Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 27 November 2013

Memeriksa Wapres dalam Perspektif Konstitusi (Bahrul Ilmi Yakup)

Oleh: Bahrul Ilmi Yakup  

KOMISI Pemberantasan Korupsi kembali memeriksa Wakil Presiden Boediono pada 23 November 2013 menyusul pemeriksaan pada April 2010  terkait dengan perkembangan kasus bailout Bank Century.
Sebagai warga negara, pribadi Boediono tentunya bersedia memenuhi pemeriksaan KPK, tetapi bagaimana pemeriksaan wapres dalam perspektif konstitusi agar KPK tidak menjadi pelanggar konstitusi seraya  menjaga penegakan hukum oleh KPK menjadi  constitutionalism-law enforcement.

Imunitas presiden
Dalam sejarah negara dunia, kepala (pemerintahan) negara (raja, kaisar, presiden, atau sebutan lainnya) selalu memiliki imunitas (kekebalan dari tuntutan hukum) yang sering dimaknai sebagai beyond the reach of judiciary process. Untuk menjelaskan itu, muncul doktrin The King can do no wrong, yang di Amerika disebut The Presidential immunity from judiciary direction."

Oleh karena itu, kepala pemerintahan negara tidak boleh diadili, tetapi boleh  dikalahkan melalui proses politik (political struggle). Untuk mengatur masalah itu, dalam norma hukum dikenal delik kudeta (coup d' etat), pemakzulan  (impeachment), atau sebutan lainnya.

Dalam sejarah modern, doktrin imunitas presiden pertama muncul dalam putusan Court in Mississippi vs Johnson tahun 1867.  Putusan tersebut menegaskan bahwa presiden memiliki status di luar jangkauan perintah kekuasaan kehakiman, The President was placed beyond the reach of judicial direction.

Dasar argumen ketatanegaraan Amerika adalah doktrin pemisahan kekuasaan  (separation of powers). Doktrin tersebut diperluas mencakup tindakan personal presiden sebelum menjabat dalam kasus Clinton vs Jones dengan hak  "menangguhkan: entitle him to delay of both the trial and discovery."

Konstitusi Indonesia, UUD 1945, secara exis-verbis tak mengatur imunitas presiden, tetapi menganut beberapa ajaran yang terkait dengan itu. Pertama, UUD 1945 pascaamandemen secara tegas menganut doktrin pembagian kekuasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat 1 untuk  Eksekutif, Pasal 20 Ayat 1 untuk Legislatif, dan Pasal 24 Ayat 1 dan (2) untuk Yudisial.

 Kedua, Pasal 7 UUD 1945 mengatur bahwa presiden (dan wapres) Indonesia memiliki masa jabatan tetap selama lima tahun (fixed term) yang merupakan ciri sistem presidensial murni.  Ketiga, Pasal 7A dan 7B UUD 1945 mengatur secara tegas proses dan tata cara pemberhentian presiden dalam masa jabatannya dengan alasan melanggar hukum (dan konstitusi) atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wapres.

Keempat, UUD 1945, baik naskah awal berikut  penjelasannya maupun pascaamandemen, memosisikan presiden sebagai kepala kekuasaan eksekutif.

Dari empat ajaran tersebut, kendati UUD 1945 tidak mengatur secara tegas imunitas presiden, menurut doktrin ketatanegaraan, presiden dan wapres memiliki hak imunitas. Itu berarti tak dapat  dituntut dan diproses terkait  penegakan hukum selama dalam masa jabatannya.  Dengan demikian, pemeriksaan presiden dan/atau wapres yang sedang menjabat merupakan tindakan yang bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional).

Jalan keluar
 Faktanya, UUD 1945  senapas dengan konstitusi Amerika yang memberi hak imunitas kepada presiden (dan wapres)  yang sedang menjabat, maka secara konstitusional tidak boleh ada pemeriksaan atau tuntutan hukum terhadap presiden dan wapres selama masa jabatannya.

 Untuk mengatasi masalah tersebut, konstitusi memberi beberapa alternatif jalan keluar. Pertama, melakukan pemakzulan terhadap presiden dan/atau wapres sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Kedua, presiden (dan/atau wapres) menggunakan hak menangguhkan tuntutan dan proses hukum tersebut sampai masa jabatannya berakhir. Ketiga, presiden (dan/atau wapres) mengundurkan diri dari jabatannya seperti  yang dilakukan Presiden Richard Nixon pada 9 Agustus 1974 terkait  kasus Watergate.

Sebetulnya, ada alternatif keempat, yaitu presiden (wapres) menjalani cuti dari tugas-tugas kenegaraan selama dalam proses pemeriksaan. Namun, alternatif keempat tersebut akan terbentur pada persoalan normatif, yaitu  belum ada ketentuan hukum acara yang mengatur proses dan mekanisme pemeriksaan presiden dan (wapres) yang secara impersonal merupakan lembaga negara, yang memegang simbol negara, hak privilese, dan hak protokoler.

Dengan demikian, menurut konstitusi, kesediaan pribadi Boediono untuk diperiksa oleh KPK terkait bailout Bank Century tidak menerbitkan hak KPK untuk memeriksanya, justru kesediaan tersebut berikut tindakan KPK memeriksa Boediono dalam masa jabatannya sebagai wapres merupakan tindakan yang bertentangan dengan UUD 1945.

Jalan keluar  yang sering digunakan adalah pribadi presiden atau wapres yang sedang menjabat mengundurkan diri dari jabatannya. Dengan demikian, secara konstitusional tak ada pemeriksaan atau tuntutan hukum terhadap presiden atau wapres, yang ada adalah pemeriksaan dan tuntutan hukum terhadap pribadi.

Bahrul Ilmi Yakup, Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi;  Advokat dan Konsultan; Ketua Pusat Kajian BUMN

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003373983
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger