Apakah kepartaian bisa menyediakan alasan-alasan rasional bagi publik? Agenda partai adalah dasar diferensiasi antarparpol yang terbentuk dari gagasan parpol dan karakteristik basis massa dalam hubungan resiprokal (Neumann, 1982). Produksi gagasan wajib ada dalam kehidupan sebuah parpol (Macridis, 1988).
Namun, agaknya idealitas kepartaian sulit diwujudkan. Dua perhelatan parpol besar—Munas Partai Golkar dan Muktamar PPP pada akhir 2014—malah menghasilkan dualisme kepemimpinan. Sebaliknya Kongres Partai Demokrat dan Kongres PDIP tak mampu menghasilkan pemimpin baru.
Empat kongres partai terbesar itu menunjukkan bahwa masih ada masalah-masalah mendasar kepartaian di Indonesia. Pertama, pragmatisme politik menghambat produksi gagasan partai. Parpol hanya menjadi instrumen politisi mengakses sumber daya negara. Pertempuran fungsi legislatif-eksekutif oleh Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat, perpecahan Aburizal Bakrie-Agung Laksono (Partai Golkar) dan Djan Faridz-Romahurmuziy (PPP) adalah imbas pragmatisme politik personal.
Kedua, kentalnya patronase politik dalam partai. Pola semacam ini menghasilkan perkembangan parpol yang tidak sehat karena ketua partai seolah adalah pemilik partai. "Restu ketua partai" menjadi faktor determinan yang wajib diperoleh tokoh baru untuk muncul dalam parpol. Padahal, fleksibilitas jaringan para kader justru dapat memunculkan pembaruan partai, termasuk soal gagasan dan agenda.
Maka, kompetisi antarparpol bukan soal menjual gagasan dan agenda untuk perluasan pengaruh. Parpol dengan basis massa ideologis, seperti PKB, PDIP, PKS, PPP, PAN, dan PBB dengan konstituen loyal, tereduksi hanya menjaga suara.
Untuk membenahi parpol, perlu mendorong fleksibilitas sumber daya politik kader dan mengakomodasi gagasan kader daerah sebagai penguatan kelembagaan partai. Parpol menjadi sehat karena bekerja dalam sistem egaliter.
Kedua, merancang grand design partai, yang meliputi gagasan utama, agenda parpol, dan blue print strategi implementasi. Dengan demikian, kongres berfungsi sebagai pembawa perubahan, bukan sekadar rutinitas suksesi.
SAYFA AULIYA ACHIDSTI, MAHASISWA DAN PENELITI DI PASCASARJANA MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi ".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar