Awalnya hanya di tingkat pabrik, tetapi berlanjut ke tingkat nasional dan global, mengikuti logika pergerakan arus modal. Tanpa kelahiran serikat buruh (SB), tidak ada institusi yang menemani buruh mendapat keadilan ekonomi. Sekalipun program karitatif institusi agama dan sistem perpajakan di masa itu coba ikut memperbaiki nasib buruh, tetapi tak bisa efektif mengatasi kesenjangan ekonomi antara pemilik modal dan buruh. SB melakukan gerakan penyadaran, pengorganisasian massa dan opini, untuk mempertanyakan ketidakadilan sistem distribusi ekonomi.
Gagasan perjuangan melalui SB menyebar cepat ke sejumlah negara, menimbulkan berbagai pergolakan. Dalam beberapa kasus, SB kerap dituduh provokator kerusuhan dengan mengusung paham komunis. Inilah yang terjadi pada tragedi 1 Mei 1886 di Hay Mart, Chicago, AS. Perjuangan buruh yang menuntut jam kerja 8 jam per hari berakhir dengan provokasi kerusuhan sehingga pengadilan menjatuhkan hukuman gantung kepada para pejuang buruh. Sekalipun beberapa tahun kemudian pengadilan menganulir hukuman tersebut dan merehabilitasi nama baik para martir buruh yang meninggal.
Mereduksi ketimpangan ekonomi
Namun, perjuangan buruh di Hay Mart menggetarkan pejuang buruh di belahan dunia lain: Eropa. Kelompok ideolog sosialis dalam Konferensi II Sosialis Internasional di Paris tahun 1889 memutuskan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Ironisnya, AS yang saat itu berupaya mengempang pengaruh sosialis menolak 1 Mei sebagai hari perayaan buruh dengan menggantinya menjadi hari Senin pada minggu pertama September.
Sejarah terus bergulir karena beberapa tahun kemudian, tepatnya 1919, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menetapkan pengaturan kerja 8 jam per hari ditetapkan sebagai konvensi internasional pertama ILO. Inilah prestasi awal SB yang mengawali eksploitasi di tempat kerja. Konvensi ini sekarang diadopsi di seluruh dunia.
Munculnya wadah SB dan pengaturan jam kerja ternyata tak otomatis menurunkan kemiskinan buruh. Ada masalah tentang upah. Upah yang diterima buruh hanya cukup menghidupi buruh itu sendiri, tetapi tidak cukup untuk membiayai kehidupan keluarganya. Perjuangan buruh berlanjut ke isu upah minimum. Negara pertama yang memulainya adalah Selandia Baru (1894), selanjutnya menyebar ke Australia (1904), dan menyeberang ke Eropa melalui Inggris (1909). Melalui upah minimum, negara ingin memastikan perlindungan terhadap buruh dari eksploitasi kapitalis. Penetapan upah minimum dilakukan melalui usulan tripartit untuk kemudian diputuskan pemerintah.
Mengapa perlu keterlibatan unsur non-pemerintah dalam upah minimum? Jawabnya: untuk mencegah keberpihakan pemerintah terhadap salah satu pihak, baik buruh maupun pengusaha. Sebab, dalam pengalaman sejarah, pemerintah di mana pun memiliki kecenderungan keberpihakan subyektif. Sistem upah minimum di Indonesia yang saat ini mengenyampingkan peran SB dan pengusaha adalah penyimpangan dari kelaziman umum negara penganut sistem upah minimum. Sistem upah minimum menjadi salah satu temuan penting mencegah melebarnya ketimpangan pendapatan antara buruh dan majikan.
Kelahiran beberapa institusi di atas ternyata tak bisa mengatasi keserakahan kapitalisme karena buruh terus menderita akibat ketidakadilan sistem ekonomi. Adalah Otto Van Bismarck, Kanselir Jerman tahun 1889 yang meluncurkan gagasan jaminan sosial untuk buruh. Dia sebenarnya bukan tokoh sosialis pendukung buruh, melainkan memperkirakan potensi bahaya kemerosotan ekonomi Jerman dan potensi pemberontakan buruh bila tak melahirkan sistem yang mereduksi ketimpangan ekonomi melalui jaminan sosial.
Gagasan jaminan sosial ini selanjutnya menjadi program inti perjuangan SB di seluruh dunia, yang kemudian diadopsi dalam konvensi ILO dan dipraktikkan di seluruh dunia. Konsep jaminan sosial saat ini sudah berkembang, tidak lagi sebatas pemenuhan hak asasi manusia, tetapi menjadi stabilisator otomatis untuk mencegah krisis ekonomi lebih buruk.
Tahapan terbaru dalam perkembangan hubungan industrial yang saat ini dipromosikan ke seluruh dunia adalah konsep social dialogue atau suatu upaya untuk melakukan perundingan guna mendapatkan titik temu demi keberlanjutan pekerjaan dan usaha. Ini adalah konsep baru yang menegasi konsep lama "perjuangan kelas". Suatu upaya memitigasi masalah hubungan industrial melalui jalan damai ketimbang jalur konfrontasi. Produk utama dialog sosial adalah lahirnya Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang berisi kesepakatan SB dan majikan atas hak dan kewajiban di tempat kerja.
Dari data yang tersedia di Kementerian Tenaga Kerja, hanya ada 12.700 PKB di Indonesia. Sementara data BPS menunjukkan, ada 48,997 usaha menengah, dan jumlah kelompok usaha besar sebanyak 4,968. Data ini mengonfirmasi capaian sosial dialog di Indonesia masih rendah karena hanya baru 25 persen perusahaan (dengan kategori jumlah pekerja di atas 50 orang) yang bersedia berunding membuat PKB. Mayoritas perusahaan lainnya lebih menyukai penggunaan peraturan perusahaan atau sama sekali tidak memakai aturan. Tidak heran konflik hubungan industrial masih kerap mewarnai hubungan industrial di Indonesia.
Pengalaman negara industri lain, khususnya di negara yang tergabung dalam OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi), menunjukkan fakta atas dua hal. Pertama, semakin besar jumlah PKB di suatu negara akan semakin sedikit jumlah konflik hubungan industrial. Sebab, dengan adanya perundingan PKB akan menganalisasi konflik menjadi hanya urusan di tingkat pabrik, tak mudah dimobilisasi untuk kepentingan politik. Kalau saja jumlah PKB di Indonesia ditingkatkan di atas 50 persen, pasti konflik hubungan industrial menurun drastis. Inilah sebenarnya jalan termudah bila Indonesia menginginkan hubungan industrial yang damai dan berkelanjutan.
Kedua, semakin tinggi tingkat partisipasi buruh menjadi anggota SB (trade union density), semakin tinggi kepatuhan hukum dan kesejahteraan buruh. Studi yang dilakukan Bank Dunia Jakarta (2012) menyebutkan, buruh Indonesia yang tergabung dalam serikat buruh akan mendapat upah 20 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak menjadi anggota serikat buruh.
Syarat minimum yang diperlukan
Secara umum, konsep social dialogue di Indonesia sebenarnya diterima banyak pihak. Sebab, berunding, bermusyawarah untuk mencapai mufakat, bukanlah konsep baru dalam kultur Indonesia. Konsep ini hanya bisa jalan dengan tiga syarat minimum: adanya keterbukaan, niat baik, dan tingkat saling percaya yang tinggi.
Syarat inilah yang di banyak tempat belum bisa dipenuhi. Banyak pelaku tidak memiliki kultur untuk berdialog, lebih menyukai pola lama, menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan, pemaksaan kehendak, pengadilan, suap, dan sebagainya. Di tahap inilah sangat diperlukan perubahan kultur unsur aktor-aktor tripartit agar konsep ini bermanfaat. Sebab, harus dipahami, tidak lagi diragukan bahwa hubungan kerja saat ini telah menjadi sangat bervariasi dan rumit, membuat sangat sulit bagi SB untuk mengorganisasi buruh secara kolektif.
Kecenderungan informalisasi kerja (informal, alih daya, kontrak, sistem bagi hasil, pekerja musiman) akan mendominasi jenis pekerjaan di masa depan, khususnya sektor formal, baik di sektor publik maupun swasta. Sebenarnya, di masa kolonial sampai pasca kolonial, situasi ini pernah terjadi. Kuantitas pekerja formal juga sangat minim. Berbeda dengan sektor pekerja formal yang ada saat itu cenderung bertumbuh, khususnya sektor industri badan usaha milik negara. Pertumbuhan itu menjadi bekal yang memelopori pertumbuhan SB. Saat ini, situasinya berubah karena semua sektor sedang berupaya menurunkan penggunaan pekerja formal dengan proyek efisiensi dan mesin.
Pesan terpenting bagi aktivis perburuhan pada perayaan kali ini adalah bagaimana memastikan misi SB sesuai peran historisnya, yaitu menyejahterakan buruh dengan menawarkan berbagai alternatif. Jangan berhenti sebatas watch dog: hanya manifestasi tanpa solusi.
REKSON SILABAN
Analis Indonesia Labor Institute
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Buruh dan Ketimpangan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar