Aturan itu, antara lain, mewajibkan pengungsi untuk belajar bahasa Jerman dan wajib berintegrasi dengan masyarakat di luar komunitas mereka. Menteri Dalam Negeri Jerman Thomas de Maiziere menggarisbawahi, siapa pun yang tidak tunduk pada aturan itu, izin tinggalnya setelah tiga tahun tidak akan diperpanjang.
Jerman adalah negara di Eropa yang paling berat menanggung beban politik dan finansial akibat krisis pengungsi. Di tahun 2015 saja, ada sekitar 1 juta pengungsi yang ditampung di Jerman, dan sekitar 100.000 orang di tahun ini.
Kebijakan "pintu terbuka" Kanselir Angela Merkel yang bersedia menampung 1 juta pengungsi awalnya disambut pujian dan simpati oleh dunia. Namun, tidak demikian dengan warga Jerman. Kedatangan sejuta orang asing menimbulkan rasa terancam dan memicu sentimen anti imigran yang kini menjalar di seluruh negara di Eropa.
Pesan paling keras dari rakyat Jerman untuk Merkel adalah kekalahan telak partai berkuasa, Uni Demokratik Kristen (CDU), dalam pemilihan umum regional bulan lalu. Banyak warga Jerman yang mengalihkan suaranya kepada partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang anti imigran dan berhaluan xenofobia.
Itu sebabnya, Merkel habis-habisan memperjuangkan perjanjian pengungsi antara Uni Eropa dan Turki yang disepakati bulan ini. Kesepakatan itu relatif ampuh menyetop arus pengungsi yang menyeberang ke Yunani dari Turki meskipun ditentang keras oleh PBB.
Sampai kini Merkel tetap membela kebijakan "pintu terbuka", tetapi secara diam-diam garis haluan partai mulai berubah untuk merebut kembali simpati warga Jerman menjelang pemilu federal tahun depan. Selain akan lebih tegas dan selektif dalam memilih pengungsi yang bisa memperoleh izin tinggal, otoritas Jerman juga akan menuntut para pengungsi itu "berkontribusi" bagi Jerman.
Terlepas dari inisiatif itu, upaya Jerman yang berani mengambil tanggung jawab kemanusiaan di saat negara-negara lain di Eropa menutup rapat-rapat perbatasannya patut diapresiasi. Apalagi, langkah itu diambil di saat Uni Eropa sedang dilanda serangkaian ujian berat. Di antaranya, serangan teroris di Paris dan Brussels, rencana referendum Inggris untuk memisahkan diri dari blok UE, dan penempatan pengungsi.
Terkait hal itu, Sekjen PBB Ban Ki-moon, yang pernah menjadi pengungsi ketika terjadi Perang Korea (1950-1953), kemarin menyerukan agar dunia bersatu untuk menempatkan sekitar 480.000 pengungsi asal Suriah. Jumlah itu relatif "kecil" jika dibandingkan jumlah pengungsi yang ditampung Turki, Jordania, dan Irak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar