Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 27 November 2013

Pemilu Tak Serentak (Mohammad Fajrul Falaakh)

Oleh: Mohammad Fajrul Falaakh

PADA 2004 dan 2009 pemilihan umum anggota lembaga perwakilan rakyat di pusat dan daerah serta pemilihan presiden diselenggarakan secara terpisah, tetapi berkorelasi.
Keterpisahan ini melanjutkan tradisi Orde Baru saat presiden dipilih MPR yang keanggotaannya dibentuk berdasarkan pemilu. Korelasi dibangun untuk menata sistem presidensial dan mengokohkan dominasi partai politik dalam pemilu.

Sejumlah pakar dan tokoh mengusulkan pemilu serentak dengan menyatukan waktu pemilihan parlemen dan presiden. Usulan dikemas dalam pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilhan Umum Presiden dan Wakil Presiden) di Mahkamah Konstitusi (perkara nomor 14/PUU-XI/2013). Usulan ini berjarak terlalu lama dari Pilpres 2009. Melengkapi tulisan Effendi Gazali (Kompas, 23/10) berikut dikemukakan rintangan-rintangan MK mengabulkan usulan tersebut.

Mengompromikan ketaksepakatan
Rumusan sistem pilpres dalam UUD 1945 adalah hasil kompromi atas kesepakatan dan ketaksepakatan pada istilah netral "pemilihan umum". Istilah pemilu dipilih untuk mencakup berbagai jenis perekrutan aneka jabatan publik yang dilakukan rakyat, misalnya pemilu parlemen dan pemilu eksekutif.

Netralisasi istilah tak berkonotasi general elections dalam sistem presidensial yang dibedakan dari presidential elections. Istilah general elections dalam sistem parlementer juga berimplikasi memilih kandidat eksekutif. Kompromi istilah pemilu diterapkan pada Pasal 2, 6A, 8, 19, 22C, dan 22E UUD 1945.

Menurut Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945, pemilu mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden. Kesepakatan ini tidak mencakup pemilihan kepala daerah sehingga perselisihan hasilnya bukan termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C Ayat (1). Dapat dimengerti bahwa ketentuan tentang pemilihan kepala daerah secara demokratis (Pasal 18 Ayat 4) mengandung beragam maksud awal (original intent): secara langsung oleh rakyat, oleh DPRD, atau cara-cara lain.

Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menentukan, pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) diusulkan oleh partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Rumusan ini terkesan memunculkan kesepakatan tentang waktu pilpres sebelum pemilu. Namun, rumusan ini memendam ketaksepakatan tentang makna pemilu sehingga gagal memastikan waktu dimaksud.

Hal itu mengakibatkan makna bahwa pengusulan capres-cawapres dilakukan sebelum pemilu bergantung pada makna yang disampirkan pada kata pemilu. Untuk tahun 2004, 2009, dan 2014 disepakati bahwa pengusulan tersebut dilakukan sesudah pemilu parlemen. Pasal 3 Ayat (5) dan Pasal 112 UU Pilpres 2008, misalnya, menegaskan, pilpres dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilu parlemen dan selambat-lambatnya tiga bulan setelah pengumuman hasil pemilu tersebut.

Menebak MK
Jika MK menyatukan waktu pilpres dan pemilu parlemen, pemilu tersentak kegaduhan politik dan hiruk-pikuk pengadaan logistik. Komisi Pemilihan Umum mendadak harus memasukkan faktor capres-cawapres untuk pelaksanaan pemilu April 2014.  Penyatuan waktu pilpres dan pemilu membuka peluang 12 parpol peserta Pemilu 2014 untuk mengusulkan sendiri pasangan capres-cawapresnya. Instrumen ambang batas pengusulan capres-cawapres dan ambang batas parlemen tak diperlukan lagi.

Semua parpol peserta pemilu tak perlu berkoalisi untuk mengusulkan capres-cawapres karena pemilu serentak tak memerlukan persyaratan paling sedikit 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR. Kemungkinan besar koalisi tetap diperlukan sesudahnya dan dengan mempertimbangkan konfigurasi perolehan kursi di parlemen.

Pasal 208-209 UU Pemilu menentukan ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen untuk diterapkan di DPR hingga DPRD kabupaten atau kota. Praktis ambang batas di tingkat lokal tidak berguna kalau pemilihan anggota DPRD dan pilkada dilaksanakan serentak. Semua parpol peserta pemilu dapat mengusulkan pasangan calon dalam pilkada. Selain itu, Putusan MK Nomor 52/PUU-X/2012 juga memberlakukan ambang batas parlemen hanya di DPR. Partai-partai gurem berpeluang mewarnai dinamika politik lokal.

Sebetulnya penting menghitung biaya pilpres dengan banyak pasangan calon dibandingkan dengan jumlah lebih kecil yang dimungkinkan ambang batas pengusulan capres-cawapres. Penghitungan biaya juga perlu memasukkan faktor peningkatan jumlah peserta dalam pilkada tanpa ambang batas parlemen, yang dilaksanakan serentak dengan pemilu, dan biaya penyelenggaraan dua kali pemilu serentak (tingkat nasional dan lokal).

Kapan capres-cawapres didaftarkan ke KPU? Tentu setelah putusan MK dibacakan dan KPU (harus) siap. Kalau ketentuan waktu pilpres dalam UU Pilpres 2008 dibatalkan, MK diharapkan menentukan waktu pemilu serentak. Berwenangkah MK menentukannya? Apakah waktu penyelenggaraan pemilu merupakan masalah hukum, kebijakan, atau manajemen? Adilkah MK mendadak membebani KPU tanpa mendengarkan pendapatnya sebagai pihak terkait? Berwenangkah KPU mengubah jadwal pemilu agar pilpres dapat diselenggarakan pada waktu yang sama, sekitar lima bulan lagi?

MK tentu membenarkan ambang batas pengusulan pasangan capres-cawapres, yang hanya diketahui setelah pemilu parlemen, sesuai dengan Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008. MK juga akan mengakui kebiasaan ketatanegaraan untuk melaksanakan pilpres setelah pemilu parlemen, sesuai dengan Putusan Nomor 51, 52, 59/PUU-VI/2008. Tanpa meyakini dapat menebak pendapat hakim konstitusi dalam menalar realitas, tampaknya MK tidak akan memaksakan pemilu serentak untuk tahun 2014.

Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003373619
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger