Penyelesaian revisi UU Migas sangat penting karena di bawah Konstitusi UUD 1945, UU Migas adalah payung hukum tertinggi bagi penyelenggaraan pemerintahan di bidang migas. UU Migas adalah rujukan dari semua regulasi yang berkaitan dengan kebijakan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan sektor migas di Tanah Air. Dalam hal ini, tidak terkecuali adalah regulasi di sektor hulu migas.

Ketidakpastian

Selama bertahun-tahun, di tataran implementatif, muara persoalan regulasi di sektor hulu migas Indonesia pada dasarnya adalah masalah ketidakpastian (uncertainty), yang selalu berkaitan dan berkutat dengan tiga aspek utama berikut: (1) ketidakpastian hukum (aturan); (2) ketidakpastian fiskal (ekonomi); dan (3) proses administrasi/birokrasi/perizinan yang tidak sederhana.

Ketidakpastian di dalam menerapkan aturan main dan ketidakpastian dalam aspek fiskal sering diidentikkan dengan kondisi tidak dihormatinya kontrak kerja sama migas yang berlaku (dishonored of contract sanctity). Kondisi ini adalah yang paling dihindari dan tidak diinginkan oleh  para pelaku usaha dan investor, tak terkecuali di hulu migas, di mana pun.

Penerbitan peraturan baru, kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dengan maksud baik, masih belum dapat secara efektif menjawab dan menyelesaikan masalah ketidakpastian terkait ketiga aspek utama tersebut.

Dalam berbagai kasus dan tingkatan tertentu, beberapa upaya tersebut justru menambah kompleksitas permasalahan yang ada. Salah satu contohnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2018 tentang Kegiatan Pasca-Operasi pada Kegiatan Hulu Migas. Pasal 20 dan 21 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 15/2018 menyebutkan bahwa kontrak yang lama harus mengadopsi aturan ini, yang artinya menuntut adanya perubahan atau penyesuaian isi ataupun pelaksanaan kontrak.

Pasal 11 menyebutkan adanya kewajiban bagi kontraktor untuk mengalokasikan dan menyetorkan dana, yang artinya memiliki implikasi terhadap arus kas dan hitungan keekonomian suatu investasi migas.

Sementara Pasal 6 yang menyebutkan bahwa di dalam pelaksanaannya aturan ini tidak hanya akan melibatkan kontraktor dan SKK Migas, tetapi juga Direktorat Jenderal Migas dan pihak/instansi lain terkait, akan memiliki konsekuensi terhadap aspek administrasi dan birokrasi serta perizinannya.

Di tingkatan peraturan presiden, ada Perpres Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi yang memiliki implikasi terhadap aspek keekonomian pengembangan lapangan gas.

Sementara itu, di tingkat peraturan pemerintah, dua aturan yang dianggap akan dapat memberikan kepastian dan sekaligus memberikan insentif fiskal untuk hulu migas, yaitu PP No 53/2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Migas dengan Kontrak bagi Hasil Gross Split dan PP No 27/2017 (revisi atas PP No 79/2010), juga belum efektif mengatasi persoalan ketidakpastian yang ada. Penyebabnya, karena di tataran implementasi administrasi dan birokrasinya masih harus menunggu diterbitkannya peraturan-peraturan pelaksana di bawahnya, baik di tingkat menteri maupun direktur jenderal.

Prinsip dasar

Terus berkutatnya regulasi sektor hulu migas Indonesia dengan ketidakpastian pada tiga aspek utama di atas pada dasarnya adalah karena ada tiga prinsip dasar yang hilang dari UU Migas. Ketiga prinsip dasar yang hilang adalah: (1) tidak diterapkannya prinsip lex specialis dan assume and discharge di dalam masalah perpajakan; (2) tidak dipisahkannya urusan administrasi bisnis dan keuangan kontrak pengusahaan migas (persoalan cost recovery misalnya) dengan urusan administrasi pemerintahan dan sistem keuangan negara; serta (3) tidak diterapkannya prinsip single door bureaucracy yang mengurus hal administrasi/birokrasi/ perizinan kontrak pengusahaan migas.

Sebagaimana diketahui bersama, sistem pengusahaan hulu migas kita menggunakan sistem kontrak bagi hasil produksi (production sharing), baik itu net split maupun gross split. Untuk dapat berjalan secara optimal, sistem kontrak ini memerlukan ketiga prinsip dasar tersebut. UU No 8/1971 tentang Pertamina sebagai landasan pengelolaan migas pada masa lampau memiliki ketiga prinsip dasar tersebut, sementara UU No 22/2001 tentang Migas yang sampai saat ini masih berlaku tidak memilikinya.

Sebagai akibatnya, kerangka peraturan dan tata kelola hulu migas nasional, yang sampai saat ini masih didasarkan pada UU Migas tersebut, cenderung selalu "berkonflik" atau tidak sinkron dengan bentuk kontrak pengusahaan migas yang digunakan sehingga memunculkan ketiga masalah utama di atas.

Persoalan ketidakpastian terkait regulasi hulu migas yang ada tidak akan dapat diselesaikan secara parsial, dengan hanya disiasati melalui penerbitan berbagai aturan pelaksana di bawah undang-undang. Periode sesudah 2001 hingga saat ini telah mengajarkan dengan sangat jelas, pendekatan dan cara parsial semacam itu tidak mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan yang ada.

Diperlukan langkah dan cara yang lebih fundamental, yaitu melalui revisi UU Migas, di antaranya untuk mengembalikan keberadaan dan penerapan ketiga prinsip dasar di atas. Jawaban atas persoalan ketidakpastian regulasi hulu migas ke depan, dengan demikian, terletak pada seberapa jauh penyelesaian revisi UU Migas yang dilakukan dapat mewujudkan hal itu.

UU Migas baru yang solid dan berkualitas akan menciptakan kepastian, yang merupakan salah satu prasyarat utama bagi masuk dan bergulirnya investasi di sektor migas. Sebaliknya, UU Migas baru yang (tetap) compang-camping akan terus memicu dan melahirkan beragam ketidakpastian, yang menghambat investasi dan aktivitas usaha di sektor migas.

Menyelesaikan revisi UU Migas dan menghasilkan UU Migas baru yang solid dan berkualitas berarti secara langsung ataupun tidak langsung menyelesaikan persoalan ketidakpastian regulasi migas yang ada dan secara konkret memulai langkah besar di dalam menarik dan menggerakkan investasi migas di Tanah Air.

Presiden Jokowi telah memulai langkah tersebut. Kini tinggal bagaimana jajaran pemerintahan di bawahnya menindaklanjuti dan merealisasikannya.