Dalam Rapat Paripurna DPR, meskipun tidak dengan suara bulat-karena ada beberapa fraksi yang menolak-usulan dana aspirasi akhirnya disahkan sebagai sebuah kebijakan DPR. Pada tahap ini, tentu saja bukan berarti DPR serta-merta bisa menikmatinya karena pada saat yang bersamaan, pemerintah memberi sinyal penolakan.
Tanpa restu dari pemerintah, apa yang telah diputuskan DPR akan mentah kembali. Hal ini setidaknya merujuk kepada ketentuan yang ada, bahwa fungsi anggaran DPR adalah memberikan pengesahan dan persetujuan atas Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN. Dengan kata lain, DPR tidak dapat secara sepihak memutuskan sesuatu yang berkenaan dengan APBN, sebagaimana yang kita lihat dalam konteks dana aspirasi.
Tiga argumen penolakan
Arus utama penolakan dana aspirasi setidaknya terletak pada tiga argumentasi besar. Pertama, kecenderungan atau potensi korupsi yang semakin merajalela jika dana aspirasi disetujui. Koalisi Kawal Anggaran, misalnya, menyebutkan dalil ini dengan merujuk kepada kasus korupsi yang melilit anggota DPR dalam program percepatan pembangunan infrastruktur daerah (PPID) sebelumnya. Mereka mengacu pengalaman Filipina yang anggota senatnya banyak terjerat korupsi dana pork-barrel, sejenis dana aspirasi yang baru saja disetujui Dewan.
Tak kurang Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo serta beberapa politisi dari PDI Perjuangan, seperti Budiman Sudjatmiko merujuk alasan potensi korupsi sebagai dasar menolak dana aspirasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah mengingatkan DPR untuk tidak tergesa-gesa mengegolkan dana aspirasi karena belum tersedianya sistem pengelolaan yang transparan.
Kedua, klaim DPR yang menyebutkan bahwa dana aspirasi akan mendorong pemerataan pembangunan di daerah dianggap prematur, bahkan manipulatif. Sebaliknya, menurut kelompok yang kontra, dana aspirasi hanya akan memperlebar jurang ketidakadilan dan ketidakmerataan karena faktanya, basis perhitungan dana aspirasi yang pukul rata per anggota berdasarkan perolehan kursi, konsentrasi dana aspirasi akan terjadi di Pulau Jawa mengingat jumlah kursi terbesar DPR ada di Jawa, dengan alokasi sebesar Rp 6,12 triliun dari 306 kursi.
Sementara, Bali-Nusa Tenggara sebagai perbandingan, hanya bisa mendapatkan Rp 640 miliar dari 32 kursi yang tersedia. Padahal, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur adalah dua provinsi yang masih terus berjuang untuk terhindar dari berbagai macam persoalan, seperti kemiskinan yang parah serta tingkat kualitas kesehatan yang buruk, ditandai dengan tingginya angka kematian bayi karena bergizi buruk. Konsep dana aspirasi lantas dituding akan mempertegas pendekatan pembangunan yang bias Jawa.
Ketiga, wewenang DPR dalam menetapkan dana aspirasi secara sepihak dianggap kebablasan karena tidak ada aturan yang memayunginya sama sekali. Perluasan wewenang DPR dalam fungsi anggaran dituding sebagai inkonstitusional dan dipandang melanggar atau menabrak berbagai ketentuan yang berlaku.
Dua alasan
Bisa dikatakan, semua argumentasi yang telah diajukan untuk menolak dana aspirasi usulan DPR adalah valid. Namun, DPR abai terhadap hal itu. Pertanyaannya, mengapa mereka ngotot menyetujui dana aspirasi di tengah penolakan dari berbagai pihak? Ada dua pengalaman empiris yang mungkin merupakan jawabannya.
Pertama, program pemberantasan korupsi pada sektor penegakan hukum yang dicanangkan oleh, khususnya, KPK telah menyasar DPR. Berbagai upaya untuk menguasai sumber daya publik (APBN) melalui cara-cara ilegal dan korup sebagiannya kini dapat terdeteksi penegak hukum. Tidak kurang sudah ada 75 anggota DPR yang dijerat dengan pasal korupsi oleh KPK hingga tahun 2015. Upaya KPK ini merupakan sebuah ancaman dari sistem koruptif yang sudah telanjur mapan.
Agenda penindakan korupsi KPK juga barangkali secara langsung telah mempersempit ruang gerak korupsi yang biasanya dilakukan para aktor politik untuk mendapatkan sokongan dana politik, selain korupsi sebagai cara untuk memperkaya diri sendiri. Oleh karena itu, cara legal perlu ditempuh untuk tetap mendapatkan sumber pendanaan politik. Caranya melalui legalisasi berbagai usulan dan program sebagaimana dalam kasus dana aspirasi, sepanjang ruang kontrol atas dana tersebut secara relatif masih berada di tangan politisi secara langsung.
Kedua, dalam situasi di mana kebutuhan untuk mendanai politik semakin besar, dan tekanan untuk mempertahankan posisi dan kekuasaan juga tinggi, sementara pada saat yang sama cara ilegal untuk mengakses dana publik kian sulit dilakukan, maka cara yang paling masuk akal ditempuh adalah dengan membangun mekanisme yang dipandang sah untuk memenuhi kebutuhan itu.
Anggaran sebesar Rp 20 miliar untuk setiap wakil rakyat yang diklaim akan digunakan untuk kepentingan konstituen sangat mungkin sejatinya untuk menjawab tantangan baru ini. Atas nama kepentingan konstituen, anggota DPR dapat memanfaatkan dana aspirasi untuk memelihara pengaruh serta cengkeraman di daerah pemilihan mereka.
Berbahaya
Implikasi pendekatan ini sebenarnya sangat berbahaya karena akan menyebabkan kompetisi politik menjadi tidak sehat. Anggota Dewan dari petahana akan sangat mudah maju kembali sebagai wakil rakyat dan memenangi konstestasi karena usaha menanam pengaruh sudah dilakukan selama lima tahun melalui penggunaan dana aspirasi. Pada saat yang sama, saat pemilu berlangsung, mereka sangat mungkin tidak perlu mengeluarkan anggaran sebesar sebelumnya untuk mempertahankan kursi mereka di Senayan.
Sebaliknya, calon anggota legislatif yang baru pertama kali maju akan mendapatkan tekanan lebih besar untuk menyediakan dana kampanye, termasuk untuk kepentingan politik uang.
Oleh karena itu, karena masalah utamanya adalah pada mencari sumber pendanaan politik, cara menyelesaikannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan individual sebagaimana dalam konteks dana aspirasi. Supaya tidak chaos, partai politik yang menjadi tempat bernaung para anggota Dewan adalah sumber yang harus dibenahi. Karena masalahnya tetap sama, yakni akses pendanaan politik, sudah semestinya gagasan untuk menaikkan bantuan keuangan partai politik dibicarakan lebih serius.
Hal ini menjadi urgen karena partai secara riil tak dapat bersandar sepenuhnya kepada sumbangan atau donasi anggotanya. Akan lebih baik jika dana aspirasi itu dialihkan untuk keperluan meningkatkan dana bantuan partai dari negara. Argumentasinya sederhana, meminta partai politik lebih akuntabel sebagai organisasi akan jauh lebih mudah daripada meminta individu-individu anggota DPR penikmat dana aspirasi mempertanggungjawabkan pengelolaannya.
ADNAN TOPAN HUSODO
Koordinator ICW
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2015, di halaman 7 dengan judul "Dana Aspirasi, Dana Politik"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar