DIDIE SW

.

Promosi toleransi merupakan kewa- jiban bagi siapa pun yang memiliki kesadaran bahwa toleransi merupakan satu-satunya nilai utama, sikap dasar, dan cara pokok dalam memperlakukan yang lain di tengah aneka perbedaan, alamiah, ataupun artifisial.

Oleh karena itu, setiap elemen bangsa harus mengambil prakarsa untuk memimpin promosi toleransi sesuai dengan level otoritas dan cakupan pengaruh masing-masing.

Kepemimpinan toleransi merujuk pada pemaknaan kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) pada 2017, yang dirilis oleh Setara Institute, (15/1). Saat ini, promosi toleransi dan kepemimpinan yang mengatalisasinya jadi isu yang sangat relevan di tengah menguatnya politik identitas, radikalisme keagamaan, dan ekstremisme dengan kekerasan (violent extremism),serta revivalitas gerakan anti-Pancasila dan antinegara demokrasi.

Menelisik data pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang 2017, penulis secara pribadi melihat bahwa kita memiliki momentum untuk mendorong kepemimpinan politik negara dan inisiatif masyarakat yang lebih intensif dan berani. Ada beberapa situasi yang menggambarkan terbentuknya momentum untuk menggencarkan dan memperluas promosi toleransi.

Momentum promosi

Pertama, terdapat kemajuan atau perbaikan konteks yang ditandai dengan membaiknya beberapa variabel kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Berdasarkan hasil riset terbaru Setara Instituteterjadi penurunan signifikan angka peristiwa dan tindakan pelanggaran KBB. Tahun 2017, "hanya" terjadi 155 peristiwa (turun 53 jumlah peristiwa dibandingkan 2016) dengan 201 tindakan (berbanding 270 tindakan pada 2016).

Turunnya angka peristiwa dan tindakan itu berkorelasi dengan penurunan angka pada beberapa variabel lain, yaitu (1) tingkat pelanggaran terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan, seperti umat Kristiani, jemaat Ahmadiyah, dan Syiah, yang selama ini mendominasi angka korban di hampir setiap periode riset dan pemantauan, dan (2) angka gangguan terhadap rumah ibadah juga jauh lebih rendah dari rata-rata gangguan yang terjadi pada periode-periode riset sebelumnya.

Kedua, perbaikan kuantitatif pada aspek keterlibatan aktor negara dalam pelanggaran KBB, yang dapat dibaca sebagai peluang bagi pemajuan perspektif, kompetensi, dan bahkan keberpihakan aparatur negara bagi tata kelola pemerintahan yang lebih kondusif bagi pemajuan toleransi. Data Setara Institute 2017 menunjukkan, tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh aktor negara sepanjang 2017 jauh lebih rendah dibandingkan pada 2016.

Kepolisian RI yang pada 2016, menurut catatan Setara Institute, menjadi kontributor tertinggi pelanggaran oleh aktor negara dengan 37 tindakan pelanggaran, tahun ini "hanya" melakukan 17 tindakan. Selain itu, meskipun masih menjadi yang tertinggi dalam kelompok aktor negara, pemerintah daerah "cuma" melakukan 25 tindakan (turun 10 tindakan) dari tahun sebelumnya.

Ketiga,terjadi kebangkitan gerakan masyarakat sipil toleran yang selama ini diam (silent majority)dan dianggap terlalu mengalahuntuk mengambil prakarsa dan peran melawan intoleransi, diskriminasi, dan paham- paham yang mengarah pada penguatan ideologi ekstremisme dengan kekerasan (violent extremism) sekaligus penghancuran nilai dan sendi hidup damai bersama dalam perbedaan (peaceful co-existence) di alam kebinekaan berdasarkan Pancasila.

Dua agenda

Dengan momentum yang baik itu, pemerintah, di bawah kendali Presiden Joko Widodo (Jokowi), harus mengambil peran besar dalam meletakkan warisan bagi pemajuan toleransi di ujung kepemimpinannya.

Jokowi memiliki modal sosial, politik, hukum, serta jaringan dan cakupan kekuasaan yang jauh lebih besar daripada presiden keempat, Abdurrahman Wahid, yang secara berani memberikan jaminan kesetaraan bagi minoritas Tionghoa dan penganut Khonghucu.

Promosi toleransi harus menjadi prioritas Presiden untuk mewujudkan Indonesia yang memberikan jaminan inklusi sosial politik sekaligus jaminan hak sipil untuk beragama secara merdeka sesuai amanat Pasal 28E Ayat (1) dan (2) dan Pasal 29 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Ada dua agenda utama untuk itu, yaitu (1) penyelesaian masalah- masalah existingyang sudah berlarut-larut mengenai kelompok- kelompok minoritas yang terlanggar hak-hak mereka, dan (2) reformasi regulasi dan kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara RI 1945 yang selama ini menjadi alas yuridis bagi intoleransi dan diskriminasi atas minoritas.

Beberapa persoalan besar dan pelanggaran terus-menerus yang terjadi dalam satu dekade ini tak kalah mendesak untuk diatasi, dibandingkan sejumlah proyek infrastruktur yang mangkrak dan terbukti Presiden mampu mengatasi dan menyelesaikan.

Beberapa yang bisa disebut, antara lain; (a) pengusiran minoritas keagamaan dari kampung halaman mereka, terutama jemaat Ahmadiyah di Wisma Transito, Mataram, dan warga Syiah Sampang di Sidoarjo, Jawa Timur, (b) pembangunan dua gereja di Kota Bogor dan Kabupaten Bekasi, yaitu GKI Yasmin dan HKBP Philadelphia yang secara hukum memenangi perkara pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, tetapi hingga saat ini tidak kunjung dapat menikmati hak dasar mereka untuk membangun rumah ibadah, dan (c) kriminalisasi keyakinan sehingga beberapa narapidana hati nurani (prisoners of conscience) masih mendekam di penjara.

Selain itu, Presiden juga harus segera memimpin reformasi regulasi yang bertentangan dengan ketentuan konstitusi, sepanjang berada dalam jangkauan otoritasnya sebagai kepala negara dan pemerintahan. Beberapa agenda yang harus dapat perhatian serius, antara lain, sebagai berikut.

Pertama, penghapusan pasal- pasal penodaan agama, melalui perubahan UU Nomor 1/PNPS/ 1965 dan Pasal 156a KUHP, yang belakangan ini sering digunakan kelompok vigilante untuk melakukan persekusi terhadap kelompok kritis dan progresif dengan dalih penodaan agama.

Kedua, peninjauan ulang, revisi, dan penghapusan regulasi ministerial.  Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri No 9 dan No 8 Tahun 2006 (PBM Pendirian Rumah Ibadah) dan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Mendagri No 3 Tahun 2008, No KEP-033/ A/JA/6/2008, No 199 Tahun 2008 (SKB Ahmadiyah) adalah dua regulasi ministerial yang mendesak menjadi obyek reformasi karena sering memicu diskriminasi dan intoleransi terhadap warga negara dari latar belakang keagamaan berbeda.

Ketiga, evaluasi dan harmonisasi peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap minoritas, termasuk kepada perempuan. Pada 2016, pemerintah melalui Kemendagri telah melakukan harmonisasi besar-besaran dengan membatalkan 3.143 perda yang menghambat investasi. Langkah pembatalan tersebut mestinya lebih mendesak untuk dilakukan pada perda yang merusak persatuan dan kesatuan melalui diskriminasi terhadap kelompok-kelompok perempuan dan minoritas di daerah.

Sinyal kepemimpinan

Untuk melakukan dua agenda tersebut, sebenarnya pemerintah sudah menunjukkan sinyal kuat yang merepresentasikan itikad politik (political will)untuk mewujudkan cita-cita "satu untuk semua", sebagaimana diikrarkan para pendiri negara. Namun, pemerintah kemudian seperti mundur beberapa langkah begitu menghadapi kontra wacana, terutama dari kalangan mayoritas keagamaan mapan serta kelompok-kelompok intoleran yang dari sisi kuantitas sebenarnya juga tidak banyak.

Pertama, Nawacita yang sayangnya hingga kini belum terlihat memandu pembangunan inklusi sosial, apalagi politik, terhadap minoritas keagamaan. Kedua, wacana penghapusan kolom agama, yang menguap begitu saja. Ketiga, pemenuhan hak atas pengajaran agama dalam institusi pendidikan formal untuk penghayat kepercayaan yang sudah dituangkan dalam bentuk  Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 27 Tahun 2016, yang hingga kini bermasalah dalam implementasinya terkait dengan ketersediaan sumber daya.

Keempat, dukungan pemerintah atas pencantuman penghayat kepercayaan dalam kolom agama di KTP pada sidang uji materi UU Administrasi Kependudukan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi akhirnya dikabulkan, tetapi hingga kini tak tampak progres dalam implementasinya.

Terakhir, kita harus mengapresiasi pendirian lembaga pembinaan ideologi Pancasila dalam bentuk Unit Kerja Presiden, yang kini ditingkatkan statusnya menjadi badan setingkat kementerian. Pembentukan lembaga tersebut dapat dibaca sebagai jawaban pemerintah atas kekhawatiran semakin menguatnya politik identitas yang disertai pembesaran resistensi atas liyanpenggunaan sentimen primordial atau isu SARA, khususnya agama dan suku/etnik, di ruang-ruang publik-politik.

Sinyal-sinyal kepemimpinan tersebut, sangat disayangkan, jika dibiarkan meredup dan hilang begitu saja hanya karena Presiden disibukkan dengan politik kekuasaan di tahun-tahun politik elektoral ini. Semoga tidak.

Hendardi