Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 27 Maret 2014

TAJUK RENCANA Solidaritas untuk Satinah (Kompas)

PERSOALAN perlindungan tenaga kerja Indonesia kembali menjadi sorotan tajam karena kasus Satinah yang terancam hukuman mati di Arab Saudi.
Sejumlah kalangan mempersoalkan mengapa Satinah dibiarkan sendirian menghadapi pengadilan Arab Saudi. Pemerintah dinilai terlambat mengetahui kasus TKI asal Jawa Tengah itu. Upaya negara membela Satinah terkesan kedodoran. Sebaliknya, sungguh mengesankan solidaritas yang diekspresikan masyarakat Indonesia dalam membela nasib Satinah.

Aksi solidaritas berupa pengumpulan uang kini meluas, tetapi harus berkejaran dengan waktu yang semakin terdesak. Jika uang darah (diyat) tidak dibayar sampai batas waktu Kamis, 3 April mendatang, Satinah yang dituduh mencuri dan membunuh majikannya akan dihukum pancung. Pembebasan Satinah, antara lain, bergantung pada kemampuan mengumpulkan uang 7 juta riyal atau sekitar Rp 21,25 miliar sebagai diyat.

Jika uang tebusan tak bisa dilunasi, Satinah, yang divonis pada 2008, akan dieksekusi. Sejauh ini sudah terkumpul Rp 12 miliar yang berasal dari Kementerian Luar Negeri RI sebesar Rp 9 miliar serta dari Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia dan para dermawan di Arab Saudi Rp 3 miliar. Keluarga korban di Arab Saudi tetap menuntut 7 juta riyal sebagai tebusan. Sebaliknya, posisi Pemerintah Indonesia bertahan pada tawaran Rp 12 miliar.

Sejumlah kalangan berharap pemerintah akan terus melakukan tawar-menawar sampai tercapai kesepakatan baru. Namun, tidak sedikit orang mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak langsung menggenapi saja angka uang tebusan seperti dituntut. Sering digunakan sebagai argumen, tidakkah lebih baik uang digunakan untuk membela dan melindungi kepentingan warga bangsa ketimbang diselewengkan untuk praktik korupsi yang menghabiskan triliunan rupiah. Namun, persoalannya tidaklah sederhana. Perlu dikemukakan, persoalan perlindungan dan pembelaan terhadap nasib TKI tergolong rumit. Sebanyak 265 TKI di mancanegara terancam hukuman mati.

Hukuman itu dijatuhkan atas kesalahan yang dilakukan TKI, tetapi bagaimanapun pemerintah tak boleh berpangku tangan. Lebih-lebih karena orang mengadu nasib ke mancanegara sebagai TKI akibat negara gagal menciptakan lapangan kerja. Sekalipun risiko yang dihadapi sangat besar, seperti ancaman bahaya kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan, tetap saja banyak orang mencari kerja dengan menjadi TKI.

Bagaimanapun upaya mendapatkan pekerjaan sangatlah penting, bukan hanya untuk mencari nafkah, melainkan juga untuk mengekspresikan diri karena kerja merupakan kodrat manusia (Homo faber). Masuk akal, pengangguran bukan hanya isu kerja dan ekonomi, melainkan juga menjadi masalah hak asasi yang harus dijamin negara dan diperjuangkan setiap individu untuk harkat diri.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005696284
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger