KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH (DRI)

Penonton antusias menyaksikan lomba Pacuan Kuda Tradisional Gayo yang diselenggarakan untuk memperingati HUT RI ke-70 dari 17-23 Agustus 2015 di Lapangan Pacuan Kuda Belang Bebangka, Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh, Sabtu (22/8). Pacuan Kuda Tradisional Gayo merupakan acara budaya masyarakat etnis Gayo, meliputi Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues. Acara budaya itu diselenggarakan setahun dua kali saat ini, yakni HUT RI dan HUT kabupaten/kota Bener Meriah atau Aceh Tengah atau Gayo Lues. 

Tahun lalu sejumlah antropolog di Indonesia diminta menulis dalam sebuah antologi bertema "Budaya Unggul Nusantara". Buku ini diharapkan menjadi ensiklopedia etnografi Indonesia dengan konsep naratif yang lebih tebal. Penulis sendiri diminta memilih salah satu budaya unggul dari etnis Aceh.

Penulis memillih menggambarkan tentang Gayo: etnis kedua terbesar di Aceh yang kerap disalahpahami keberadaannya. Provinsi Aceh dianggap memiliki sembilan etnis tempatan (host ethnics) berdasarkan struktur bahasa. Di antara sembilan itu, ada etnis yang paling "ringkih", yaitu Haloban yang bertempat di Pulau Banyak, Singkil, yang jumlahnya hanya ribuan.

Keunikan Gayo

Salah satu keunikan masyarakat Gayo ialah tidak mengenal sistem feodalisme. Struktur geologi dan geografi dengan model pertanian kering di dataran tinggi membuat kultur Gayo berbeda dengan Aceh pesisir.

Sifat antifeodalisme masyarakat Gayo terbentuk sejak lama. Dalam catatan Snouck Hurgronje, masyarakat Gayo tidak membedakan struktur adat dan politik secara ketat. Kekuasaan reje atau kepala desa terlihat luas dengan "batas-batas republik miniaturnya". Ia tidak diatur oleh sistem kekuasaan yang tersubordinasi dengan kekuasaan politik-kultural lebih tinggi, seperti uleebalang yang menguasai sagi atau nanggroe di Aceh pesisir

Meskipun demikian, struktur kekuasaan ini tidak berlangsung secara turun-temurun. Ia dipilih dalam mekanisme musyawarah di antara para saudaro—sistem kekerabatan asli berbasis pertalian darah dari sebuah desa.

Secara umum Gayo dipahami pada tiga hal. Pertama, urang Gayo (masyarakat Gayo), yaitu yang didefinisikan secara sosio-biologis sebagai masyarakat asli Gayo. Kedua, tanoh Gayo (tanah Gayo) meliputi seluruh wilayah kultural, seperti Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Timur (Lokop), Kabupaten Aceh Tenggara (Alas), Kabupaten Aceh Tamiang (Kalul), dan Kabupaten Nagan Raya (Lhok Gayo).

Terakhir, basa Gayo (bahasa Gayo) atau yang menguasai bahasa Gayo (Yusradi Usman Al-Gayoni, 2014). Apakah etnis Jawa atau Aceh jika tinggal di tanah Gayo dan fasih berbahasa Gayo, maka menjadi Gayolah ia?

Budaya dan agama di Gayo tidak mengalami kontestasi nilai secara sengit. Islam menyatu pada dua persilangan, yaitu seni dan adat-tradisi (edet). Lokalitas Gayo memiliki ruang definisi yang solid tentang ritual keagamaan dan ekspresi kesenian yang terbentuk secara harmonis.

Hal itu bisa tergambar pada suasana subuh di dataran tinggi Gayo. Lantunan ayat Al Quran dan shalawat dari masjid dan surau (mersah) terdengar lebih lokal, ritmis, ada nuansa liris, dan etnografis. Alunan zikir itu bertambah khidmat dengan pengaruh irama didong, salah satu seni tari terkenal di Gayo, di tengah balutan alamnya yang sejuk. Senandung zikir itu ibarat nyanyian jiwa yang meneduhkan. Mereka mampu melepaskan diri dari kungkungan Arabesque atau langgam Timur Tengah (Bowen, 1998).

Bagi masyarakat Gayo, apa yang baik secara tradisi, maka baik pula sebagai dunia kehidupan. Mereka tak pernah mengutuk tradisi nenek moyang dengan bidah atau sesat. Salah satu tradisi unik adalah penghormatan pada tanaman kopi. Doa dalam bahasa lokal membahana ketika menepuk-nepuk bunga kopi yang sedang merekah.

Mereka menyebut kopi dengan "siti kewe". "Orom Bismilah/Siti Kewe/Kunikahen ko orom kuyu/Wih kin Walimu/Tanoh kin Saksimu/Lo kin saksi kalammu" (Dengan bismillah/Oh tanaman kopi/Kunikahkan engkau dengan angin/Air menjadi walimu/Tanah menjadi saksimu/Matahari menjadi saksi kalammu) (Raihan Lubis, 2017). Mungkin dengan puitika doa itu kualitas kopi arabika Gayo menjadi salah satu terbaik di dunia.

Salah paham etnografis

Kiranya bukan semata etnis Gayo yang kerap disalahpahami. Ada banyak etnis di Indonesia dilihat dengan mata terpicing-picing karena kurangnya pemahaman secara empatik. Padahal, itulah harta karun bangsa ini berupa kekayaan etnografi, keunikan tradisi, keberagaman bahasa lokal dan dialek, serta pluralisme agama dan keyakinan.

Dalam banyak empiris tradisi dan kejeniusan lokal, praksis religius dan kultural itu telah mengalami proses apropriasi kultural: daya pegas, lenting, dan pejal secara bersamaan. Agama tidak merusak tradisi lokal, tetapi disemai dengan langkah apropriatif. Demikian pula ketika berjumpa dengan tradisi lain, yang terjadi adalah "persilangan budaya"—memakai istilah Denys Lombard—dan bukan pertentangan budaya. Islam dan tradisi lebih mungkin bertemu dan bersemi, tetapi Islam dan politik kerap bersungut dan melahirkan permusuhan.

Namun, gemintang adat dan tradisi dalam bingkai multikulturalisme itu mengalami ketegangan ketika reformasi Indonesia lebih mengurusi domain politik dibandingkan dengan budaya. Akibatnya, muncul "kekerasan monolitik" sejak demokrasi elektoral diberlakukan.

Pemilihan kepala daerah dan presiden secara langsung cenderung menegangkan urat-urat etnografis kita. Asimetrisme politik menghadirkan asimetrisme kultural. Salah satu yang paling menahun ketika terjadi apa yang disebut dengan "ketepatan politis" dalam perbedaan budaya (political correctness) (John Rachman, Identity in Question, 1995).

Praktik "ketepatan politis" ini akhirnya mengabaikan ungkapan berbeda dari ragam budaya. Salah satu keganjilannya adalah penghinaan atas kebudayaan lain/minoritas. Masyarakat cenderung tidak kritis pada keberagaman, skeptis pada perbedaan, dan anti dengan sejarah dan kebudayaan nenek moyangnya. Indonesia dekat dibekap, Arab dan Barat jauh didekap.

Politik model seperti ini akhirnya merusak konsep pedagogi dan kematangan bangsa yang selalu berhasil menemukan titik ekuilibrium untuk harmoni pascakonflik.

Maka, ketika muncul kritikan atas bacaan "Al Fatihah" Presiden Joko Widodo, tidak lain sikap kekanak-kanakan sekaligus kebebalan di tengah kenyataan keberagaman antropolinguistik kita. Pemaksaan ketepatan ungkapan bahasa satu dengan lainnya mengabaikan apa yang di dalam kajian linguistik disebut distinctive unit atau karakter generik setiap bahasa. Tak ada orang asing yang bisa persis sama seperti penutur asli.

Masyarakat Jawa kesulitan membedakan huruf "ha" dengan "kha" atau "ra" yang terucap "ro". Ketika mengucapkan "amin", lidah Makassar kerap membunyikan fonem "g" di ujung ucap atau dengung. Makhraj orang Aceh kerap menyebut "ta" tidak selempang Ustaz Hartanto Saryono, tetapi ada unsur fonem Tamil dengan kontras "ta" pada langit-langit keras.

Apa yang ingin dipermasalahkan dengan keragaman fonetik ini? Bukankah keberagaman bisa menjadi rahmat jika kita saling menghargai dan menjadi laknat jika saling mengolok-olok? Momentum elektoral bisa berlangsung seratus kali lagi, tetapi keberagaman bangsa jangan sampai tergadaikan, apalagi dengan cara murahan.