Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 28 April 2014

Menanti Akhir Ketidakpastian (Tajuk Rencana Kompas)

Pemilu 9 April menunjukkan betapa terfragmentasinya kekuatan politik bangsa ini. Tidak ada parpol yang mendapat dukungan mayoritas.
Mengacu pada data hitung cepat sejumlah lembaga, tidak ada parpol yang meraih dukungan mayoritas sehingga nanti mampu mengontrol DPR. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang diperkirakan memenangi Pemilu Legislatif 2014 memperoleh suara sekitar 19 persen. Dengan perolehan suara itu, PDI-P juga tidak bisa secara mandiri mengajukan Joko Widodo sebagai calon presiden. Hal yang sama dialami Golkar dengan calon presiden Aburizal Bakrie dan Gerindra dengan Prabowo Subianto. Demokrat masih meneruskan konvensi capres. Selanjutnya, ke mana arah Demokrat akan ditentukan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam kondisi seperti itu, masuk akal jika semua partai politik masih akan menunggu hasil rekapitulasi penghitungan suara nasional dan penetapan kursi DPR oleh Komisi Pemilihan Umum pada 9 Mei 2014. Perolehan suara nasional kadang memang tidak berbanding lurus dengan perolehan kursi di DPR. Tebersit masih ada harapan partai politik bisa meraih minimal 112 kursi DPR untuk bisa mencalonkan presiden pada 18-20 Mei 2014.

Karena belum ada partai politik yang bisa secara mandiri mengajukan calon presiden, kerja sama politik atau koalisi menjadi keniscayaan. Kerja sama antarpartai politik bukan hanya sekadar untuk mendapatkan tiket pencalonan seseorang menjadi capres, melainkan juga bagaimana memastikan agar kebijakan pemerintahan bisa berjalan dan tidak diganggu DPR. Sejauh ini, baru PDI-P dan Nasdem yang sudah menyatakan komitmennya melakukan kerja sama politik.

Kontestasi Pemilu Presiden 9 Juli belum tergambar dengan jelas. Peta koalisi dinamis dan tidak pasti. Siapa yang akan mendampingi Jokowi, Aburizal, ataupun Prabowo sebagai cawapres diselimuti ketidakpastian. Belum jelasnya format kerja sama politik membuat sebagian elite mengkhawatirkan terjadinya stagnasi politik. Dalam situasi seperti itulah komunikasi jujur di antara anak bangsa diperlukan dengan mengesampingkan ego pribadi. Komunikasi politik antar-pimpinan parpol untuk membicarakan masa depan bangsa juga dibutuhkan guna menurunkan ketegangan politik akar rumput. Komunikasi tidak harus diartikan sebagai bentuk dukungan terhadap sosok tertentu, tetapi membangun komitmen bersama bagaimana melakukan transisi kekuasaan secara damai. Komunikasi jangan hanya diartikan sempit untuk merebut kursi kepresidenan, tetapi bagaimana memastikan demokrasi prosedural bisa menjelma menjadi demokrasi substansial yang bermanfaat. Dalam pemilu, rakyatlah yang menjadi juri.

Keberhasilan kita melakukan transisi kekuasaan secara damai pada 20 Oktober 2014 akan memperkokoh posisi Indonesia sebagai negara dengan demokrasi matang. Transisi kekuatan harus dipastikan terjadi pada 20 Oktober 2014 saat mandat Presiden Yudhoyono berakhir.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006316546
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger