Sebenarnya kehadiran Rusia di Suriah bukanlah hal baru. Artinya, ada sejarah panjang yang bisa mengungkapkan kehadiran dan keterlibatan Rusia—sejak zaman Uni Soviet—di negeri itu. Namun, perkembangan situasi dan kondisi Suriah akhir-akhir ini telah mendorong Rusia untuk kembali memantapkan kehadirannya di Suriah.
Perkembangan di Suriah memang sangat memprihatinkan. Perang saudara yang bermula dari demonstrasi damai (2011) berubah menjadi revolusi bersenjata, lalu akhirnya menjelma menjadi konflik sektarian yang bahkan melibatkan petarung-petarung asing. Hasilnya: Suriah hancur lebur dan ribuan rakyatnya mengungsi mencari tempat yang aman—mayoritas ke Eropa—untuk mencari kehidupan yang damai dan memberikan pengharapan.
Pada situasi seperti itu, Rusia menegaskan sikapnya untuk hadir; untuk membela sekutu lamanya, Suriah, yang sekarang dipimpin Presiden Bashar al-Assad. Rusia menempatkan paling kurang 2.000 tentaranya didukung berbagai mesin perang.
Akan tetapi, Bashar hanyalah salah satu pihak yang terlibat dalam perang yang melibatkan banyak pihak itu. Suriah memang sudah terpecah-pecah menjadi banyak kelompok: ada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), kelompok Kurdi, dan sejumlah milisi Islam lain. Mereka bertarung memperebutkan kekuasaan dan wilayah.
Selain itu, Bashar al-Assad tidak lagi menguasai seluruh wilayah di Suriah. Diperkirakan Bashar hanya menguasai seperempat wilayah. Meskipun rezim yang dia pimpin memperoleh dukungan dari Rusia dan Iran, kekuatan militernya diperkirakan makin menyusut.
Inilah yang dikhawatirkan Rusia. Kalau rezim Bashar al-Assad jatuh, satu-satunya pangkalan angkatan laut Rusia di Suriah pun bisa hilang. Sangat membahayakan kalau yang memenangi peperangan adalah NIIS. Keberhasilan NIIS akan memberikan inspirasi dan semangat kelompok-kelompok yang oleh Moskwa dianggap sebagai separatis, misalnya di wilayah Kaukasus.
Karena itu, ada kepentingan dari Moskwa untuk mempertahankan Bashar. Hal itu yang kini juga dikehendaki Amerika Serikat yang semula menginginkan penyingkiran Bashar. Untuk tercapainya tujuan itu, Rusia pun menggandeng negara-negara Arab, termasuk Israel, untuk bersama-sama memerangi kelompok NIIS.
Masuknya Rusia sebenarnya tepat waktu, yakni di saat situasi di lapangan seperti mandek dan sejumlah faksi bertemu untuk mencari jalan damai mendukung prakarsa damai PBB. Di sini, diharapkan Rusia berperan dan tidak mendorong perang lebih lanjut yang hanya akan membuat situasi semakin buruk, kehancuran Suriah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar