Fenomena ini dalam terminologi Condorcet disebut
Dalam konteks kekinian, kehadiran gejala "parlemen despotik" tersebut dirasakan sejak Indonesia memasuki pasca reformasi, bahkan semakin menguat setelah Pemilu 2014. Manuver-manuver politik sebagian anggota DPR dalam menyusun Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta Rancangan Undang-Undang Pilkada adalah beberapa contoh simtom menguatnya fenomena tersebut.
Kegaduhan politik akhir-akhir ini, terutama terbelahnya Partai Golkar menjadi kubu, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, tampaknya menyeret lebih dalam parlemen dalam kubangan kekuasaan yang despotik. Konflik internal Partai Golkar yang sudah dilerai berdasarkan UU No 2/2011 tentang Partai Politik, yang menegaskan penyelesaian perselisihan internal parpol dilakukan mahkamah parpol yang dibentuk oleh parpol. UU yang sama juga menegaskan putusan mahkamah parpol bersifat final dan mengikat secara internal. Oleh karena itu, keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya "mengadministrasi" keputusan politik internal Partai Golkar.
Karena itu, banyak kalangan merasa heran, mengapa sebagian anggota parlemen ingin menggunakan hak angket yang merupakan senjata pamungkas menuju jalur tengkorak (kematian politik) bagi pejabat publik yang dijadikan sasaran penggunaan hak tersebut. Terlebih, hak angket seharusnya hanya dipergunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan perundang-undangan. Oleh sebab itu, keterlibatan sejumlah partai dalam hak angket justru memberikan kesan kuat bukan hanya mengintervensi Partai Golkar, melainkan merupakan wujud dari penggunaan kekuasaan politik yang eksesif.
Praktik penggunaan kekuasaan yang arbiter sangat memprihatinkan. Sebab, hal itu mencerminkan beberapa hal. Pertama, absennya spirit atau roh yang memuliakan kekuasaan. Kalau petinggi Partai Golkar lebih mengutamakan kepentingan konstituen, musibah ini dapat dijadikan berkah dengan melakukan konsolidasi. Kesempatan emas itu dapat dilakukan dalam Musyawarah Nasional 2016 yang merupakan bagian dari keputusan mahkamah partai. Momentum tersebut perlu dilakukan mengingat agenda ke depan antara lain pilkada sudah di depan mata. Mengabaikan peluang tersebut, Partai Golkar akan banyak kehilangan pendukung.
Kedua, terjadi proses pendangkalan pemahaman makna kekuasaan untuk mewujudkan kesejahteraan umum oleh para elite politik karena nurani mereka tergerus oleh hasrat kuasa yang berlebihan. Tragisnya, nafsu kuasa sudah dimulai dari niat dalam kompetisi politik. Akibatnya, ranah kekuasaan politik menjadi sekadar arena adu kuat dan saling mengalahkan, bukan membangun kebersamaan. Hak angket yang seharusnya untuk isu-isu strategis, justru dipergunakan untuk urusan internal Partai Golkar. Isu tersebut secara kategoris sama sekali tidak termasuk dalam wilayah itu.
Ketiga, diskursus publik telah kehilangan dimensi reflektifnya karena wacana publik hampir dimonopoli oleh auman para elite politik yang hanya bertujuan memperoleh kemenangan atau mengalahkan lawan. Sangat sedikit diskursus politik yang menghadirkan pendalaman mengenai isu-isu yang berkenaan dengan kepentingan rakyat. Debat politik menjadi kering dan sering kali oleh beberapa media lebih mengutamakan serunya debat daripada mutu diskusi.
Kembali kepada Condorcet, yang menegaskan cara mengatasi parlemen despotik (
Mencermati fenomena itu masyarakat harus bergandengan tangan dengan kekuatan di parlemen yang masih mempunyai niat politik yang memuliakan kekuasaan, demi kepentingan rakyat banyak.
J KRISTIADIPENELITI SENIOR CSIS
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2015, di halaman 15 dengan judul "Mewaspadai Simtom Parlemen Despotik".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar