KOMPAS/ANITA YOSSIHARA

Presiden China Xi Jinping berjabatan tangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelum memulai pertemuan bilateral menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) di Gedung Balai Agung Rakyat di Beijing, China, Kamis (25/4/2019).

Dahulu kala, perang adalah sesuatu yang normal. Perdamaian menjadi sebuah "perkecualian" di tengah ancaman perang yang bisa terjadi setiap saat.

Masa suram itu sudah berlalu lama. Sekarang, menurut para ahli, perdamaian justru telah menjadi sesuatu yang normal. Perang jarang terjadi. Bahkan, perang berskala besar yang melibatkan banyak negara sudah tak pernah terjadi lagi selama lebih kurang 70 tahun terakhir. Tentu saja konflik-konflik bersenjata di sejumlah wilayah di dunia masih ditemui, tetapi semuanya berskala kecil dan bersifat lokal.

Dalam buku Enlightenment Now, pemikir humanis Steven Pinker mengatakan, perdamaian lebih menguntungkan ketimbang perang. Gagasan bahwa perdamaian jauh lebih membawa manfaat daripada perang terutama dikembangkan pemikir liberalisme pada abad silam.

Pembagian kerja di antara negara-negara dalam proses produksi berjalan baik jika tak ada perang. Pasokan barang dan jasa akan lancar, sehingga bisa membawa kesejahteraan, hanya jika perdamaian terjamin atau tak ada perang besar yang berkecamuk. Dengan kata lain, perang wajib dihindari karena mengancam kesejahteraan.

Seharusnya spirit semacam ini pula yang sesungguhnya melatarbelakangi berbagai bentuk kerja sama di dunia sekarang, termasuk Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) yang dipromosikan China. Diumumkan Presiden Xi Jinping tahun 2013, pendanaan megaproyek infrastruktur oleh Beijing itu bertujuan menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika. Pembangunan infrastruktur yang dibiayainya meliputi jalan raya, pelabuhan, dan rel kereta.

Ambisi China membiayai megaproyek infrastruktur di sejumlah negara mendapat kritik. Disebutkan, karena antara lain tidak transparan, skema pembiayaan itu menempatkan negara penerima dalam jebakan utang.

Dilaporkan oleh The New York Times, Sri Lanka terpaksa menyewakan sebuah pelabuhan kepada China selama 99 tahun karena tak mampu membayar utang yang dikucurkan dalam skema Prakarsa Sabuk dan Jalan. Isu transparansi dan keberlanjutan kemudian menjadi perhatian banyak kalangan terkait BRI.

Dalam pertemuan puncak kedua BRI, di China, pekan lalu, Presiden Xi berusaha meyakinkan dunia bahwa skema pembiayaan ini berlangsung dalam prinsip keberlanjutan.

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang datang ke pertemuan itu mengingatkan, pemerataan di antara negara-negara perlu diperhatikan dalam BRI sehingga mampu mengatasi ketimpangan. Konektivitas dalam BRI, bagi Indonesia, harus dipahami sebagai upaya untuk mengurangi jarak antarnegara demi terwujudnya kemakmuran bersama.