Bagaimana menjembatani semua kepentingan ini? Presiden Jokowi menekankan jangan sampai revisi merugikan salah satu pihak, baik itu pengusaha maupun buruh. Namun, formula pengupahan seperti apa yang dimaksud? Meski komitmen memperbaiki sistem pengupahan ini berangkat dari janji politis Presiden terkait pilpres, isu ini relevan kita diskusikan, khususnya menyambut Hari Buruh 1 Mei ini.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Sejumlah buruh berjalan kaki di Jalan Raya Banjaran yang tergenang banjir di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (10/4/2019).

Menjaga harmoni hubungan industrial sekaligus menjamin kesinambungan sektor usaha dan perekonomian, serta pada saat yang sama menjamin terus membaiknya kesejahteraan buruh, adalah keinginan kita semua. Tantangan kita, bagaimana menyeimbangkan semua kepentingan itu tanpa mengorbankan salah satu.

Kita juga tak ingin kegaduhan terkait upah ini menciptakan situasi kurang nyaman dan tak kondusif bagi iklim berusaha dan kenaikan upah mengancam daya saing serta prospek penciptaan lapangan kerja dalam jangka panjang di tengah tren kian menurunnya lapangan kerja di sektor formal.

Survei JETRO terbaru menyebut Indonesia tak lagi menjadi tujuan investasi menarik bagi investor Jepang, antara lain, karena upah buruh. Kenaikan upah tak dibarengi peningkatan produktivitas. Namun, kita tak bisa menyalahkan buruh karena produktivitas rendah atau menuding buruh sebagai penyebab hengkangnya investor. Di sinilah tanggung jawab bersama pemerintah dan dunia usaha menaikkan kualitas pekerja. Pemerintah juga harus tegas pada pengusaha mampu yang nakal karena tak membayar upah pekerja secara layak.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO