KOMPAS/AGUS SUSANTO

Ari Kuncoro, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Pada saat artikel ini ditulis, data ritel triwulan I-2019 dan setelahnya belum tersedia. Walau demikian, data yang ada tetap bisa digunakan karena perkembangan industri ritel tak lepas dari siklus belanja dan menabung, khususnya saat hari-hari besar dan libur panjang.

Saat ini siklus tersebut tampak berputar di triwulan II karena antara tahun 2014 dan 2018, hari raya Idul Fitri terjadi antara Juni-Juli. Untuk tahun 2014, 2015, 2016, dan 2017 triwulan II, pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran hampir selalu melambat cukup tajam dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu masing-masing 4,64 persen, 2,76 persen, 3,80 persen, dan 3,46 persen. Hal ini menunjukkan pola umum bahwa belanja besar (buying-spree) terjadi di triwulan I.

Bisnis daring masih terlalu kecil volumenya untuk memengaruhi siklus belanja dan ada kecenderungan bergerak ke produk premium. Adanya waralaba, seperti Indomaret dan Alfamart, membuat masyarakat kelas menengah bawah dapat membeli barang kebutuhan sehari-hari dalam bundel yang lebih kecil. Walau jadi pesaing bagi peritel besar untuk barang kebutuhan sehari-hari, secara keseluruhan rutinitas ini tidak mengubah siklus belanja.

Satu perubahan terjadi di triwulan II-2017, pertumbuhan perdagangan besar dan eceran relatif melemah dibandingkan triwulan sebelumnya. Akan tetapi, kali ini diikuti pertumbuhan yang cukup kuat dari subsektor hotel dan restoran.
Tampaknya, ekspektasi masyarakat untuk perekonomian yang lebih baik dan hari libur/cuti bersama yang panjang digunakan untuk kegiatan-kegiatan konsumsi gaya hidup dan pengalaman (leisure) tanpa harus mengerem belanja ritel secara berlebihan.

Data sisi produksi PDB Indonesia menunjukan bahwa tahun 2014 sampai 2018 triwulan II mencatat pertumbuhan tertinggi untuk industri makanan dan minuman, yaitu sekitar 8 persen (yoy), kecuali tahun 2014 dengan angkanya sekitar 10 persen.

Sebaliknya, tekstil dan pakaian jadi hampir selalu mengalami pelambatan di triwulan II. Barang-barang elektronik dan optik juga punya pola yang sama dengan tekstil dan garmen, kecuali tahun 2017. Pertumbuhan tertinggi untuk barang elektronik dan optik biasa terjadi pada triwulan IV.

Harga barang yang tidak murah (big ticket items) memerlukan akumulasi tabungan yang cukup lama selain menunggu diskon dari peritel. Untuk tekstil dan garmen, pola seperti ini hanya terjadi tahun 2017 dan 2018. Kesimpulannya, dalam dua tahun terakhir masyarakat mempunyai tabungan dan daya beli yang cukup untuk membeli kedua barang ini sekaligus walau realisasinya hampir selalu terjadi di triwulan IV.

Perilaku belanja masyarakat untuk barang yang tidak tergolong tahan lama dapat ditelusuri dari data konsumsi produk domestik bruto (PDB). Sepanjang 2014-2018 kecuali di tahun 2018, pengeluaran untuk pakaian dan alas kaki mempunyai pertumbuhan tertinggi di triwulan II.

Sementara itu, puncak dari pertumbuhan pengeluaran untuk hotel dan restoran lebih sulit diprediksi karena tergantung kapan dan jumlah hari libur. Siklusnya selalu bergeser dari suatu triwulan ke triwulan lain setiap tahun.

Secara umum, pengeluaran untuk perlengkapan rumah tangga/barang tahan lama dan pengeluaran leisure dapat bersifat substitusi atau komplementer. Pada saat ekspektasi terhadap peningkatan pendapatan di masa depan tidak terlalu baik, masyarakat umumnya memilih mengurangi pengeluaran untuk perlengkapan rumah tangga untuk mempertahankan leisure (jalan-jalan dan kulineran).

Hal ini merupakan potensi disrupsi pada bisnis ritel. Sebaliknya, jika prospek ke depan baik, masyarakat dapat meningkatkan pengeluaran untuk leisuremaupun perlengkapan rumah tangga sekaligus.

Ekspektasi konsumen
Survei keyakinan konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dapat digunakan untuk memproyeksikan ekspektasi ke depan. Survei Maret 2019 memberikan kisi-kisi apa yang mungkin terjadi di sektor ritel triwulan I-2019 dan sesudahnya. Antara Januari-Maret 2019, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun tipis dari 125.5 menjadi 125.1. Walaupun masih dalam kisaran optimis, data itu menunjukan masyarakat masih berhati-hati dalam pengeluarannya.

Tampaknya, perhelatan pemilu membuat masyarakat tetap konservatif dalam membelanjakan pendapatannya. Hal ini terlihat dari minat konsumen untuk membeli barang tahan lama, seperti televisi, komputer, dan telepon genggam, yang menurun tipis pada maret 2019 (Survei IKK BI Maret 2019) dibandingkan triwulan sebelumnya. Walau demikian, survei itu juga menangkap bahwa ekspektasi konsumen terhadap peningkatan pendapatan di masa depan tetap tinggi.

Hal ini tersirat dari pengamatan perjalanan penulis (anecdotal evidence), restoran-restoran kelas menengah tetap penuh saat makan siang baik di kota-kota seperti Jakarta, Medan, Surabaya, maupun kota menengah seperti Bandung, Yogyakarta, Solo, bahkan Purwokerto, Tegal, Kutoarjo, Madiun, dan Banyuwangi.

Kombinasi ekspektasi kenaikan pendapatan dan konservatisme dalam membelanjakan pendapatan menciptakan akumulasi tabungan di bulan-bulan yang akan datang yang dapat direalisasikan jadi belanja ritel di luar makanan dan minuman.