Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 29 November 2013

Tetap Optimistis Memberantas Korupsi ( Todung Mulya Lubis)

Oleh: Todung Mulya Lubis

KETIKA saya berceramah di Perhimpunan Masyarakat Amerika Serikat-Indonesia (US-Indonesia Society, Usindo) di Washington DC beberapa pekan silam, banyak yang skeptis akan keberhasilan memberantas korupsi di Indonesia.
Puncak pesimisme itu adalah ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelum itu, Kepala BP Migas Rudi Rubiandini juga ditangkap KPK. Maka, munculnya pesimisme itu masuk akal dan manusiawi. Siapa yang menduga MK yang selama ini dianggap bersih dan berwibawa akhirnya terjerat kasus korupsi juga. Bahkan tidak tanggung-tanggung, yang terlibat justru ketuanya.  

Sudah ratusan koruptor diciduk KPK, dan sebagian besar sudah meringkuk di penjara. Mereka adalah gubernur, bupati, wakil wali kota, menteri, komisioner, kepala badan, dan anggota-anggota DPR, baik daerah maupun pusat.

Sampai tahun 2012, KPK sudah menangani 283 kasus korupsi. Dari 283 kasus korupsi ini, terbanyak adalah kasus penyuapan (bribery) dan pengadaan barang dan jasa (procurement). Selebihnya adalah penyalahgunaan APBN/APBD, gratifikasi, dan pemerasan. Terakhir ada juga kasus yang berbau penggunaan pengaruh kekuasaan atau trading in influence, seperti kasus kartel daging sapi impor.

Sebetulnya dengan jumlah sebanyak ini, kita mesti bangga bahwa untuk pertama kali dalam sejarah negeri ini ada sekian banyak kasus korupsi yang diseret ke pengadilan. Pada 32 tahun Orde Baru, kasus korupsi yang sampai ke pengadilan bisa dihitung dengan jari.

Jadi, meski harapan begitu tinggi, kita mesti juga menyadari bahwa pemberantasan korupsi butuh waktu yang panjang. Korupsi yang sudah systemic, endemic, dan widespread, seperti kata Transparency International, tak akan mudah diberantas hanya dalam kurun waktu singkat, apalagi KPK baru efektif bekerja pada tahun 2003.

Tutup mata 
Penting untuk mengingat bahwa dulu korupsi dianggap bisa ditoleransi, baik dari segi budaya maupun ekonomi. Tak kurang dari ilmuwan ternama, Samuel Huntington, mengatakan bahwa korupsi bisa berperan sebagai minyak pelumas (lubricant, grease) dari pertumbuhan ekonomi di mana birokrasi yang lamban bisa digenjot. Malah ada yang menggunakan istilah functional corruption.

Para teknokrat kita saat itu bukan tak menyadari, melainkan secara sadar setengah menutup mata karena angka pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi. Para teknokrat kita waktu itu terbantu iklim kebebasan pers yang terkungkung ancaman pembredelan oleh pemerintah. Alhasil, semua korupsi menemukan lahan yang subur sehingga korupsi diterima sebagai norma. Korupsi bukanlah kekecualian.

 Tak heran jika para pengusaha waktu itu memasukkan korupsi sebagai bagian dari komponen investasi. Bentuknya bisa saham kosong, nepotisme dan kolusi dalam berbagai pengadaan, atau keuntungan yang dialirkan ke sejumlah badan sosial.

 Dalam literatur mengenai korupsi yang jumlahnya sudah puluhan ribu karena studi mengenai korupsi sudah marak sejak 1980-an, ada yang membuat klasifikasi korupsi dengan menggunakan warna.  Arnold J Heidenheimer banyak menulis persoalan korupsi, membagi korupsi dalam tiga warna: korupsi hitam (black corruption), korupsi putih (white corruption), dan korupsi abu-abu (grey corruption).

Korupsi hitam adalah korupsi yang sangat merugikan keuangan negara, merusak perekonomian, dan tak bisa dibenarkan apa pun alasannya. Korupsi putih adalah korupsi yang fungsional dan memberi dampak positif sehingga masih bisa ditoleransi. Adapun korupsi abu-abu adalah korupsi yang berada di antara kedua korupsi tersebut.

Celakanya, banyak korupsi yang masuk kategori korupsi abu-abu di mana para penguasa dan koruptor bisa bermain-main. Di sini kontrol terhadap kekuasaan dan media ikut menentukan perubahan dari korupsi abu-abu menjadi korupsi yang masuk kategori putih.

Di negara otoriter, hal ini dengan gampang bisa dilakukan karena di situ masyarakat sipil antikorupsi tak berfungsi optimal. Mentalitas banyak orang Indonesia masih di lingkar di mana mereka merasa bisa mengubah korupsi yang mereka lakukan, hitam atau abu-abu, menjadi korupsi putih. Karena itu angka korupsi tidak pernah turun.

Setiap hari media kita terus sibuk dengan berita mengenai korupsi. Dan memang kita dikejutkan oleh berita korupsi yang sering mencengangkan kita semua. Orang yang selama ini kita anggap terhormat dan saleh tiba-tiba tertangkap tangan karena korupsi. Orang-orang yang sering berpidato untuk penegakan hukum tiba-tiba menjadi tersangka korupsi.

Rupanya ratusan orang yang sudah dihukum sebagai koruptor tak membuat orang jera untuk korupsi. Anehnya mereka semua tahu bahwa transaksi melalui elektronik itu bisa dilacak oleh PPATK, tetapi tetap saja mereka menggunakan modus tersebut.

Jadi, kita sering tak bisa memahami kecerdasan para koruptor yang nekat korupsi dengan uang tunai dan transaksi perbankan. Intelektualitas mereka sudah bebal. Mereka menganggap bahwa hanya orang-orang sial yang akan tertangkap. Buktinya masih banyak yang terus korupsi dan tak tertangkap.

Mudah lupa
Mereka hanya gemetar ketika melihat seseorang tertangkap dan diberi baju tahanan muncul di koran dan layar televisi. Namun, seminggu kemudian, mereka lupa dan korupsi lagi. Korupsi itu seperti opium, malah ada yang mengatakannya sebagai sexual deviance.

 Kita semua menginginkan KPK lebih berhasil lagi dalam memberantas korupsi. Angka 283 kasus korupsi, seperti yang dilaporkan dalam Laporan Tahunan KPK 2012, memang bukan angka yang besar jika dibandingkan dengan angka kasus korupsi di China yang jumlahnya sudah puluhan ribu, melainkan angka itu cukup signifikan.

Pesimisme bahwa KPK akan berhasil harus dicatat sebagai cambuk untuk bekerja lebih keras lagi, tetapi jangan biarkan diri kita tidak percaya bahwa pemberantasan korupsi tersebut akan berhasil.

Italo Pardo dalam buku Between Morality and the Law menulis  hal yang sangat bagus, " a belief in the prevalence of corruption is corrupting in its own right". 

Kita harus percaya bahwa korupsi bisa diberantas. Membiarkan diri kita percaya bahwa korupsi itu biasa dan merajalela adalah juga sebuah korupsi.

 Todung Mulya Lubis, Fellow, Ash Center, Harvard Kennedy School; Anggota International Bar Association (IBA)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003376242
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger