TOTO SIHONO

  

Komisi Pemilihan Umum mematok target kenaikan 3,5 persen terkait partisipasi pemilih pada pilkada serentak 2018: dari sebelumnya 74 persen jadi 77,5 persen. Target ini dinilai realistis jika melihat angka kenaikan partisipasi pilkada sebelumnya yang tidak lebih dari 4 persen. Partisipasi pilkada serentak 2015 tercatat 70 persen, sedangkan dalam gelaran Pilkada 2017 mencapai 74 persen.

Target angka 77,5 persen tentu tidak terlalu istimewa lantaran sama dengan target partisipasi Pilkada 2015 dan 2017. Padahal, dibandingkan Pilkada 2015 dan 2017, Pilkada 2018 merupakan perhelatan terbesar karena melibatkan 171 daerah dengan rincian 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.

Bukan hanya itu, di antara 17 provinsi yang menggelar pilkada, lima di antaranya merupakan provinsi "babon" dengan jumlah pemilih paling tambun: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Apabila dikalkulasi, akan ada sekitar 160 juta pemilih yang terlibat dalam kontentasi elektoral 2018. Itu jauh lebih tinggi dibandingkan Pilkada 2015 (diikuti 269 daerah) yang jumlah pemilihnya 96 juta dan Pilkada 2017 (diikuti 101 daerah) jumlah pemilihnya hanya 41 juta.

Dengan bobot pilkada yang tinggi itulah, kita berharap target partisipasinya juga tinggi. Karena itu, saya lebih sepakat dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menginginkan target partisipasi di atas 78 persen. Mengapa?

Pertama, tingginya target partisipasi merupakan bentuk optimisme penyelenggara pemilu. Ini penting sebagai bentuk tanggung jawab dalam menyukseskan hajatan pilkada. Sebuah pemilu disebut berdaulat ketika terjadi peningkatan jumlah partisipasi pemilih. Artinya, tingginya angka partisipasi jadi barometer suksesnya sebuah hajatan demokrasi. Ini sejalan pandangan Robert Dahl (1994) bahwa partisipasi merupakan hal pokok dari dimensi demokrasi.

Kedua, partisipasi pilkada serentak 2018 merupakan tangga menuju partisipasi di Pemilu 2019 (pemilu legislatif dan pemilu presiden). Sebab, dalam perhelatan Pilkada 2018, kontestasi elektoral akan terkuras sekitar 68,3 persen dari jumlah daftar pemilih tetap. Tingginya partisipasi di Pilkada 2018 bisa jadi "mesin pemanasan" menuju Pemilu 2019. Artinya, kerja- kerja penyelenggara pemilu dalam upaya meningkatkan partisipasi hajatan demokrasi 2019 akan lebih ringan karena sudah "dicicil" di Pilkada 2018.

Pemilih milenial

Memang, seperti diutarakan penyelenggara pemilu, salah satu kendala dalam meningkatkan angka partisipasi Pilkada 2018 adalah soal keberadaan pemilih milenial. Pasalnya, pemilih dari kelompok ini cenderung alergi terhadap politik. Ini terkonfirmasi dari temuan survei LitbangKompas pada 25-27 Oktober 2017, yang menyebutkan hanya 11,8 persen generasi milenial yang mau menjadi anggota partai, sebanyak 86,3 persen tidak bersedia, dan sisanya 1,9 persen mengatakan tidak tahu.

Padahal, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), diprediksi pemilih milenial pada Pilkada 2018 sekitar 35 persen. Pemilih milenial di sini adalah mereka yang lahir dalam rentang 1981- 1999 (Pew Research Center, 2010). Dalam konteks perilaku pemilih, kelompok ini tergolong jenis pemilih rasional (kritis). Mayoritas mereka pengguna media sosial dan melek informasi. Survei CSIS pada Agustus 2017 menyebutkan, sebanyak 81,7% generasi milenial pengguna Facebook, 70,3% menggunakan Whatsapp, dan 54,7% memiliki Instagram.

Pertanyaannya, apakah pola pikir kelompok milenial terkait partisipasi ini bisa diubah? Milbrath dan Goel (1997) membedakan partisipasi politik jadi tiga kelompok. Pertama, kelompok apatis, yakni mereka yang alergi terhadap politik, bahkan menarik diri dari proses politik yang ada. Kedua, kelompok spektator, yakni mereka yang kurang tertarik dengan politik, tetapi masih kerap menggunakan hak pilihnya. Ketiga, kelompok gladiator, yakni yang sangat aktif di dalam politik (seperti aktivis partai, pekerja kampanye, dan aktivis organisasi).

Apabila merujuk pada piramida partisipasi politik di atas, pemilih milenial memang cenderung masuk pada kelompok apatis. Namun, apatisme pemilih milenial di sini bukanlah apatis buta dan sempit. Pemilih milenial lebih tepat disebut sebagai kelompok "apatis yang kritis". Mereka lebih suka berpartisipasi dalam bentuk non- konvensional, karena memaknai partisipasi politik tidak hanya dalam arena pemilu.

Laporan Litbang Kompas berjudul "Politik ala Generasi Muda" (Kompas, 28/10/2017), misalnya, pernah mengulas fenomena ini. Disebutkan bahwa generasi milenial lebih suka melakukan partisipasi yang terkait langsung dengan kepentingan masyarakat, seperti keterlibatan mereka dengan cara-cara unik dalam pengambilan kebijakan pemerintah.

Sebagai contoh, melalui situs change.org, generasi milenial kerap memobilisasi dukungan dan memengaruhi pengambil keputusan-keputusan penting di negeri ini. Perlawanan hak angket DPR terhadap KPK pada April 2017, misalnya, telah menembus 47.868 pendukung. Begitu pula desakan untuk mengesahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, juga mendapat pendukung sangat tinggi, yakni 89.452 pendukung.

Kondisi ini menunjukkan kelompok milenial tidak lantas alergi sepenuhnya terhadap politik. Mereka sejatinya memiliki ketertarikan, tetapi diekspresikan dengan gaya berbeda. Dengan kata lain, pemilih milenial sebenarnya punya potensi besar untuk digeser dari "kelompok apatis" menuju "kelompok spektator" dan bahkan "kelompok gladiator".

Untuk menggesernya, salah satu prasyarat yang perlu dipenuhi adalah bahwa Pilkada 2018 harus mampu menyajikan kandidat sesuai selera dan harapan mereka. Sebutlah seperti sosok yang bersih, muda, berprestasi, dan punya rekam jejak yang baik. Di sini, sang kandidat dituntut mampu menyuguhkan program-program yang langsung menyentuh aspirasi dan kepentingan kelompok milenial.