Yang menjadi fokus pembahasan ialah keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang dianggap menjadi penyebabnya. Dipandang dari kenyataan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas), sekurang-kurangnya ada empat hal yang menjadi masalah utama.
Pertama, setelah sistem pemasyarakatan yang dicetuskan DR Sahardjo SH diterima dan ditetapkan sebagai konsep pemenjaraan pengganti sistem boei pada tahun 1963, dalam realitasnya belum ada perubahan mendasar di dalam kehidupan di dalam penjara kita.
Beberapa hal yang penting dalam konsep pemasyarakatan, antara lain, (1) negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat daripada sebelum ia masuk penjara, (2) selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya, (3) narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dapat dialami.
Jadi, sebenarnya negara melalui lapas yang harus menyiapkan para narapidana untuk berintegrasi dengan masyarakatnya. Karena itu, diterapkan berbagai cara, antara lain, memberikan berbagai jenis remisi, cuti mengunjungi keluarga (CMK), asimilasi, cuti menjelang bebas (CMB), dan bebas bersyarat, sampai kemudian diadakannya lapas terbuka.
Akan tetapi, kenyataannya untuk mendapatkan hak-hak tersebut selalu diliputi dengan berbagai kerumitan administrasi dan ongkos, baik resmi maupun tidak resmi. Sehingga, banyak narapidana, terutama yang memiliki kemampuan terbatas, mengenyampingkan hak-haknya tersebut, dan menunggu sampai mereka bebas murni.
Pengalaman penulis secara pribadi saat dipenjara, walaupun telah memproses persyaratan untuk CMK, tetapi izin tidak pernah didapat sampai akhirnya penulis bebas.
Kedua, penghuni lapas sangat heterogen baik dari sisi usia maupun pendidikan, sosial, jenis kejahatan, dan lamanya hukuman. Keadaan ini sangat menyulitkan "pembinaan" narapidana yang dinamakan juga warga binaan pemasyarakatan (WBP). Selain itu, kenyataannya lapas juga diisi tahanan yang sering disebut dengan "orang titipan" (OT), yang jumlahnya kadang-kadang melebihi jumlah narapidana. OT ini tidak termasuk keharusan negara untuk membina, disebabkan proses hukumnya belum tuntas.
Dalam sistem hukum kita, baik kepolisian dan kejaksaan, terlalu rajin menahan orang dan menitipkannya di lapas. Hal inilah yang menjadikan semakin ruwet dan berjejalnya lapas.
Ketiga, atas desakan masyarakat dan politisi untuk lebih memperberat persyaratan pemberian remisi bagi narapidana yang termasuk extra ordinary crime, seperti narkoba, korupsi, dan terorisme, dikeluarkan PP No 99/ 2012 yang memperberat syarat pemberian remisi.
Hal tersebut sangat bertentangan dengan UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Seharusnya peningkatan hukuman tidak dibebankan kepada lapas, melainkan menjadi tugas dan kewajiban kepolisian dan kejaksaan dalam membangun perkara dan mengajukan dakwaan dan tuntutan. Kemudian juga menjadi tanggung jawab pengadilan dalam mengambil keputusan. Janganlah kepolisian, kejaksaan, dan hakim cuci tangan dalam kasus yang terjadi di dalam penjara.
Keempat, konsep arsitektur bangunan penjara yang didirikan pada tahun 2000-an, sangat tidak sesuai dengan konsep pemasyarakatan. Struktur dan teknis bangunan penjara atau boei Belanda masih lebih baik. Contohnya Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin di Bandung.
Di samping berbagai masalah hukum dan pelayanan yang dikaitkan dengan pemenjaraan, lapas juga menyisakan masalah keseharian, seperti pelayanan makan dan kebersihan serta kesehatan. Kualitas makanan yang substandar (bukan rasa) menyebabkan sampai pada tahun 2000-an sebagian narapidana memasak sendiri atau mendatangkan makanan dari luar. Hal ini menjadi parah karena dapur diselenggarakan oleh pihak ketiga yang dipilih melalui tender, yang menambah biaya. Keadaan ini menimbulkan maraknya perdagangan bahan makanan dan makanan di dalam lapas.
Selain makanan, hal yang sangat menonjol juga pelayanan kesehatan. Di awal 2000 beberapa narapidana membiayai dokter spesialis untuk berpraktik dua kali seminggu di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Mungkin sekarang ini sudah ada perbaikan dengan penempatan dokter PTT (pegawai tidak tetap) di dalam lapas.
Data dan dokumentasi
Salah satu masalah yang sangat kompleks adalah penelusuran data dan dokumen narapidana. Hal tersebut diperlukan untuk bisa memproses CMK, bebas bersyarat, CMB, dan bebas murni. Terkadang narapidana harus meminta pihak keluarga atau kenalan di luar untuk menelusuri dokumen-dokumen sejak penahanan, dakwaan, tuntutan, sampai putusan. Kalau perkaranya sampai ke tingkat banding dan kasasi masalahnya akan tambah ruwet lagi. Kesemuanya membutuhkan biaya.
Karena itu, pada 2006, atas sepengetahuan dan seizin pimpinan Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, sekelompok WBP di Lapas Kelas I Cipinang telah mengembangkan sistem registrasi dan pendataan menggunakan komputer. Kegiatan yang seluruhnya dibiayai narapidana dengan bantuan dari rekan-rekan di luar. Pendokumentasian telah dapat memproses basis data lebih dari 5.500 WBP termasuk dengan pemotretan secara digital. Dikerjakan bersama dengan tim pejabat dan petugas Lapas Cipinang.
Sistem basis data yang dibangun pada dasarnya bisa diterapkan di lapas manapun. Sayangnya usulan para WBP tersebut tidak pernah mendapat tanggapan dari Kementerian Hukum dan HAM, pada waktu itu.
Banyak masalah penting yang harus diselesaikan, mulai dari UU No 12/1995 yang sudah absolete, pengelolaan lapas sesuai konsep pemasyarakatan, dan sistem peradilan kita. Untuk itu pernah dibuat cetak biru revitalisasi lapas.
Namun, yang mendesak, yang mungkin dapat meredam ketidak puasan narapidana adalah mengembalikan hak-hak narapidana tanpa membedakan tindak pidananya. Karena tingkat dan lamanya pemidanaan adalah tanggung jawab kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, bukan kewenangan pemerintah cq Menteri Hukum dan HAM, untuk memperberat hukuman seseorang.
RAHARDI RAMELAN
Ketua Umum Paguyuban Narapidana dan Mantan Narapidana Indonesia (NAPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar