Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 29 April 2014

TAJUK RENCANA Pembinaan Berakhir Kematian (Kompas)

Kasus Dimas Dikita Handoko, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta, menunjukkan, praksis pendidikan kita masih lekat budaya kekerasan.

Langkah kuratif sudah dilakukan. Para pelakunya ditangkap, dijadikan tersangka, dan harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Teman-teman Dimas, korban penganiayaan, diberikan pertolongan.

Dengan dalih pembinaan, terjadilah penganiayaan. Kasusnya heboh karena ada korban meninggal. Seperti diakui saksi mata, korban sudah mengalami penyiksaan beberapa hari sebelumnya. Andai tak ada korban meninggal, penganiayaan diperkirakan terus terjadi di kampus itu.

Bukan sekali ini kasus "pembinaan" berakhir kematian. Bukan juga di lembaga pendidikan ini. Tahun lalu terjadi hal serupa, juga tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu, seorang mahasiswa sebuah PT di Malang, juga seorang mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri di Sumedang. Bahkan, tidak hanya tingkat pendidikan tinggi, tetapi juga tingkat pendidikan menengah. Kesimpulan masalahnya balas dendam turun-temurun.

Dari faktanya, kasus kekerasan lebih banyak terjadi di lingkungan pendidikan kedinasan. Jalan keluar pernah diusulkan, lembaga pendidikan kedinasan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Usulan tidak laku, alasannya demi terjaminnya pemenuhan kebutuhan tenaga kedinasan. Dengan keputusan itu, potensi kejadian serupa lebih terbuka, terus terjadi dalam kategori ekses.

Dalam koridor itu langkah preventif diusahakan. Praksis pendidikan berasas kemanusiaan dan kelemahlembutan tetap jadi payung. Kemdikbud sudah mengelaborasi dalam praksis awal tahun kuliah atau sekolah. Ruang terjadinya ekses kekerasan coba dipersempit dan relatif berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pengenalan kampus atau sekolah lebih berupa kegiatan akademis dan bukan pembinaan fisik.

Pembinaan dalam konteks pendidikan seharusnya jauh dari tindakan kekerasan fisik. Kekerasan fisik ditabukan karena tujuan utama pembinaan bukan hukuman, melainkan perubahan perilaku. Ketika pembinaan keluar dari konteks pendidikan, yang terjadi ketakutan turun-temurun dan fanatisme buta kepada lembaga pengelola berikut pengasuh atau seniornya.

Kementerian yang memiliki lembaga pendidikan kedinasan, jangan sampai melupakan keharusan normatif sebagai lembaga pendidikan. Jangan sampai demi terpenuhinya kebutuhan terampil dan kompeten, lantas dilegalkan pembinaan beraroma kekerasan, apalagi berakhir korban meninggal.

Perlu upaya terus-menerus bertemunya yang ideal dan yang faktual. Terletaklah upaya mempertemukan langkah kuratif dan langkah preventif. Keduanya saling melengkapi. Semakin berat praksis pendidikan terbebas dari tindakan kekerasan, di tengah kehidupan masyarakat beraroma kekerasan saat ini. Namun, itulah praksis pendidikan—tidak mengenal garis finis.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006335010
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger