Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 31 Mei 2016

Pajak Progresif Jabodetabek//Konversi Sapi ke Daging (Surat Pembaca Kompas)

Pajak Progresif Jabodetabek

Konon di Tokyo dan Osaka, Jepang, mau memiliki satu mobil saja dipersulit. Pajak tinggi, beragam iuran, dan denda. Mau parkir pun sulit dan tarifnya selangit.

Belum lagi dengan sopan santun berkendara. Di jalan arteri atau jalan tol harus ikut irama. Jika kecepatan rata-rata 80 km/jam, jangan berkendara dengan kecepatan di bawah atau di atasnya, karena akan berurusan dengan polisi lalu lintas.

Mobil rusak 30 persen atau lebih, jangan bawa ke bengkel, ongkos derek dan perbaikan bisa lebih mahal daripada beli mobil baru. Lebih baik lapor ke kotapraja, penderek akan membawa mobil Anda ke tempat daur ulang.

Jakarta kebalikan Tokyo dan Osaka. Warga leluasa beli mobil karena pajak ringan. Tarif parkir murah. Boleh seenaknya di jalan, mau berleha-leha dengan kecepatan rendah atau sekalian ngebut. Mogok di jalan tol ada mobil derek gratis ke bengkel terdekat. Rabu (4/5) pukul 15.00 saya pulang dari Plaza Semanggi dan tiba di Bekasi Barat pukul 19.30. Hari itu semua jalan arteri dan tol dipadati mobil warga Jabodetabek yang mau ke luar kota mengisi libur panjang.

Sabtu (7/5) pukul 12.00 saya dengar info di Radio 104,6 FM seantero Jakarta macet. Bisa jadi karena sebagian besar orang Jabodetabek punya mobil, banyak yang dua atau lebih.

Sudah saatnya Pemprov DKI dan Pemda Bodetabek duduk bersama merancang peraturan daerah tentang pajak kendaraan bermotor (PKB) progresif ekstrem. Usulan besar PKB bisa disesuaikan. Tahap awal untuk mobil ke-1 PKB tetap 100 persen, 200 persen untuk mobil ke-2, 300 persen mobil ke-3, 400 persen mobil ke-4.

Kombinasi cc dan volume dihitung ketat sehingga mobil besar ber-cc kecil dikenai PKB kriteria di atas ditambah volume. PKB progresif ekstrem membuat pemasukan PKB secara umum naik pesat karena pemilik yang menjual mobilnya pasti menuntut pembeli agar seketika memproses balik nama dengan melunasi Pajak Penjualan (PPn) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).

Rencana Pemprov DKI menerapkan pelat nomor ganjil-genap dijamin kandas, warga sudah memiliki banyak mobil dengan variasi pelat nomor. Electronic road pricing (ERP) dipastikan mandul. Beli banyak mobil sanggup, apalagi sekadar bayar belasan ribu rupiah untuk melewati area ERP.

ZULKIFLY, PONDOK PEKAYON INDAH, BEKASI, JAWA BARAT

Konversi Sapi ke Daging

Mencermati tulisan Ibu Enny Sri Hartati, Direktur Indef, di harian Kompas, Senin (23/5), "Fenomena Kenaikan Harga Daging Sapi" bersama ini disampaikan, bahwa angka konversi penulis yang menyebutkan bahwa daging 654.000 ton setara 5,45 juta ekor sapi atau 120 kilogram daging per ekor adalah tidak masuk akal.

Apabila setiap tahun dibutuhkan pemotongan sebanyak 5,45 juta ekor sapi, dalam waktu tiga tahun ke depan populasi sapi Indonesia yang berjumlah 15 juta ekor sudah akan habis.

Hasil survei Institut Pertanian Bogor tahun 2012 dan Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (Pusdatin) Kementerian Pertanian tahun 2015, rata-rata produksi daging per ekor sapi adalah 175,93 kilogram (untuk sapi lokal dan peranakan), dan 250,88 kilogram per ekor (untuk sapi impor).

Badan Pusat Statistik menyampaikan bahwa kebutuhan daging sapi tahun 2015 sebanyak 653.980 ton atau setara dengan 3,8 juta ekor sapi. Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa kebutuhan daging sapi tahun 2015 adalah 510.900 ton setara 3 juta ekor.

Menurut Asosiasi Produsen Daging dan Feedloter Indonesia (Apfindo), ternak sapi yang ready stock tahun 2015 sebanyak 2,3 juta ekor atau setara 391.300 ton daging.

Dengan demikian, angka konversi sapi ke daging yang digunakan adalah berkisar 170 kilogram per ekor hingga 175 kilogram per ekor.

DEWA NGAKAN CAKRABAWA, KABID DATA NONKOMODITAS PUSDATIN KEMENTERIAN PERTANIAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger