HERY CAHYONO

EINSTEIN

"We cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them." (Albert Einstein)

Entah mengapa, kalimat sakti dari Albert Einstein itulah yang langsung menyergap ke pemikiran ketika dalam beberapa bulan ini masyarakat, terutama kalangan yang terkait kegiatan riset dan ilmu pengetahuan, mendengar dan membaca dengan gelisah gelombang berita akan didirikan badan riset nasional. Apa hubungan pernyataan Einstein dengan topik artikel ini?

Mungkin begini, ketika kita membuat pembangunan nasional dengan membuat kebijakan riset dan kemudian pada akhirnya tidak mencapai perbaikan seperti yang kita inginkan, bahkan meskipun semua pertimbangan sudah kita anggap benar, maka akan menimbulkan pertanyaan: apa yang akan kita lakukan? Apakah kita harus membentuk badan riset baru?

Logikanya, kita harus mulai memeriksa langkah-langkah sejak awal sehingga dapat mengetahui kebijakan riset mana yang salah. Kalau kita ngotot tak mau mencoba kebijakan lain, pada saat itulah semua masalah riset tersebut menjebak dalam pikiran kita: kita tidak akan menemukan dengan tepat di mana kebijakan yang salah itu. Hanya setelah mengadopsi atau mempertimbangkan pendekatan yang berbeda, kemungkinan besar kesalahannya bisa ditemukan dan selanjutnya dapat diselesaikan. Ini sebenarnya sama halnya dengan masalah kita sehari-hari dan dunia nyata.

Mungkin itulah maksud Einstein mengatakan bahwa kita tak dapat menyelesaikan masalah kita dengan pemikiran yang sama yang kita gunakan ketika kita menciptakannya. Bukan masalah riset, melainkan inovasi.

Apakah riset benar-benar masalah utamanya? Dalam tata pengelolaan daya saing global, yang dihitung, diadu antarnegara setiap tahun adalah inovasi. Bukan riset! Program riset yang dapat berkembang pesat saat ini adalah Pusat Unggulan Iptek (PUI).

Benahi inovasi, bukan riset

Artikel ini ditulis di Kobe, Jepang, hanya satu hari setelah para periset dari sekitar 40 lembaga PUI itu menggelar hasil riset di Universitas Kobe untuk mencari mitra yang bersedia bekerja sama dan mengembangkan riset bersama. Selain itu, forum juga mempertemukan periset dengan para pebisnis yang bersedia memasarkan hasil riset yang mereka lakukan di Kobe. Hasilnya sangat menggembirakan karena dari hasil riset yang dipasarkan itu diharapkan ada 10 MOU yang ditandatangani, ternyata minatnya lebih besar.

Ini artinya, sebuah proses inovasi telah berjalan. Sebab, menurut Edward Robert, ahli inovasi dari MIT ketika menjelaskan mengenai apakah inovasi, rumusnya sangat sederhana: inovasi = riset x komersialisasi. Jadi, riset itu hanya ada gunanya kalau berkembang menjadi inovasi dan itu hanya bisa terjadi kalau hasil riset dapat dipasarkan.

Memasarkan hasil riset sebanyak-banyaknya sehingga menjadi sumbangan besar untuk APBN, misalnya harga paten hasil riset, maka itulah inovasi. Jadi, kita menghadapi masalah inovasi, bukan masalah riset.

Dalam laporan mengenai Global Innovation Index 2018, yang baru dikeluarkan beberapa minggu lalu, jelas peringkat inovasi kita sangat payah, berada di urutan ke-85. Di level ASEAN, Indonesia hanya bisa menang dari Kamboja (96), tetapi sudah kalah dengan Filipina (73), Brunei Darussalam (67), bahkan sudah jauh dari Vietnam yang tahun ini melompat fantastis 12 tingkat menjadi urutan ke-45. Kita sudah dalam posisi amat jauh dengan Thailand (44), Malaysia (35), dan Singapura (5).

Setiap tahun tingkat kemampuan inovasi adalah parameter yang diukur. Komponen riset itu subparameter. Inovasilah yang harus dibenahi, bukan riset. Apa pun yang akan dilakukan dengan riset, termasuk membentuk badan riset, kalau hasil riset tidak dapat dikomersialkan, maka tidak pernah menjadi inovasi. Ketika tidak berkembang jadi inovasi itulah kita menjadi bangsa paria dalam persaingan global.

Dalam dua tahun terakhir ini sedang berjalan proses revisi UU No 18/2002 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dewan Riset Nasional (DRN), dalam rangka memberi masukan terhadap proses revisi UU itu, telah bertemu lebih dari 20 institusi, lembaga pemerintah, LSM—bahkan MPR dan DPR— untuk memberi masukan yang intinya adalah fokusnya penanganan inovasi, bukan penanganan riset. Inti pemikirannya: UU No 18/2002 itu harus diubah jadi UU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi.

Peran iptek dan inovasi dalam UU harus sangat jelas jadi sumber kekuatan negara untuk memajukan ekonomi dan kesejahteraan. Bukan hanya jadi pelengkap. Untuk itu, harus ditunjukkan dengan kemauan politik yang kuat. Intinya: presiden adalah komando tertinggi pengembangan inovasi dan presiden jadi Ketua Dewan Riset dan Inovasi Nasional (DRIN). Apakah ini mengada- ada? Tidak! Hampir di semua negara ASEAN, ketua dewan riset adalah perdana menteri atau raja. Juga di Korea dan Finlandia.

DRIN dipimpin langsung kepala negara. Tugas DRIN adalah menetapkan hasil riset yang akan dibiayai negara sehingga bisa menjadi inovasi. Sekali riset itu ditetapkan sebagai inovasi, tidak boleh dipotong oleh siapa pun, termasuk presiden berikutnya. Kalau mau dibentuk suatu badan, DRN mengusulkan suatu Badan Pendanaan Inovasi. Pelaksanaan inovasi didorong dengan pendanaan yang terukur dan programnya ditetapkan langsung oleh DRIN. Kita tidak atau belum perlu suatu badan riset nasional. Sebab, bukan persoalan riset yang terjadi, tetapi inovasi!