AFP/BERTRAND GUAY

Presiden partai ekstrem kanan di Perancis, Perhimpunan Nasional (RN), dan anggota parlemen, Marine Le Pen, berpidato setelah ada pengumuman hasil awal pemilu parlemen Eropa dalam acara RN La Palmeraie, Paris, Perancis, Minggu (26/5/2019).

Hasil pemilu parlemen Eropa menunjukkan, partai-partai yang awalnya di pinggiran kini merapat ke pusaran dan berpotensi mengubah agenda politik Eropa.

Dari hasil penghitungan sementara pemilu parlemen Eropa yang berlangsung 23-26 Mei di 28 negara Uni Eropa, partai-partai ekstrem kanan dan Partai Hijau meraih peningkatan suara signifikan. Ini berarti partai-partai yang tadinya marjinal kini merapat ke pusaran. Sementara dukungan terhadap partai-partai arus utama yang puluhan tahun mendominasi panggung politik terus menyusut.

Kubu ekstrem kanan diperkirakan akan menguasai sepertiga kursi di parlemen Eropa (dari 715 kursi). Kontribusi terbesar datang dari negara-negara yang dipimpin partai kanan, seperti Italia, Hongaria, Polandia, dan Austria. Bahkan, Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Salvini telah menyerukan pembentukan kubu nasionalis di parlemen Eropa.

Keberhasilan gerakan populis menjadi simbolik saat partai sayap kanan Perancis pimpinan Marine Le Pen, Perhimpunan Nasional (RN), mengalahkan partai Emmanuel Macron, Republik Bergerak (REM).

Walaupun hanya terpaut tipis, bagi Macron kekalahan ini memalukan karena dalam Pemilihan Presiden 2017, Macron mengungguli Le Pen dengan telak. Hasil itu juga menunjukkan bahwa Perancis ataupun Uni Eropa harus berbenah, bukan saja dalam penerapan kebijakan yang mengena di hati rakyat, melainkan juga dalam menarasikannya.

Kesuksesan itu ditunjukkan Partai Hijau yang berhasil menggerakkan "gelombang hijau" di seluruh Eropa. Bahkan, di Jerman, Partai Hijau menempati urutan kedua setelah partai aliansi Angela Merkel, CDU/CSU. Jika anti-imigran menjadi narasi utama partai-partai sayap kanan, perubahan iklim sebagai ancaman global menjadi senjata Partai Hijau.

Bagi warga Eropa, ancaman imigran dan ancaman iklim menjadi isu relevan, khususnya bagi pemilih muda yang terkait langsung dengan masa depan mereka. Tentu saja kemarahan terhadap kinerja pemerintah pun ikut berkontribusi pada perolehan kubu kanan ataupun hijau.

Hasil pemilu itu juga mendorong Uni Eropa untuk melakukan reorientasi mengingat kubu nasionalis bertekad akan menghalangi agenda integrasi Eropa dan reformasi ekonomi.

Meskipun kecil kemungkinan ada negara lain yang akan mengikuti jejak Inggris dengan Brexit, pendekatan UE tak boleh sama lagi. Jerman dan Perancis, yang sebelumnya menjadi lokomotif UE dan cenderung memaksakan kebijakannya, kini harus lebih menahan diri.