Pertanyaan menarik adalah, di tengah masifnya modernisasi alutsista militer Tiongkok di kawasan, apa langkah yang harus dilakukan ASEAN? Terlepas dari hasil keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional terkait legalitas nine dash line yang diklaim secara sepihak oleh Tiongkok, dunia lagi-lagi harus berhadapan dengan unilateralisme suatu negara yang sulit dicegah oleh rezim internasional mana pun.
Unilateralisme sebelumnya terjadi ketika Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak pada 2003 dengan dalih mencegah senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction/WMD), yang hingga saat ini tidak ditemukan, tanpa restu dari PBB. Jika menilik jauh sebelumnya pun kita tahu ketidakberhasilan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) mencegah Jerman dan AS keluar dari keanggotaan LBB sehingga mengakibatkan pecahnya Perang Dunia (PD) II pada 1939 yang dipicu oleh unilateralisme Jerman yang menginvasi Polandia.
Sejarah pun terulang kembali. organisasi internasional yang seharusnya menjadi tata kelola supranasional yang memiliki otoritas untuk mengatur negara-negara di dunia menjadi tidak efektif karena ulah satu atau dua negara yang memiliki kapabilitas relatif lebih kuat ketimbang negara-negara di sekelilingnya.
Kompleksitas keamanan
Tahun ini, anggaran militer Tiongkok sudah mencapai 146,67 miliar dollar AS. Bandingkan dengan total anggaran militer seluruh negara ASEAN yang hanya 37,8 miliar dollar AS. Melihat kenyataan ini, maka tidak heran, efek penggentar Tiongkok jauh melebihi kapabilitas relatif negara-negara kawasan ASEAN.
Alih-alih mempererat kerja sama dan sentralitas ASEAN, negara-negara anggota ASEAN lebih cenderung mencari langkah pencegahan untuk menyelamatkan diri masing-masing dengan pilihan: mencari aliansi militer dengan kekuatan sejajar, seperti AS, atau bergabung dengan bujuk rayu Tiongkok.
Bipolaritas skala kecil pun terjadi di kawasan Asia Tenggara dengan Tiongkok dan AS sebagai kekuatan rivalitas baru dan ASEAN sebagai arena.
Tak perlu diragukan lagi bahwasanya Tiongkok tak mungkin mendapat tekanan dari aktor sub-nasional, seperti kalangan akademisi, LSM, ataupun media dalam negerinya sebagai antitesis dari kebijakan klaim sepihak ini karena semua elemen negara Tiongkok akan diarahkan untuk mendukung klaim sepihak ini. Karena itu, memanfaatkan diplomasi jalur 1,5 atau 2 yang melibatkan jaringan kelompok masyarakat sipil adalah hal sulit, bahkan mustahil diandalkan.
Dengan demikian, praktis baik ASEAN maupun komunitas internasional lain harus mengandalkan kekuatan kolektif pada tingkat antarpemerintah (G to G) baik di dalam ASEAN, dan jika perlu mengisi kekosongan efek penggentar ini oleh negara lain yang seimbang, yang tentu saja dikemas dengan diplomatis agar tak terkesan ASEAN perlahan-lahan meninggalkan prinsip netralitas dan non-intervensinya.
Langkah Filipina dan Vietnam yang mengubur dalam-dalam sejarah hitamnya dengan AS pada masa PD II dan Perang Dingin perlu dipertimbangkan untuk dieksploitasi secara halus oleh ASEAN. Konektivitas erat kedua negara anggota ASEAN dengan AS di bidang militer perlu ditindaklanjuti dalam forum-forum pilar pertama ASEAN Political Security Community (APSC).
Setidaknya jika Tiongkok bersikeras atas klaim sepihaknya di Laut Tiongkok Selatan (LTS), APSC dapat dijadikan komitmen pertahanan bersama meskipun tidak sampai kepada pembentukan pakta pertahanan.
Berikutnya, lobi-lobi intensif ke negara-negara yang cenderung berpihak kepada Tiongkok, seperti Laos dan Kamboja, untuk tetap kembali kepada negosiasi penyusunan dokumen code of conduct(COC) yang merupakan pedoman berperilaku di kawasan LTS serta pentingnya menegakkan UNCLOS sebagai norma internasional yang existing dan didasarkan atas konsensus internasional.
Dengan demikian, faktor sejarah (seperti argumen Tiongkok mengenai traditional fishing ground pada kasus di Natuna, Maret 2016) dan tradisi—yang umumnya menjadi argumen "klasik" sengketa perbatasan—seharusnya bukan lagi menjadi satu-satunya justifikasi mutlak.
Kompleksitas keamanan di kawasan diperparah dengan bebasnya Tiongkok mengaplikasikan nine dash line-nya melalui proyek pembangunan reklamasi pulau buatan, karang, landasan pacu udara, dan militerisasi yang dapat membuktikan secara de facto bahwa pulau-pulau kecil di Kepulauan Spratly adalah bagian dari kedaulatan Tiongkok.
Selama pembangunan situs- situs tersebut berlangsung selama kurang lebih sejak 2013, tindakan nyata untuk membendung keberlanjutan pembangunan tersebut sejauh ini adalah justru datang dari militer AS melalui diplomasi pertahanannya.
Artinya, terdapat kesadaran dari pihak-pihak yang bersengketa dengan Tiongkok di LTS bahwa tak mungkin menghadapi militer Tiongkok secara head to headkarena efek penggentar yang tak seimbang antara negara-negara anggota ASEAN dengan Tiongkok.
Karena itu, diplomasi pertahanan yang diperagakan AS bertujuan selain untuk menggertak Tiongkok, juga berupaya untuk memperlambat pembangunan situs-situs yang menjadi dasar klaim sepihak Tiongkok di LTS hingga keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional definitif dan "memaksa" Tiongkok untuk kembali ke negosiasi dokumen COC.
Penyeimbang kekuatan
Pertimbangan untuk melibatkan AS sebagai penyeimbang kekuatan di kawasan sebetulnya tidak dapat dibaca semata-mata untuk menyelamatkan ASEAN dari perpecahan ataupun intervensi AS di kawasan, secara geopolitik dan geoekonomi pun sebetulnya negara-negara besar di dunia sangat bergantung pada stabilitas dan keamanan kawasan Asia Tenggara.
Saat ini, 66 persen kargo perdagangan LNG di dunia dengan total nilai 5,2 triliun dollar AS per tahun melewati Laut Tiongkok Selatan. Sebanyak 1,2 triliun dollar AS di antaranya terkait langsung dengan kepentingan AS akan kebutuhan energi. Karena itu, maka akan terlalu mahal biayanya jika opsi konflik terbuka dipilih oleh Tiongkok, ASEAN, dan AS.
Dengan demikian, ujian bagi sentralitas ASEAN adalah bagaimana ASEAN memanfaatkan netralitasnya untuk merangkul tidak hanya negara-negara anggotanya agar kompak menghadapi klaim sepihak Tiongkok, tetapi juga mengoptimalkan jaringan kerja sama dengan negara-negara di luar kawasan, terutama AS yang selama ini menjadi mitra strategis ASEAN untuk menjadileverage agar dapat menjembatani kesenjangan kekuatan di kawasan melalui tekanan politik internasional yang bertujuan untuk menandingi jurus "pendekar mabuk" (drunken master)-nya Tiongkok agar tidak sampai mengarah kepada konflik maritim terbuka.
Tentu saja langkah-langkah tersebut bukan tanpa risiko. Andaikan Tiongkok tidak mengindahkan keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional dan tidak menghargai kepentingan negara-negara yang bersengketa di LTS—kemungkinan yang masih sangat mungkin terjadi—wibawa Mahkamah Arbitrase Internasional dan ASEAN akan runtuh dan potensi Perang Dingin baru akan dimulai dari kawasan Asia Tenggara.
Jika ini yang terjadi, alih-alih berhadapan dengan kekuatan militer terbesar kedua di dunia, perlu langkah diplomasi perbatasan untuk menangguhkan potensi konflik terbuka menjadi status quo sampai ada kerelaan dari setiap pihak untuk kembali ke negosiasi penyusunan dokumen COC yang sudah berjalan sejak DOC 2002.
Konsekuensi logis untuk mendorong proses ini tentu saja akan memakan waktu sangat lama dan bergantung kepiawaian negosiasi setiap pihak agar tidak ada salah satu pihak yang kehabisan kesabarannya sehingga memilih opsi perang terbuka.
ARFIN SUDIRMAN, DOSEN HUBUNGAN INTERNASIONAL; DIREKTUR EKSEKUTIF PUSAT STUDI ASEAN FISIP UNIVERSITAS PADJADJARAN, BANDUNG
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2016, di halaman 7 dengan judul "Ujian Sentralitas ASEAN di LTS".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar