Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 27 November 2013

Strategi Pertahanan Nasional (Daoed Joesoef)

Oleh: Daoed Joesoef

HARIAN Kompas edisi 23 Oktober 2013 mewartakan upaya antisipatif menangani perang kota oleh TNI Angkatan Darat di Ibu Kota.
Di bawah tanah dekat Monumen Nasional dibangun garasi untuk memarkir tank tempur utama—main battle tank (MBT) Leopard. Di sana juga akan ditempatkan—sesuai tuntutan situasi dan kondisi—sejumlah peluru kendali darat permukaan (surface to air missile/SAM) serta helipad di puncak-puncak gedung di kawasan bisnis penting, pembangunan rumah susun empat lantai dengan empat menara, penampung para perwira TNI AD agar tinggal tidak jauh dari Markas Besar TNI AD, dan last but not least, akan disiapkan gorong-gorong, wadah lalu lalang bawah tanah dari para prajurit.

Upaya ini diapresiasi dosen Universitas Pertahanan sebagai bukti kesiapan strategi TNI menghadapi kemungkinan perang kota (urban warfare). Pembangunan instalasi pertahanan kota ini dikabarkan setelah mempelajari situasi kekacauan yang pernah terjadi di Ibu Kota. Mengapa tak sekalian mempelajari aneka perang kota yang benar-benar terjadi di berbagai belahan dunia semasa dan sesudah Perang Dunia II? Jangan kepalang tanggung! Perang di Stalingrad (1942), Jerusalem (1967), Hué (1968), Beirut (1982), Sarajevo (1994), Grosni (1995), dan Baghdad (2003).

Pengalaman perang kota
Dalam perang kota, pengalaman yang diperoleh merupakan unsur determinan. Namun, setiap kota ternyata memberikan pengalaman tersendiri, baik bagi yang berusaha merebut maupun bagi pihak yang mempertahankannya. Begitu rupa hingga sampai saat ini tidak ada "teori" yang mumpuni, tetapi "resep-resep" spesifik dari perang kota tertentu. Yang pasti adalah bahwa terlalu banyak warga sipil mati konyol, terutama perempuan dan anak-anak, yang tidak tahu-menahu apa yang dipertaruhkan, yang seharusnya tidak dibidik peluru perang modern yang maunya tetap beradab. Jadi, baik bagi pihak penyerang maupun pembela, perang kota sama-sama merupakan suatu nightmare, menghantui nurani human.

Jenderal China, Sun Tzu, menulis "menyerang kota, dalam berperang, merupakan yang terburuk daripada semua opsi". Jadi, merebut kota sudah diketahui 2.500 tahun lalu agar sedapat mungkin dielakkan, bagi sang penyusun strategi apalagi prajurit di lapangan. Jauh sebelum ini orang Yunani Purba telah merumuskan siasat merebut kota, yang dibaptis poliorcétik karena ketika itu yang eksis "negara-negara kota" (city states). Sekarang negara kota sedikit, Singapura, misalnya, tetapi separuh penduduk planet Bumi berkumpul di kota-kota. Hitler, veteran Perang Dunia I, wanti-wanti melarang tentara Jerman menerobos kota lawan yang dipertahankan sekali, seperti Leningrad.

Namun, dia tak mampu melawan nafsunya untuk merebut Stalingrad, kota yang membawa nama musuh yang paling dia benci. Akhirnya toh gagal total. Pada 31 Januari 1943, Marsekal Von Paulus, komandan pasukan penyerbu, dengan bala 195.000 prajurit dan 27 jenderal, terpaksa menyerah kepada Letnan Eltchenko, komandan pasukan pertahanan Stalingrad. Belum pernah dalam sejarah peperangan, di tengah kecamuk pertempuran, seorang perwira tinggi menyerah kepada seorang perwira rendah. Peristiwa yang memalukan ini sekaligus menjadi titik balik bagi jalannya Blietzkrieg Barbarossa.

Ibu Kota negara memang cukup menarik untuk direbut at all costs karena punya signifikansi strategis—pemusatan lalu lintas (pelabuhan udara dan laut, pusat jaringan jalan. dan perkeretaapian), ekonomi (pusat industri dan perdagangan), religius (Jerusalem). Amerika Serikat memutuskan merebut Baghdad berhubung kota ini pusat pemerintahan dan kekuatan militer, markas partai yang berkuasa, diperintah rezim yang sangat sentralistis dan diktatorial. Kediktatoran ini konon mengembangkan kebencian dari semakin banyak warga Irak yang, karena hal itu, kiranya dapat membenarkan penghancuran Baghdad (Ibu Kota) demi keruntuhan rezim Saddam Hussein.

Mengulang blunder
Modal AS menyerbu Baghdad adalah pengalaman tempur merebut kota Hué (1968) yang saat itu dikuasai pejuang Viet Minh. Namun, para veteran pertempuran itu sudah pensiun sehingga Pentagon perlu berkali-kali mengubah strategi penguasaan Baghdad. Salah satu tindakan yang mungkin paling desisif adalah pengeboman yang menghancurkan seluruh pasukan elite harapan Irak, Garda Nasional Khusus, yang dikonsentrasikan di satu tempat. Jadi, pembangunan rumah susun di selatan Monas guna didiami para perwira dan keluarganya, pemusatan perwira ini, akan jadi sasaran empuk, sitting duck, untuk dihancurkan once for all oleh satu-dua roket lawan. Itu berarti kita mengulang blunder yang dibuat rezim Saddam Hussein dalam rangka pertahanan Baghdad.

Sebaiknya upaya antisipatif perang kota oleh TNI AD dibatalkan saja. Demi mengelakkan korban penduduk sipil yang sia-sia belaka, sebaiknya semua kota besar, terutama Jakarta, dinyatakan sebagai "Kota Terbuka" jika terjadi peperangan. Lagi pula di kalangan petinggi militer dari negeri-negeri adikuasa sudah beredar anggapan jatuhnya Ibu Kota tak otomatis berarti takluknya negara-negara bersangkutan. Jerman menyerah kepada Sekutu tahun 1944 bukan karena Berlin jatuh ke tangan pasukan Merah. Sesudah Berlin hancur memang tak ada lagi tersisa tokoh Nazi dan wilayah nasional Jerman. Ketika Agresi Militer II Belanda (Desember 1948) berhasil menduduki Yogyakarta dan menawan Presiden, Wapres, dan beberapa tokoh politik kita; NKRI tetap eksis.

Hal ini bukan berarti bahwa kita melupakan saja nasib Ibu Kota. Sistem pertahanannya merupakan bagian dari keseluruhan sistem pertahanan nasional. Tulisan ini juga bukan ingin mengatakan bahwa musuh tidak akan datang, tetapi mau mengingatkan bahwa ia tidak akan datang melalui daratan. Potensi kekayaan alami Indonesia cukup menarik untuk "dikuasai" pihak asing, jika perlu melalui perang. Apabila demi perdamaian diperlukan paling sedikit dua orang/pihak, untuk menggerakkan perang, celakanya, cukup dilakukan oleh satu orang/pihak.

Kita harus siap siaga untuk menghadapi malapetaka itu. Musuh tidak kita cari, tetapi jika menghadang pantang dielakkan. Esa hilang, dua terbilang. Martabat nasional menjadi taruhan. Kita, selaku satu bangsa, boleh kehilangan semua, kecuali martabat bersama itu! We may loose everything but the honour! Berarti kita, Indonesia, harus memikirkan satu strategi pertahanan nasional yang relevan dan sesuai dengan kondisi alam yang mau kita pertahankan at all costs.

Daoed Joesoef, Alumnus Universite Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003129029
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger