Tetapi, hasil akhirnya bukan seperti dalam film dengan akhir yang bahagia. Saya kesal sekali.

Kalah

Hari ini saya mau bercerita bagaimana kekesalan itu bisa berubah menjadi sebuah kebahagiaan. Sehingga waktu saya bertemu dengannya beberapa minggu lalu, saya seperti bertemu dengan teman biasa saja.

Tak ada kekesalan yang bercokol di hati. Saya melewati pertemuan itu dengan rasa sukacita, mengobrol ke sana dan kemari, dan mengakhirinya dengan tidak menjadi lebay dan tidak ada mulut yang bersuara: "Ah… seandainya aku bisa sama dia."

Di masa saya kesal karena hubungan asmara itu tak bisa berlanjut, karena alasan yang tak perlu saya beberkan, saya sudah seperti orang gila rasanya. Saya baru pertama kali mengetahui bahwa kalau orang tersakiti, dan dasar hidupnya kebetulan juga tidak sejahtera, yang pertama kali diserang kebutaan adalah matanya. Baru kemudian kehilangan akal.

Kira-kira selama dua tahun lamanya saya menjadi buta dan kehilangan akal. Hidup dalam kebencian yang sangat. Saya marah dan kesal karena merasa kalah. Saya merasa ada orang yang mampu mengalahkan saya.

Saya merasa kalah karena tak dapat mencapai keinginan untuk menjadi pacarnya. Karena di kepala, saya telah merancangkan masa depan yang sangat baik kalau seandainya kami dapat menjadi pasangan. Di masa itu, saya benar-benar KO karena kekalahan itu.

Saya pikir hidup dalam kebencian dan dalam kekecewaan itu tak akan menghabiskan tenaga dan pikiran. Ternyata saya keliru. Sangat keliru. Saya lelah sekali menanggung kebencian itu. Berpikir negatif ternyata membuat saya terengah-engah seperti ikut lari maraton. Ketika kekesalan itu menguasai saya, saya benar-benar tak dapat berpikir jernih.

Ketidakjernihan membuat saya berpikir bagaimana caranya saya dapat menyakiti dan membuat hidupnya sengsara. Energi saya benar-benar dikuras habis oleh kebencian. Saat orang sudah tak dapat berpikir jernih, ia tak dapat lagi melihat hal yang baik. Semua pokoknya salah. Semua yang hanya dapat dilihat adalah keburukan.

Maka, sekarang saya dapat memberi nasihat kepada Anda sekalian, jangan pernah membenci. Menjadi kesal tentu sah-sah saja, tetapi jangan membenci. Karena sekali Anda membiarkan diri Anda dirasuki kebencian, seperti saya dulu, Anda akan buta dan kehilangan akal.

Dan percayalah, Anda tak akan senang menjadi buta dan kehilangan akal. Capeknya setengah mati.

Kalah tetapi menang

Nah, setelah dua tahun berlalu, di suatu siang saya sedang leyeh-leyeh di sofa. Seingat saya hari itu libur. Hari masih pagi, sekitar pukul 09.00, saat saya berbaring di sofa. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saya seperti mendapat tenaga baru, pemikiran baru, dan saya bangkit dari sofa.

Di saat saya berdiri itu, mulut saya berkata, saya mau hidup sejahtera, saya tak mau menjalani kehidupan seperti ini. Saya tak mengatakan bahwa saya tak mau lagi membenci, tetapi saya hanya mau menghentikan batin yang kelelahan. Saya mau bahagia, saya mau sejahtera.

Anda tak bisa membayangkan, pagi itu saya seperti orang disengat listrik. Sejujurnya saya tak tahu dari mana datangnya kemampuan untuk menyerah, untuk mengakui bahwa saya ini kalah dan dia tak bisa jadi pacar saya.

Pada saat saya berucap bahwa saya tak mau kelelahan lagi, saat itu saya memang kalah, tak dapat meraih cita-cita saya menjadikan dia pacar saya, tak dapat meraih cita-cita untuk menjadi pasangan yang oke ocre. Tetapi, di saat itu juga, saya merasa menang.

Saya menang karena saya akhirnya berani mengakui kekalahan. Saya menang karena melalui kelelahan itu, saya menghentikan diri saya dilalap oleh rasa benci. Saya menang atas kebencian dan memilih untuk tidak buta mata dan kehilangan akal.

Saya menang karena saya dimampukan mengubah kebencian menjadi keadaan sejahtera. Bisa saya katakan, itu benar-benar sebuah kemenangan yang dahsyat. Mungkin inilah yang dimaksud dengan ungkapan kalah tetapi menang.

Peristiwa itu mengajarkan saya, menang itu bukanlah semata-mata kemampuan mengalahkan sesuatu atau seseorang. Menang itu juga adalah kemampuan menerima kekalahan dengan hati yang sejahtera. Menang itu kemampuan seseorang melepaskan diri dari dilalap api kebencian.

Ketika saya merasakan kemenangan itu, rasanya seperti ada beban besar sekali yang terlepas dari badan saya. Mungkin seperti seorang dokter mengangkat tumor dari tubuh. Yang namanya lega itu tak bisa dibayangkan dan dituliskan. Senangnya luar biasa.

Mungkin itu seperti keluar dari lorong yang sungguh gelap kepada terang yang benderang. Saya seperti diberi kacamata dengan lensa yang tepat sehingga saya dapat membaca dengan jelas.

Rasa senangnya benar-benar tak terkirakan. Maka, saya sarankan Anda untuk mencobanya. Apalagi kalau saat Anda membaca tulisan ini, mata Anda kabur karena kebencian yang sangat dan karena Anda merasa kalah.